STUDI
PERBANDINGAN
ANTARA
HUKUM ADAT SEBAGAI PEDOMAN HIDUP MENURUT SUKU DAYAK BANYUR DENGAN SEPULUH FIRMAN MENURUT KITAB KELUARAN
20:1-17
SERTA
APLIKASINYADALAM KATEKESE
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Adat
adalah salah satu warisan kebudayaan yang menghasilkan sistem dan cara
bertingkah laku yang melekat dan menjadi dasar hidup bersama. Kata adat memang
menunjukkan kebiasaan, tetapi adat juga dipahami sebagai peraturan yang biasa berlaku pada suku
tertentu. Adat sebagai peraturan mempunyai aspek hukum, karena di dalamnnya
memuat berbagai kode etik yang wajib ditaati dan jenis larangan yang tidak boleh
dilakukan, maka adat yang mempunyai aspek hukum ini oleh banyak suku sering
disebut “Hukum Adat”. Adat senantiasa
menjadi pedoman hidup, karena tersirat banyak makna yang memampukan manusia
membangun relasi dengan sesamanya.
Dari
sekian banyak Suku Dayak yang ada di Kalimantan Barat. Suku Dayak Banyur adalah
salah satu sub suku yang menginduk dari suku Dayak Ketungau. Suku Dayak Banyur ini masih sangat memegang teguh adat
istiadat. Adat sebagai “jalur tengah” dalam setiap persoalan sosial yang ada.
Adat juga telah menjadi sistem hukum yang mapan, yang mengatur seluruh gerak hidup
mereka. Hukum adat menurut Suku Dayak Banyur bukanlah hukum yang tiba-tiba
tercipta atau turun dari langit. Suku Dayak Banyur memahami sistem hukum yang
telah ada adalah hasil dari peradaban para leluhur, mulai dari suatu kebiasaan
hingga menjadi suatu sistem hukum. Pemegang kuasa terhadap hukum adat adalah
mereka yang dituakan, yaitu “Pengurus Adat” dan diketuai oleh “Mentri Adat”. Keputusan
hukum adat tidak pernah dijatuhkan oleh satu orang, melainkan oleh suatu sidang
yang terdiri dari dewan orang tua di bawah penghulu sebagai ketua.[1]
Maka dari itu, keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama yang
didasarkan pada rasa keadilan.
Terjadinya
perubahan pemahaman adat menjadi sebuah hukum tentunya dilatarbelakangi prilaku
masyarakatnya. Sering terjadi kelalaian berprilaku yang mengganggu ketentraman hidup
bersama. Berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut maka disepakati sebuah
hukum adat yang mengatur sistem kehidupan manusia. Suku Dayak Banyur meyakini
bahwa hukum adat merupakan wujud dari penghargaan terhadap nilai hidup, karena
selain merupakan hukum, juga mengandung norma moral.
Sebagai
hukum, adat atau kebiasaan yang tidak ditaati mempunyai sanksi sesuai dengan
adat yang berlaku. Dalam mengetrapkan adat yang bersifat hukum, Suku Dayak
Banyur telah memiliki sitem peradilan adat. Namun demikian peradilan adat ini semula
tidaklah tertulis, melainkan tumbuh dan berkembang dengan kesadaran dari
masyarakatnya. Jenis sanksi yang diberikan juga berbeda-beda sesuai dengan
besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan. Sanksi tersebut berupa denda yang
disebut “pati”. Kata “pati” merujuk pada benda yang digunakan
untuk membayar denda tersebut. Pati
adalah berupa
benda keramik (tempayan, mangkok, piring, cangkir, dan lain-lain), ternak
(seperti babi, ayam), gong, benda yang terbuat dari kuningan/tembaga.[2]
Namun pati hanya digunakan apabila
terjadi tindakan pelanggaran yang cukup besar yaitu pelanggaran pembunuhan.
