Senin, 01 Oktober 2012

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HUKUM ADAT SEBAGAI PEDOMAN HIDUP MENURUT SUKU DAYAK BANYUR DENGAN SEPULUH FIRMAN MENURUT KITAB KELUARAN 20:1-17 \SERTA APLIKASINYADALAM KATEKESE

STUDI PERBANDINGAN
ANTARA HUKUM ADAT SEBAGAI PEDOMAN HIDUP MENURUT SUKU DAYAK BANYUR  DENGAN SEPULUH FIRMAN MENURUT KITAB KELUARAN 20:1-17
SERTA APLIKASINYADALAM KATEKESE

BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Adat adalah salah satu warisan kebudayaan yang menghasilkan sistem dan cara bertingkah laku yang melekat dan menjadi dasar hidup bersama. Kata adat memang menunjukkan kebiasaan, tetapi adat juga dipahami sebagai  peraturan yang biasa berlaku pada suku tertentu. Adat sebagai peraturan mempunyai aspek hukum, karena di dalamnnya memuat berbagai kode etik yang wajib ditaati dan jenis larangan yang tidak boleh dilakukan, maka adat yang mempunyai aspek hukum ini oleh banyak suku sering disebut “Hukum Adat”. Adat senantiasa menjadi pedoman hidup, karena tersirat banyak makna yang memampukan manusia membangun relasi dengan sesamanya.
Dari sekian banyak Suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat. Suku Dayak Banyur adalah salah satu sub suku yang menginduk dari suku Dayak Ketungau. Suku Dayak Banyur ini masih sangat memegang teguh adat istiadat. Adat sebagai “jalur tengah” dalam setiap persoalan sosial yang ada. Adat juga telah menjadi sistem hukum yang mapan, yang mengatur seluruh gerak hidup mereka. Hukum adat menurut Suku Dayak Banyur bukanlah hukum yang tiba-tiba tercipta atau turun dari langit. Suku Dayak Banyur memahami sistem hukum yang telah ada adalah hasil dari peradaban para leluhur, mulai dari suatu kebiasaan hingga menjadi suatu sistem hukum. Pemegang kuasa terhadap hukum adat adalah mereka yang dituakan, yaitu “Pengurus Adat” dan diketuai oleh “Mentri Adat”. Keputusan hukum adat tidak pernah dijatuhkan oleh satu orang, melainkan oleh suatu sidang yang terdiri dari dewan orang tua di bawah penghulu sebagai ketua.[1] Maka dari itu, keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama yang didasarkan pada rasa keadilan.
Terjadinya perubahan pemahaman adat menjadi sebuah hukum tentunya dilatarbelakangi prilaku masyarakatnya. Sering terjadi kelalaian berprilaku yang mengganggu ketentraman hidup bersama. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut maka disepakati sebuah hukum adat yang mengatur sistem kehidupan manusia. Suku Dayak Banyur meyakini bahwa hukum adat merupakan wujud dari penghargaan terhadap nilai hidup, karena selain merupakan hukum, juga mengandung norma moral.
Sebagai hukum, adat atau kebiasaan yang tidak ditaati mempunyai sanksi sesuai dengan adat yang berlaku. Dalam mengetrapkan adat yang bersifat hukum, Suku Dayak Banyur telah memiliki sitem peradilan adat. Namun demikian peradilan adat ini semula tidaklah tertulis, melainkan tumbuh dan berkembang dengan kesadaran dari masyarakatnya. Jenis sanksi yang diberikan juga berbeda-beda sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Sanksi tersebut berupa denda yang disebut “pati”. Kata “pati” merujuk pada benda yang digunakan untuk membayar denda tersebut. Pati adalah berupa benda keramik (tempayan, mangkok, piring, cangkir, dan lain-lain), ternak (seperti babi, ayam), gong, benda yang terbuat dari kuningan/tembaga.[2] Namun pati hanya digunakan apabila terjadi tindakan pelanggaran yang cukup besar yaitu pelanggaran pembunuhan.
