BAB II
HUKUM ADAT SUKU DAYAK BANYUR
DAN SEPULUH FIRMAN DALAM KEL 20:1-17
A. Suku Dayak Banyur dan
Hukum Adat
1.
Karakteristik
Suku Dayak Banyur
a.
Asal-usul
Nama Banyur
Asal
mula istilah “Banyur” digunakan
sebagai nama suku, berawal dari nama sebuah sungai, yaitu sungai “Banyur”. Pada mulanya suku Dayak Banyur
adalah gabungan dari suku “Remai Sebaruk”.
Nama “Remai Sebaruk” ini diambil dari
nama sebuah tempat. Penduduk Remai Sebaruk tumbuh dengan pesat sehingga
kampung tersebut tidak memungkinkan lagi untuk dihuni oleh banyak orang. Oleh
karena itu beberapa kelompok memutuskan untuk mencari tempat lain yang masih
kosong dan belum berpenghuni. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang yang dipercaya yang mengetahui arah yang akan
dituju. Dari sekian banyak kelompok yang mengadakan perjalan pindah tempat,
salah satunya menuju sebuah tempat yang diketahui bahwa tempat tersebut dialiri
sungai yang bernama sungai “Ketungau”.
Kelompok yang menghuni tempat tersebut menamakan diri mereka suku “Ketungau”. Oleh karena itu, kemudian
suku Dayak Banyur merupakan bagian atau sub suku dari Dayak Ketungau.[9]
Setelah
berlangsung lama, terjadi peristiwa yang sama dengan sebelumnya, yaitu
terjadinya pertumbuhan penduduk yang lumayan pesat. Situasi tersebut
menyebabkan beberapa kelompok mecari tempat yang masih kosong untuk dihuni.
Dari perpindahan kali ini, salah satu dari kelompok yang mengadakan perjalanan,
menghuni sebuah tempat yang dialiri oleh sungai kecil, sungai kecil tersebut
merupakan anak sungai Ketungau,
kemudian sungai tersebut diberi nama sungai Banyur.
Dari nama sungai tersebut, kemudian oleh penghuninya dijadikan sebagai nama
yang menunjukkan identitas dan asal suku, oleh karena itu kelompok ini sering
di sebut suku Banyur. Istilah “Banyur” menjadi nama yang definitif
untuk menyebut suku ini, meskipun kemudian terjadi perpecahan dan
berpindah-pindah, namun nama “Banyur”
tidak diganti lagi. Begitu pula dengan suku-suku lainnya, nama sungai yang
mengaliri daerah tempat tinggal menjadi tanda pengenal yang paling populer di
jaman dahulu, karena mudah diketahui dan diingat oleh orang banyak.
b.
Letak
Georgrafis
Masyarakat
suku Dayak Banyur terletak di beberapa tempat yang terbagi dalam dua kabupaten,
yaitu kabupaten Sekadau dan kabupaten Sintang. Di kabupaten Sekadau, suku Dayak
Banyur berdomisili di desa Setalon
kecamatan Nanga Belitang. Luas wilayah desa Setalon ± 20 km² dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut:
1) Utara
berbatasan dengan Kecamatan Belitang
2) Selatan
berbatasan dengan Sungai Maboh (Desa Padak)
3) Timur
berbatasan dengan Kecamatan Belitang Hilir
4) Barat berbatasan dengan Sungai Maboh (Desa Padak)
Dalam hal ini penulis membatasi pembahasan
pada satu wilayah (kampung), yaitu kampung Setalon Nanga Belitang. Alasan
pemilihan kampung Setalon Nanga Belitang sebagai pusat pembahasan berdasarkan
beberapa hal berikut ini:
1) Kampung
Setalon Nanga Belitang adalah tempat dimana kearifan-kearifan lokal masih
dijaga dengan baik.
2) Penduduk
kampung Setalon Nanga Belitang merupakan suku asli Dayak Banyur yang masih
memegang teguh hukum adat.
3) Kampung
Setalon Nanga Belitang merupakan tempat dimana terdapat tetua-tetua yang banyak
mengerti dan memahami mengenai hukum adat.
c.