Hukum
adat Suku Dayak Banyur tidak lepas dari pengaruh struktur religius. Mereka
memiliki kepercayaan terhadap Sang Pencipta. Mereka meyakini keberadaan Sang
Pencipta yang mengatasi seluruh alam semesta serta pula menghendaki manusia
untuk hidup baik terhadap sesama dan terhadap alam. Menurut Suku Dayak
Banyur Sang Pencipta ini digambarkan
sebagai orang yang berkuasa dan bijaksana, yang mendiami “alam atas”. Mereka
meyebutnya “Petara”.[3]
Meskipun dalam masyarakat Suku Dayak Banyur tidak memiliki teologi lengkap
mengenai ketuhanan, namun sikap penghormatan mereka terhadap Petara tumbuh dari pengalaman hidup
sehari-hari dan diteruskan secara turun-temurun kepada anak cucu. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Suku Dayak Banyur telah mempunyai konsep terhadap
kekuatan-kekuatan yang mengatasi kemapuan manusia. Hukum adat yang dijadikan
pedoman hidup diyakini merupakan hasil dari kerjasama manusia dengan Petara. Meskipun sistem peradilan
tersebut tidak diturunkan langsung dari Petara,
namun secara tidak langsung ingin megatakan bahwa Petara “setuju” dan berkenan dengan hukum adat yang berlaku.
Selain
dari sanksi-sanksi yang bersifat nyata, yang dapat diukur dan dapat diputuskan,
terdapat pelanggaran-pelanggaran tertentu, dimana sanksi itu tidak dapat sepenuhnya
dijangkau oleh keputusan aukum adat. Pelanggaran-pelanggaran yang dimaksudkan
ialah pelanggaran hukum adat yang tidak hanya mengakibatkan kekacauan terhadap
hubungan dengan sesama namun lebih pada kekacauan hubungan dengan Petara. Hukuman yang berdimensi religius ini dipercayai sepenuhnya
menjadi hak Petara. Hukuman yang diberikan oleh Petara berupa kutukan yang hadir lewat bencana-bencana alam.
Misalnya hujan, guntur, petir dan kemarau panjang serta bencana-bencana lainnya.
Di sisi lain hukuman dari Petara juga
dapat berefek langsung terhadap orang yang melanggar hukum adat. Misalnya saja
sakit, cacat dan kesusahan-kesusahan lainnya hingga menyebabkan kematian.
Dari
pandangan di atas, jelas bahwa paham hukum adat sebagai pedoman hidup menurut
Suku Dayak Banyur meliputi seluruh rangkaian tata aturan kehidupan, baik
terhadap Sang Pencipta maupun terhadap sesama. Hukum adat ini tidak semata-mata dipahami sebagai
aturan yang mengikat dengan segala sanksi-sanksi yang ada, namun lebih pada
kesadaran akan etika berprilaku dan moral yang menjamin ketentraman dan
kenyamanan hidup bersama.
Di
balik semua gagasan yang begitu luhur mengenai hukum adat, ternyata mengalami
perubahan pemahaman cukup mendasar. Masa modern ini hukum adat yang sarat
dengan nilai-nilai norma dan kesatuannya dengan Sang Pencipta tidak lagi sepenuhnya
dihayati demikian. Praktek-praktek pelanggaran hukum adat sudah menjadi
persoalan yang biasa. Hal ini didasari pemahaman bahwa, pelangaran-pelanggaran
hukum adat dapat diganti atau dibayar melalui sanksi-sanksi yang telah
ditetapkan. Hukum adat hanya dimengerti sebatas peraturan, dan jika dilanggar
maka dapat di bayar dengan “pati”. Pemahaman
yang seperti ini tentunya akan berdampak negatif bagi semua masyarakat Suku
Dayak Banyur. Perbuatan-perbuatan yang melanggar norma akan dengan sangat mudah
dilakukan, apalagi oleh orang-orang yang hidup berkecukupan dan tidak merasa
berat untuk membayar “pati”. Sebagai suku yang mayoritas
menganut agama Katolik, tentunya merupakan keprihatinan tersendiri, karena
perbuatan melanggar norma juga tidak diperkenankan dalam ajaran Gereja Katolik.