Hukum adat Suku Dayak Banyur tidak lepas dari pengaruh struktur religius. Mereka memiliki kepercayaan terhadap Sang Pencipta. Mereka meyakini keberadaan Sang Pencipta yang mengatasi seluruh alam semesta serta pula menghendaki manusia untuk hidup baik terhadap sesama dan terhadap alam. Menurut Suku Dayak Banyur  Sang Pencipta ini digambarkan sebagai orang yang berkuasa dan bijaksana, yang mendiami “alam atas”. Mereka meyebutnya “Petara”.[3] Meskipun dalam masyarakat Suku Dayak Banyur tidak memiliki teologi lengkap mengenai ketuhanan, namun sikap penghormatan mereka terhadap Petara tumbuh dari pengalaman hidup sehari-hari dan diteruskan secara turun-temurun kepada anak cucu. Hal tersebut menunjukkan bahwa Suku Dayak Banyur telah mempunyai konsep terhadap kekuatan-kekuatan yang mengatasi kemapuan manusia. Hukum adat yang dijadikan pedoman hidup diyakini merupakan hasil dari kerjasama manusia dengan Petara. Meskipun sistem peradilan tersebut tidak diturunkan langsung dari Petara, namun secara tidak langsung ingin megatakan bahwa Petara “setuju” dan berkenan dengan hukum adat yang berlaku.
Selain dari sanksi-sanksi yang bersifat nyata, yang dapat diukur dan dapat diputuskan, terdapat pelanggaran-pelanggaran tertentu, dimana sanksi itu tidak dapat sepenuhnya dijangkau oleh keputusan aukum adat. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksudkan ialah pelanggaran hukum adat yang tidak hanya mengakibatkan kekacauan terhadap hubungan dengan sesama namun lebih pada kekacauan  hubungan dengan Petara. Hukuman yang berdimensi religius ini dipercayai sepenuhnya menjadi hak Petara. Hukuman yang diberikan oleh Petara berupa kutukan yang hadir lewat bencana-bencana alam. Misalnya hujan, guntur, petir dan kemarau panjang serta bencana-bencana lainnya. Di sisi lain hukuman dari Petara juga dapat berefek langsung terhadap orang yang melanggar hukum adat. Misalnya saja sakit, cacat dan kesusahan-kesusahan lainnya hingga menyebabkan kematian.
Dari pandangan di atas, jelas bahwa paham hukum adat sebagai pedoman hidup menurut Suku Dayak Banyur meliputi seluruh rangkaian tata aturan kehidupan, baik terhadap Sang Pencipta maupun terhadap sesama. Hukum  adat ini tidak semata-mata dipahami sebagai aturan yang mengikat dengan segala sanksi-sanksi yang ada, namun lebih pada kesadaran akan etika berprilaku dan moral yang menjamin ketentraman dan kenyamanan hidup bersama.
Di balik semua gagasan yang begitu luhur mengenai hukum adat, ternyata mengalami perubahan pemahaman cukup mendasar. Masa modern ini hukum adat yang sarat dengan nilai-nilai norma dan kesatuannya dengan Sang Pencipta tidak lagi sepenuhnya dihayati demikian. Praktek-praktek pelanggaran hukum adat sudah menjadi persoalan yang biasa. Hal ini didasari pemahaman bahwa, pelangaran-pelanggaran hukum adat dapat diganti atau dibayar melalui sanksi-sanksi yang telah ditetapkan. Hukum adat hanya dimengerti sebatas peraturan, dan jika dilanggar maka dapat di bayar dengan “pati”. Pemahaman yang seperti ini tentunya akan berdampak negatif bagi semua masyarakat Suku Dayak Banyur. Perbuatan-perbuatan yang melanggar norma akan dengan sangat mudah dilakukan, apalagi oleh orang-orang yang hidup berkecukupan dan tidak merasa berat  untuk membayar “pati”. Sebagai suku yang mayoritas menganut agama Katolik, tentunya merupakan keprihatinan tersendiri, karena perbuatan melanggar norma juga tidak diperkenankan dalam ajaran Gereja Katolik.