Penduduk
Jumlah
penduduk suku Dayak Banyur yang berada di kampung Setalon Nanga Belitang
berjumlah 60 kepala keluarga dengan jumlah jiwa ±375 jiwa.[10]
Jumalah ini merupakan jumlah yang relatif besar, karena kampung Setalon Nanga
Belitang merupakan tempat satu-satunya yang berpenduduk suku Dayak Banyur di
Kabupaten Sekadau. Banyak dari penduduk asli yang ada, pergi merantau ke
kampung-kampung lain yang tersebar di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau
dan hal ini jugalah yang menyebabkan kurangnya angka pertumbuhan. Penduduk suku
Dayak Banyur dipimpin oleh seoorang kepala kampung, namun sekarang karena
pengaruh dari struktur dan birokrasi pemerintah, istilah kepala kampung diganti
dengan kepala dusun. Meskipun demikian pengaruh tersebut tidak semerta-merta
merubah sistem budaya dan adat-istiadat yang ada.
Penduduk
suku Dayak Banyur, tidak mengenal sistem kasta pada masyarakatnya. Mereka hidup
berdasarkan nilai kesamaan sosial yang
tinggi. Tidak ada orang yang dihargai atau dihormati karena mempunyai kasta.
Pengharagaan dan penghormatan hanya dibedakan berdasarkan usia jabatan,
(jabatan adat) dan orang tua menurut garis keturunan. Penduduk Suku Dayak
Banyur juga tidak mengenal istilah marga, atau nama famili. Nama mereka bukan menjadi pengenal golongan atau ras.
Mereka lebih senang menggunakan nama-nama yang bersifat umum dan populer.
d.
Bahasa
Masyarakat
Dayak Banyur pada umumnya menggunakan bahasa Ketungau. Ketungau merupakan induk dari suku Dayak Banyur.
Penggunaan bahasa Ketungau di setiap
suku Banyur yang berbeda letak geografisnya mengalami sedikit perbedaan.
Perbedaan tersebut dapat diketahui dari gaya bahasa dan dialegnya. Bahasa Ketungau menjadi alat komunikasi sosial
antar pribadi, bahasa ini juga yang digunakan dalam pertemuan-pertemuan adat.
Bahasa Ketungau cukup mudah
dimengerti oleh suku lain. Oleh karena itu komunikasi sosial antar suku di
dalam satu kecamatan bahkan kabupaten tidak begitu sulit.
e.
Mata
Pencaharian
Mata
pencaharian utama suku Dayak Banyur
adalah berladang. Sistem yang
digunakan dalam berladang masih tergolong sederhana dan tradisional. Suku Dayak
Banyur berladang dengan cara membabat hutan lebat. Proses menjadi ladang
memakan waktu yang cukup lama. Hutan yang telah ditebang ditunggu hingga
kering, lalu kemudian dibakar. Lahan yang telah dibakar didiamkan untuk
beberapa hari sampai api benar-benar padam dan tanah menjadi dingin. Setelah
itu, barulah kemudian ditanami padi. Kegiatan menanam padi di ladang disebut
dengan “nugal”. “Nugal” berarti
menancapkan tongkat kayu di permukaan tanah yang biasanya dilakukan oleh lebih
dari sepuluh orang. Lubang-lubang dari tancapan tongkat kayu itulah yang
kemudian diisi dengan benih padi. Waktu yang digunakan dari mulai membuka lahan
sampai panen biasanya satu tahun penuh.
Selain
berladang, penduduk suku Dayak Banyur juga bekerja sebagai petani di kebun
karet. Hampir setiap penduduk mempunyai lahan kebun karet yang diwariskan
turun-temurun dari nenek moyang. Penghasilan dari menyadap karet terutama untuk
memenuhi kebutuhan, seperti garam, micin, gula dan kopi. Penghasilan dari menyadap karet dapat
dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena penduduk bisanya
tidak direpotkan lagi untuk membeli beras, beras dihasilkan melalui berladang.
Bagi penduduk yang mempunyai kebun karet yang luas dan dimbangi dengan
ketekunan, hasil yang didapatkan lebih dari cukup, selain untuk memenuhi
kebutuhan pokok juga ditabung untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa generasi-generasi suku Dayak Banyur banyak yang
sudah mengecap pendidikan tinggi, dari sekolah menengah sampai perguruan
tinggi.