Dalam
Kitab Suci terdapat begitu banyak jenis hukum. Salah satu Kitab yang kaya akan
hukum adalah Kitab Keluaran. Dalam Keluaran 20:1-17 dikisahkan bagaimana Allah memberikan
Sepuluh Firman-Nya kepada bangsa Israel dengan perantaraan Nabi Musa di Gunung
Sinai. Sepuluh Firman ini diberikan Allah karena kekacauan hidup bangsa Israel
pada waktu itu. Mereka berada pada situasi yang membingungkan, yaitu dari
situasi perbudakan menuju pembebasan. Dari latar belakang perbudakan membuat
mereka turut hidup seperti apa yang dikukan oleh bangsa Mesir yaitu menyembah
dewa-dewi. Hubungan terhadap sesama pun kurang dihargai, karena allah yang
mereka sembah bukanlah allah yang mengajarkan kasih terhadap sesama.
Sepuluh Firman ini hendak membebaskan mereka
dari segala macam perbudakan termasuk menyempurnakan hubungan mereka terhadap
Allah dan sesama. Sepuluh Firman tersebut dibagi menjadi dua bagian yang menggambarkan hubungan antara Allah
dengan manusia dan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Keluaran 20:1-11
merupakan hukum yang tertulis pada Batu Loh pertama, di mana berisi mengenai
hubungan bangsa Israel dengan Yahwe. Sedangkan Keluaran 20:12-17 adalah hukum
yang tertulis pada Batu Loh kedua, berisi mengenai hubungan antara sesama
Bangsa Israel. Namun keduanya menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi.
Selain
sebagai hukum, Sepuluh Firman ini juga merupakan sebuah perjanjian. Isi
perjanjian itu berupa hubungan timbal-balik antara Yahwe dengan Israel. Dengan
memberikan hukum-hukum itu Yahwe menetapkan diri–Nya menjadi Allah Israel dan
mengangkat Israel menjadi umat-Nya[4].
Bagi bangsa Israel, hukum dan peraturan itu bukan semata-mata sebagai peraturan
manusiawi yang diciptakan dalam suatu kehidupan masyarakat manusia. Bangsa Israel
yakin bahwa Yahwe sendirilah yang memberikan seluruh hukum itu[5].
Maka dari itu sikap bangsa Israel terhadap sesama merupakan wujud ketaatan
mereka kepada Yahwe.
Hukum
yang diterima Bangsa Israel di Gunung Sinai menjadi penting bagi pembentukan cara
pandang hidup mereka. Sikap mereka kemudian berpola pada hukum tersebut. Dengan
hukum tersebut mereka dituntut untuk berlaku kasih terhadap Tuhan dan terhadap sesama. Dengan kata lain bahwa
hukum yang diberikan Allah kepada Israel melalui perantaraan Nabi Musa menjadi
pedoman hidup bagi mereka.
Dari
kedua pandangan di atas tentunya sangat berpengaruh bagi Suku Dayak Banyur,
karena mayoritas suku ini menganut agama Katolik. Berdasarkan masalah yang ada,
bahwa masyarakat Suku Dayak Banyur pada zaman ini menganggap hukum adat sebagai
peraturan lahiriah yang berdampak pada meningkatnya pelanggaran norma, maka
hukum adat perlu dibandingkan dengan ajaran Gereja. Pentingnya melihat hukum
adat dari sudut pandang Gereja merupakan sebuah upaya Gereja pula memberikan
pemahaman yang benar kepada angotanya akan nilai-nilai norma. Dalam hal ini
hukum adat dibandingkan dengan Sepuluh Firman atau Sepuluh Perintah Allah.
Maksud perbandingan ini tidak lain adalah sebagai sarana pewartaan yang ampuh
dan efektif, karena lansung masuk ke dalam dimensi kehidupan daerah setempat. Dalam
hal ini, Gereja Katolik memberikan ruang bagi pemeluknya untuk menghayati dan
mengembangkan iman melalui kearifan-kearifan budaya setempat. Gereja memandang
dan mengakui ada banyak nilai positif dari religiusitas masyarakat tradisional.