Dalam Kitab Suci terdapat begitu banyak jenis hukum. Salah satu Kitab yang kaya akan hukum adalah Kitab Keluaran. Dalam Keluaran 20:1-17 dikisahkan bagaimana Allah memberikan Sepuluh Firman-Nya kepada bangsa Israel dengan perantaraan Nabi Musa di Gunung Sinai. Sepuluh Firman ini diberikan Allah karena kekacauan hidup bangsa Israel pada waktu itu. Mereka berada pada situasi yang membingungkan, yaitu dari situasi perbudakan menuju pembebasan. Dari latar belakang perbudakan membuat mereka turut hidup seperti apa yang dikukan oleh bangsa Mesir yaitu menyembah dewa-dewi. Hubungan terhadap sesama pun kurang dihargai, karena allah yang mereka sembah bukanlah allah yang mengajarkan kasih terhadap sesama.
 Sepuluh Firman ini hendak membebaskan mereka dari segala macam perbudakan termasuk menyempurnakan hubungan mereka terhadap Allah dan sesama. Sepuluh Firman tersebut dibagi menjadi dua  bagian yang menggambarkan hubungan antara Allah dengan manusia dan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Keluaran 20:1-11 merupakan hukum yang tertulis pada Batu Loh pertama, di mana berisi mengenai hubungan bangsa Israel dengan Yahwe. Sedangkan Keluaran 20:12-17 adalah hukum yang tertulis pada Batu Loh kedua, berisi mengenai hubungan antara sesama Bangsa Israel. Namun keduanya menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi.
Selain sebagai hukum, Sepuluh Firman ini juga merupakan sebuah perjanjian. Isi perjanjian itu berupa hubungan timbal-balik antara Yahwe dengan Israel. Dengan memberikan hukum-hukum itu Yahwe menetapkan diri–Nya menjadi Allah Israel dan mengangkat Israel menjadi umat-Nya[4]. Bagi bangsa Israel, hukum dan peraturan itu bukan semata-mata sebagai peraturan manusiawi yang diciptakan dalam suatu kehidupan masyarakat manusia. Bangsa Israel yakin bahwa Yahwe sendirilah yang memberikan seluruh hukum itu[5]. Maka dari itu sikap bangsa Israel terhadap sesama merupakan wujud ketaatan mereka kepada Yahwe.
Hukum yang diterima Bangsa Israel di Gunung Sinai menjadi penting bagi pembentukan cara pandang hidup mereka. Sikap mereka kemudian berpola pada hukum tersebut. Dengan hukum tersebut mereka dituntut untuk berlaku kasih terhadap Tuhan  dan terhadap sesama. Dengan kata lain bahwa hukum yang diberikan Allah kepada Israel melalui perantaraan Nabi Musa menjadi pedoman hidup bagi mereka.
Dari kedua pandangan di atas tentunya sangat berpengaruh bagi Suku Dayak Banyur, karena mayoritas suku ini menganut agama Katolik. Berdasarkan masalah yang ada, bahwa masyarakat Suku Dayak Banyur pada zaman ini menganggap hukum adat sebagai peraturan lahiriah yang berdampak pada meningkatnya pelanggaran norma, maka hukum adat perlu dibandingkan dengan ajaran Gereja. Pentingnya melihat hukum adat dari sudut pandang Gereja merupakan sebuah upaya Gereja pula memberikan pemahaman yang benar kepada angotanya akan nilai-nilai norma. Dalam hal ini hukum adat dibandingkan dengan Sepuluh Firman atau Sepuluh Perintah Allah. Maksud perbandingan ini tidak lain adalah sebagai sarana pewartaan yang ampuh dan efektif, karena lansung masuk ke dalam dimensi kehidupan daerah setempat. Dalam hal ini, Gereja Katolik memberikan ruang bagi pemeluknya untuk menghayati dan mengembangkan iman melalui kearifan-kearifan budaya setempat. Gereja memandang dan mengakui ada banyak nilai positif dari religiusitas masyarakat tradisional.
Beberapa hal di atas itulah yang mendorong penulis untuk membadingkan kedua paham tersebut melalui judul : “Studi Perbandingan Antara Hukum Adat Sebagai Pedoman Hidup Menurut Suku Dayak Banyur dengan Sepuluh Firman Menurut Kitab Keluaran 20:1-17”. Diharapkan melalui tulisan ini dapat membantu penghayatan akan hukum adat yang bertolak pada Sepuluh Firman sesuai dengan penghayatan Gereja Katolik. Sehingga umat Katolik Suku Dayak Banyur melaksanakan tata cara hukum adat berdasarkan pemahaman dan pengetahuan iman yang benar.  Oleh karena itu perlu digali dan diangkat dalam tema-tema katekese.