2.
Hukum
Adat Suku Dayak Banyur
a.
Asal-usul
dan Pengertian Hukum Adat Suku Dayak Banyur
1)
Asal-usul
Hukum Adat
Asal-usul
hukum adat suku Banyur tidak dapat
dilepaskan dari tradisi lisan nenek moyang. Menurut suku Dayak Banyur
hukum adat merupakan warisan turun temurun. Sejak dahulu kala nenek moyang
sudah menerapkan adat sebagai suatu tata norma yang mencakup seluruh dimensi
kehidupan masyarakat suku Dayak Banyur. Para leluhur sudah hidup dengan sebuah
sistem yang mereka bangun bersama berdasarkan kepercayaan akan akibat-akibat
alami jika tidak diikuti. Dari ceritera dan sikap hidup nenek moyang, membentuk
persepsi yang beragam mengenai asal mula
hukum adat. Ceritera tentunya mengandung nilai-nilai positif yang ingin
disampaikan, oleh karena itu ceritera cenderung bersifat tidak tetap. Dari
generasi ke generasi ceritera selalu berkembang dan disesuaikan dengan maksud yang
ingin disampaikan kepada pendengar atau anak cucu. Ceritera mengenai hukum adat
dari nenek moyang merupakan bagian ingatan dari peristiwa yang telah terjadi
pada masa lampau, yang menampilkan akibat-akibat dari ketidaksetiaan terhadap
hukum adat. Oleh karena itu, menurut
ceritera, hukum adat adalah suatu produk hukum yang dilahirkan melalui
kepercayaan akan hal-hal mistik karena terjadi pengasingan di luar kekuatan
manusia terhadap masyarakatnya yang tidak setia. Hukum adat dianggap sebuah
transformasi dari kekuatan yang mengatasi manusia dan yang menginginkan agar
manusia hidup sesuai dengan tata norma yang baik. Hukum adat adalah sebuah
hasil yang dibentuk berdasarkan perasaan menolak terhadap perbuatan-perbuatan
melanggar norma, maka hukum adat erat sekali kaitannya dengan kehendak dari
kekuatan yang mengatasi manusia. Membuat suatu pelanggaran terhadap nilai-nilai
norma yang telah ada berarti menolak untuk dibimbing oleh kekuatan yang
menurunkan hukum adat tersebut.
Di
lain pihak, hukum adat dapat diketahui dan disaksikan melalui sikap hidup
masyarakat suku Dayak Banyur sendiri. Hukum adat sungguh-sungguh dimengerti apabila
telah digunakan oleh suku Dayak Banyur dalam menghadapi situasi-situasi
tertentu. Sikap hidup para leluhur menunjukkan bahwa hukum adat merupakan
sebuah ketentuan yang telah disepakati bersama untuk kepentingan ketentraman
dan kenyamanan. Hukum adat secara utuh dipahami sebagai suatu media yang mampu
menjamin kemanan dan ketentraman hidup bersama.
Dari
sikap-sikap leluluhur suku Dayak Banyur, secara tidak langsung menjelaskan
bahwa hukum adat berasal dari kepentingan masyarakatnya yang saling bertemu.
Pertemuan antar kepentingan dalam masyarakat suku Dayak Banyur tidak jarang
menimbulkan pergesekan atau perselisihan. Perselisihan yang ada bisa berakibat
fatal bila tidak ada sebuah sarana untuk mendamaikannya. Perlu suatu media dan
fasilitator untuk mempertemukan dua buah kepentingan yang bergesekan tersebut.
Tujuannya agar manusia yang saling bersengketa sama-sama memperoleh keadilan.