Beberapa
hal di atas itulah yang mendorong penulis untuk membadingkan kedua paham tersebut
melalui judul : “Studi Perbandingan
Antara Hukum Adat Sebagai Pedoman Hidup Menurut Suku Dayak Banyur dengan
Sepuluh Firman Menurut Kitab Keluaran 20:1-17”. Diharapkan melalui tulisan
ini dapat membantu penghayatan akan hukum adat yang bertolak pada Sepuluh
Firman sesuai dengan penghayatan Gereja Katolik. Sehingga umat Katolik Suku
Dayak Banyur melaksanakan tata cara hukum adat berdasarkan pemahaman dan
pengetahuan iman yang benar. Oleh karena
itu perlu digali dan diangkat dalam tema-tema katekese.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
permasalahan yang diangkat melalui penulisan skripsi ini adalah:
1.
Bagaimana hukum adat
menurut suku Dayak Banyur ?
2.
Bagaimana sepuluh
firman menurut Kitab Keluaran 20:1-17 ?
3.
Apa persamaan dan
perbedaan dari kedua pandangan tersebut ?
4. Bagaimana
aplikasi tentang hukum adat dan sepuluh firman dalam katekese?
C.
Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk
mengetahui hukum adat menurut suku Dayak Banyur.
2. Untuk
mengetahui sepuluh firman menurut Kitab Keluaran 20:1-17.
3. Untuk
mengetahui dalam hal mana ada persamaan dan perbedaan kedua pandangan tersebut.
4. Katekese
tentang hukum adat dan sepuluh firman sebagai sarana mewartakan Sabda Allah.
D.
Kegunaan
Penulisan
Diharapakan
bahwa penulisan ini akan berguna bagi banyak pihak terutama :
1. Bagi
Penulis
Supaya
penulis semakin memahami hukum adat menurut Suku Dayak Banyur dan Sepuluh
Firman menurut Kitab Keluaran 20:1-17, serta membantu penulis sendiri untuk
menghayatinya.
2. Bagi
Gereja
Sebagai
salah satu sumber informasi dan masukan untuk berkatekese tentang Sepuluh
Firman dengan konteks budaya setempat.
3. Bagi
Lembaga STP-IPI Malang
Sebagai
bahan masukan dan sumber didalam pembinaan petugas pastoral yang inkulturatif.
4. Bagi
Suku Dayak Banyur
Agar
mereka menyadari bahwa hukum adat yang selama ini mereka taati, perlu dipahami
sebagai wujud ketaatan dan cinta kepada Tuhan seperti yang diimani oleh umat
Katolik.
E.
Sistematika
Penulisan
BAB I :
PENDAHULUAN
A.
Judul
B.
Latar Belakang
C.
Rumusan Masalah
D.
Rumusan Tujuan
E.
Kegunaan Penulisan
F.
Metode Kajian
G.
Sistematika Penulisan
H.
Penjelasan Istilah
BAB
II : HUKUM ADAT SUKU DAYAK BANYUR DAN SEPULUH
FIRMAN DALAM KEL 20:1-17.
A.
Suku Dayak Banyur dan
Hukum Adat
1. Karakteristik
Suku Dayak Banyur
a.
Asal-usul Nama Banyur
b.
Letak Geografis
c.
Penduduk
d.
Bahasa
e.
Mata Pencaharian
2. Hukum
Adat Suku Dayak Banyur
a.
Asal-usul dan
Pengertian Hukum Adat
b.
Peranan Hukum Adat
c.
Sasaran Hukum Adat
d.
Maksud dan Tujuan Hukum
Adat
e.
Tokoh Dalam Hukum Adat
f.
Jenis dan Sanksi Hukum
Adat
g.
Nilai-nilai Hukum Adat
1) Hukum
Adat Sebagai Pedoman Hidup
2) Hukum
Adat, Religiusitas dan Moral
B.
Kitab Keluaran dan
Sepuluh Firman
1. Karakteristik
Kitab Keluaran
a.
Judul Kitab Keluaran
b.
Pengarang Kitab
Keluaran
c.
Waktu Penulisan
d.