B.     Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang diangkat melalui penulisan skripsi ini adalah:
1.                  Bagaimana hukum adat menurut suku Dayak Banyur ?
2.                  Bagaimana sepuluh firman menurut Kitab Keluaran 20:1-17 ?
3.                  Apa persamaan dan perbedaan dari kedua pandangan tersebut ?
4.      Bagaimana aplikasi tentang hukum adat dan sepuluh firman dalam katekese?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1.      Untuk mengetahui hukum adat menurut suku Dayak Banyur.
2.      Untuk mengetahui sepuluh firman menurut Kitab Keluaran 20:1-17.
3.      Untuk mengetahui dalam hal mana ada persamaan dan perbedaan kedua pandangan tersebut.
4.      Katekese tentang hukum adat dan sepuluh firman sebagai sarana mewartakan Sabda Allah.

D.    Kegunaan Penulisan
Diharapakan bahwa penulisan ini akan berguna bagi banyak pihak terutama :
1.      Bagi Penulis
Supaya penulis semakin memahami hukum adat menurut Suku Dayak Banyur dan Sepuluh Firman menurut Kitab Keluaran 20:1-17, serta membantu penulis sendiri untuk menghayatinya.
2.      Bagi Gereja
Sebagai salah satu sumber informasi dan masukan untuk berkatekese tentang Sepuluh Firman dengan konteks budaya setempat.
3.      Bagi Lembaga STP-IPI Malang
Sebagai bahan masukan dan sumber didalam pembinaan petugas pastoral yang inkulturatif.
4.      Bagi Suku Dayak Banyur
Agar mereka menyadari bahwa hukum adat yang selama ini mereka taati, perlu dipahami sebagai wujud ketaatan dan cinta kepada Tuhan seperti yang diimani oleh umat Katolik.

E.     Sistematika Penulisan
BAB I       :   PENDAHULUAN
A.                                           Judul
B.                                            Latar Belakang
C.                                            Rumusan Masalah
D.                                           Rumusan Tujuan
E.                                            Kegunaan Penulisan
F.                                             Metode Kajian
G.                                           Sistematika Penulisan
H.                                           Penjelasan Istilah
BAB II      :  HUKUM ADAT SUKU DAYAK BANYUR DAN SEPULUH FIRMAN DALAM KEL 20:1-17.
A.                               Suku Dayak Banyur dan Hukum Adat
1.      Karakteristik Suku Dayak Banyur
a.                                                       Asal-usul Nama Banyur
b.                                                      Letak Geografis
c.                                                       Penduduk
d.                                                      Bahasa
e.                                                       Mata Pencaharian
2.      Hukum Adat Suku Dayak Banyur
a.                               Asal-usul dan Pengertian Hukum Adat
b.                              Peranan Hukum Adat
c.                               Sasaran Hukum Adat
d.                              Maksud dan Tujuan Hukum Adat
e.                               Tokoh Dalam Hukum Adat
f.                               Jenis dan Sanksi Hukum Adat
g.                              Nilai-nilai Hukum Adat
1)      Hukum Adat Sebagai Pedoman Hidup
2)      Hukum Adat, Religiusitas dan Moral
B.                                Kitab Keluaran dan Sepuluh Firman
1.      Karakteristik Kitab Keluaran
a.       Judul Kitab Keluaran
b.      Pengarang Kitab Keluaran
c.       Waktu Penulisan
d.      Tujuan Kitab Keluaran
2.      Sepuluh Firman dalam Kitab Keluaran 20:1-17
a.                                           Asal-usul dan Pengertian Sepuluh Firman
b.                                          Peranan Sepuluh Firman
c.                                           Sasaran Sepuluh Firman
d.                                          Maksud dan Tujuan Sepuluh Firman
e.                                           Tokoh Dalam Sepuluh Firman
f.                                           Jenis dan Sanksi Sepuluh Firman
g.                                          Nilai-nilai Sepuluh Firman
1)      Sepuluh Firman Sebagai Pedoman Hidup
2)      Sepuluh Firman, Religiusitas dan Moral
BAB III    :    PERBANDINGAN HUKUM ADAT DAN SEPULUH FIRMAN KELUARAN 20:1-17
A.                                           Persamaan Hukum Adat dan Sepuluh Firman
B.                                            Perbedaaan Hukum Adat dan Sepuluh Firman
BAB IV    :  KATEKESE TENTANG HUKUM ADAT SEPULUH FIRMAN
A.                               Seputar Katekese
1.      Pengertian
2.      Tujuan
3.      Sasaran
4.      Metode
5.      Proses
B.        Refleksi Teologis, Pastoral dan Kateketis Mengenai Hubungan Hukum Adat dengan Sepuluh Firman
C.                                Tema-tema dan Matriks
D.                               Bahan Katekese tentang Sepuluh Firman
BAB V      :   PENUTUP
A.                                           Kesimpulan
B.                                            Saran