Dari kenyataan ini membuat masyarakat suku Dayak Banyur mulai berpikir secara rasional,
terbukti kemudian mereka mengangkat pemangku adat (mentri adat; dalam bahasa Dayak Bayur) yang mempunyai kelebihan
tertentu untuk “menjembatani” berbagai persoalan yang ada. Berdasarkan kondisi
ini, menteri adat yang telah
dipercaya mulai menyusun pola kebijakan atau panduan yang didasarkan pada
pengetahuan akan ceritera nenek moyang. Panduan tersebut berisakan sejumlah
aturan dan larangan serta bentuk-bentuk perjanjian lain yang telah dispakati
bersama. Panduan yang disusun merupakan terjemahan dari warisan nenek moyang
yang juga dianggap memiliki unsur-unsur kekuatan tertentu. Proses inilah yang
kemudian oleh generasi-generasi mereka dipahami sebagai salah satu asal-usul
lahirnya hukum adat. Oleh karena itu hukum adat selalu berkembang dan senantiasa
menyesuaikan diri dengan kondisi jaman.
Dari
paparan di atas, asal-usul hukum adat pertama,
ditinjau dari segi tradisi lisan nenek moyang. Dilihat dari segi ini, hukum adat Dayak Banyur merupakan sebuah
warisan yang wajib diteruskan karena menyangkut nilai-nilai adat dan pandangan
hidup mereka. Pandangan hidup ini berisi hal-hal yang kompleks, menyangkut
seluruh proses bagaimana nenek moyang mendapatkan ilham sehingga terjadinya
hukum adat. Secara gamblang memang
sulit untuk dijelaskan, karena nilai historis dari ceritera tersebut tidak
mampu diselidiki dengan analisa dan akal pikiran, namun masyarakat suku Dayak
Banyur yakin bahwa ceritera tersebut sungguh-sungguh ada dan benar terjadi.
Keyakinan ini mengalahkan keingintahuan bagaimana sesungguhnya proses para
leluhur meneriama hukum adat itu dari sesuatu yang dianggap keramat. Bagaimana
proses tersebut terjadi tidak menjadi persoalan bagi mereka, namun nilai apa
yang ada dalam hukum adat tersebut menjadi sesuatu yang penting untuk
dilestarikan dan diteruskan.
Kedua, ditinjau
dari segi sikap-sikap nyata yang dapat disaksikan hingga sekarang ini.
Asal-usul hukum adat merupakan bagian dari kepentingan masyarakatnya. Hukum
adat digagas dan disempurnakan dari aslinya (warisan nenek moyang) sedemikian
rupa karena kesadaran akan kehidupan sosial antara masyarakatnya. Kehidupan
sosial yang dimaksudkan adalah hubungan antara sesama masyarakatnya yang sudah
tentu akan mengalami pergesekan atau perselisihan. Oleh karena itu kemudian
hukum adat dijadikan sebuah sistem yang mempunyai kekuatan untuk mengatur
seluruh gerak hidup mereka. Asal-usul ini berkaitan dengan keinginan untuk
menjalankan hidup dalam suasana yang nyaman dan tenteram dalam komunitas suku
Dayak Banyur.
Dari
kedua asal-usul di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hukum adat
yang ada, memiliki dua dimensi menjadi satu kesatuan yang erat. Diantara
keduanya tidak dapat dipisahkan. Hukum adat sebagai sebuah warisan dan hukum
adat sebagai suatu kepentingan masyarakat di zamannya menjadi penting.
Masyarakat suku Dayak Banyur tidak akan mengerti sebuah hukum adat jika tidak
melalui warisan nenek moyang, begitu juga sebaliknya, hukum adat yang masih
alami sebagai warisan, belum mampu menyentuh masyarakatnya dalam tingkatan
generasi yang berbeda apabila tidak diselaraskan dan disesuaikan kembali dengan
situasi yang ada. Generasi yang baru mendengar cerita dari orang tua mengenai
asal-usul hukum adat, sekaligus dikuatkan dengan kenyataan yang ada yang mereka
saksiakan sendiri. Dengan kata lain, kedua asal-usul mengenai hukum adat suku
Dayak Banyur tersebut sama-sama memegang peranan penting dalam usaha mengerti
dan memahami terjadinya hukum adat.
2)
Pengertian
Hukum Adat
Hukum
adat merupakan hukum tradisonal yang berasal dari kebiasaan suatu suku tertentu.
Kebiasaan yang dimaksudkan adalah kebiasaan yang memiliki nilai hukum, kemudian
dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya. Suatu kebiasaan adalah tindakan yang
dilakukan berulang-ulang, sehingga tindakan tersebut menjadi tolak ukur bagi
pola tingkah laku. Namun, kebiasaan yang mempunyai nilai hukum berbeda dengan
kebiasaan dalam arti biasa, karena biasa belum tentu dilakukan berulang-ulang
dan belum tentu pula menjadi tolak ukur dalam bertingkah laku.