Tujuan Kitab Keluaran
2. Sepuluh
Firman dalam Kitab Keluaran 20:1-17
a.
Asal-usul dan
Pengertian Sepuluh Firman
b.
Peranan Sepuluh Firman
c.
Sasaran Sepuluh Firman
d.
Maksud dan Tujuan
Sepuluh Firman
e.
Tokoh Dalam Sepuluh
Firman
f.
Jenis dan Sanksi
Sepuluh Firman
g.
Nilai-nilai Sepuluh
Firman
1) Sepuluh
Firman Sebagai Pedoman Hidup
2) Sepuluh
Firman, Religiusitas dan Moral
BAB
III : PERBANDINGAN
HUKUM ADAT DAN SEPULUH FIRMAN KELUARAN 20:1-17
A.
Persamaan Hukum Adat
dan Sepuluh Firman
B.
Perbedaaan Hukum Adat
dan Sepuluh Firman
BAB
IV :
KATEKESE TENTANG HUKUM ADAT SEPULUH FIRMAN
A.
Seputar Katekese
1. Pengertian
2. Tujuan
3. Sasaran
4. Metode
5. Proses
B.
Refleksi Teologis,
Pastoral dan Kateketis Mengenai Hubungan Hukum Adat dengan Sepuluh Firman
C.
Tema-tema dan Matriks
D.
Bahan Katekese tentang
Sepuluh Firman
BAB
V :
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
F.
Metode
Kajian
Metode yang
digunakan dalam penulisan ini adalah metode studi pustaka dan wawancara. Adapun
langkah-langkah yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1. Mengumpulkan
buku-buku yang membahas hukum adat secara umum, tentang hukum adat menurut Suku
Dayak dan menurut Suku Dayak Banyur serta Sepuluh Firman menurut Kitab Keluaran
20:1-17.
2. Wawancara
dilakukan secara dialogis dengan narasumber yang paham tentang hukum adat.
3. Mempelajari,
menganalisa, membandingkan, merumuskan tema-tema katekese, meyimpulkan hukum
adat sebagai pedoman hidup menurut suku Dayak Banyur serta Sepuluh Firman dalam
Kel 20: 1-17.
G.
Penjelasan
Istilah
1. Studi
Perbandingan
Studi
adalah pelajaran dimana kita menggunakan waktu pikiran dan tenaga untuk
memperoleh pengetahuan atau dapat diartikan suatu penyelidikan untuk memperoleh
pengetahuan, pengertian atau pemahaman[6].
Jadi studi perbandingan adalah usaha
untuk memperoleh pengetahuan, pemahaman dan pengertian dalam melihat persamaan,
selisih atau perbedaan.
2. Hukum
Adat
Hukum
adat adalah suatu kebiasaan yang mempunyai nilai hukum.
3. Dayak
Banyur
Dayak
Banyur merupakan salah satu suku yang menginduk dari suku Ketungau dan
berdomisili di daerah Sekadau Nanga Belitang.
4. Pedoman
Hidup
Pedoman
adalah kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu dilakukan;
hal pokok yang menjadi dasar pegangan, petunjuk, dsb. untuk menentukan atau
melaksanakan sesuatu[7].
Sedangakan hidup adalah keadaan dimana (seseorang) mengalami kehidupan dalam
atau cara tertentu.[8]
Pedoman hidup berarti hal pokok dari kumpulan ketentuan yang menjadi dasar,
pegangan dan petunjuk dalam kehidupan.
[1] Lontaan.
J.U., Sejarah Hukum-Adat dan Adat
Istiadat Kalimantan-Barat., (Kal-Bar: Pemda Tingkat I, Edisi I, 1975), p.
289
[4]
Marsunu.Y.M. Seto., Allah Leluhur Kami,
Tema-tema Teologis Taurat, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), p. 74
[6] Departemen Kebudayaan
., Kamus Baha Indonesia, Edisi Ke II,
( Jakarta : Balai Pustaka, 1983 ), p. 830
[7] Ibid, p. 841
[8] Ibid. p. 400
Tidak ada komentar:
Posting Komentar