F.     Metode Kajian
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode studi pustaka dan wawancara. Adapun langkah-langkah yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1.      Mengumpulkan buku-buku yang membahas hukum adat secara umum, tentang hukum adat menurut Suku Dayak dan menurut Suku Dayak Banyur serta Sepuluh Firman menurut Kitab Keluaran 20:1-17.
2.      Wawancara dilakukan secara dialogis dengan narasumber yang paham tentang hukum adat.
3.      Mempelajari, menganalisa, membandingkan, merumuskan tema-tema katekese, meyimpulkan hukum adat sebagai pedoman hidup menurut suku Dayak Banyur serta Sepuluh Firman dalam Kel 20: 1-17.

G.    Penjelasan Istilah
1.      Studi Perbandingan
Studi adalah pelajaran dimana kita menggunakan waktu pikiran dan tenaga untuk memperoleh pengetahuan atau dapat diartikan suatu penyelidikan untuk memperoleh pengetahuan, pengertian atau pemahaman[6].  Jadi studi perbandingan adalah usaha untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman dan pengertian dalam melihat persamaan, selisih atau perbedaan.
2.      Hukum Adat
Hukum adat adalah suatu kebiasaan yang mempunyai nilai hukum.
3.      Dayak Banyur
Dayak Banyur merupakan salah satu suku yang menginduk dari suku Ketungau dan berdomisili di daerah Sekadau Nanga Belitang.
4.      Pedoman Hidup
Pedoman adalah kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu dilakukan; hal pokok yang menjadi dasar pegangan, petunjuk, dsb. untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu[7]. Sedangakan hidup adalah keadaan dimana (seseorang) mengalami kehidupan dalam atau cara tertentu.[8] Pedoman hidup berarti hal pokok dari kumpulan ketentuan yang menjadi dasar, pegangan dan petunjuk dalam kehidupan.



[1] Lontaan. J.U., Sejarah Hukum-Adat dan Adat Istiadat Kalimantan-Barat., (Kal-Bar: Pemda Tingkat I, Edisi I, 1975), p. 289

[2] Buan Stevanus., Ekspresi Simbol dan Tanda Dalam Kehidupan Sosial & Religius Masyarakat Mualang, (Mualangmiga in Artikel, 16 September 2010).
[3] Ibid.
[4] Marsunu.Y.M. Seto., Allah Leluhur Kami, Tema-tema Teologis Taurat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), p. 74
[5] Ibid. p. 73
[6] Departemen Kebudayaan ., Kamus Baha Indonesia, Edisi Ke II, ( Jakarta : Balai Pustaka, 1983 ), p. 830
[7] Ibid, p. 841
[8] Ibid. p. 400


Tidak ada komentar:

Posting Komentar