Kata
“hukum” pada adat merupakan kata yang dikembangkan kemudian. Artinya bahwa kata
adat-lah yang sesungguhnya memberi makna hukum terhadap arti adat itu sendiri.
Kata “hukum” pada adat muncul karena kata adat mempunyai dimensi peraturan yang
kemudian merujuk pada sebab akibat yang muncul dari adat tersebut. Dilihat dari
artinya “Adat adalah aturan perbuatan yang lazim diturut atau
dilakukan sejak dahulu kala; cara kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan; wujud
gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem”[11].
Dari arti kata adat tersebut jelas kemudian adat mempunyai aspek hukum, oleh
karena itu adat yang mempunyai aspek hukum ini sering disebut dengan “hukum
adat”. Kata hukum pada adat ingin mempertegas bahwa dalam adat terdapat suatu
kebiasaan yang mempunyai nilai hukum. Menurut
Prof. Snuch Hurgronye, seorang ahli sastra timur dari Belanda, hukum adat itu
adalah adat atau kebiasaan yang mempunyai akibat hukum[12].
Hukum
adat adalah hukum yang diwariskan melalui cara dan kebiasaan. Cara meneruskan
hukum adat dari generasi ke generasi tidak melalui tulisan atau dokumen. Dari
generasi masa lampau, hukum adat bersifat lisan atau tidak tertulis. Namun
demikian hukum adat tetap didukung dan ditaati karena didasarkan bahwa
peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Melalui
paparan di atas, tentunya erat kaitannya dengan bagaimana memahami arti hukum
adat suku Dayak Banyur. Hukum adat suku Dayak banyur sebagai hukum adat yang
mendasarkan diri pada nilai-nilai norma secara universal, dapat dikatakan
mempunyai definisi dan makna yang sama dalam garis umum. Namun sedikit dapat
dilihat secara khusus bahwa, hukum adat suku Dayak Banyur memiliki arti yang
mendalam. Bukan sekedar butir-butir aturan dan larangan melainkan sebagai satu
keseluruhan dari cara, gaya, pandangan hidup yang langsung berhubungan dengan
semua aspek baik lahiriah maupun batiniah. Aspek lahiriah dapat dimengerti
sebagai hukum adat yang mempunyai kekuatan dalam mengatur tata cara sekaligus
merupakan sebuah sistem yang hidup, diakui dan ditaati berdasarkan nilai-nilai
kesejahteraan dan ketentraman antar pribadi. Secara batiniah berarti, hukum
adat dipandang sebagai pemenuhan nilai yang mendalam. Bukan sekedar hubungan
antar pribadi melainkan panggilan dari hati nurani dan tuntutan jiwa raga yang
berkaitan langsung dengan unsur misteri hidup termasuk juga merupakan bagian
relasi dengan lingkungan dan alam semesta.
b.
Peranan
Hukum Adat
Dari
berbagai kesempatan dimana hukum adat diterapkan, jelas bahwa hukum adat
menurut suku Dayak Banyur memiliki peranan yang amat penting bagi kehidupan
mereka. Setiap persoalan selalu diselaikan melalui hukum adat. Hukum adat
dipandang sebagai jalan utama dan terakhir untuk mendapat titik temu dari
berbagai macam persoalan. Oleh karena itu, hukum adat menjadi suatu hukum yang
sangat dihormati dan ditaati. Hukum adat tidak hanya menyentuh
persoalan-persoalan antar pribadi, melainkan juga menyentuh persoalan pribadi
dengan seluruh lingkungannya.
Suku
Dayak Banyur meyakini bahwa hukum adat adalah hukum yang mampu memberikan rasa
damai, tenang, nyaman dan adil. Rasa nyaman dan tenang erat kaitannya dengan
kelegaan jiwa. Hukum adat tidak semata-mata menyelesaikan permasalahan yang
bersifat fisik ataupun kesalahan yang dapat diberikan sanksi secara nyata,
namun lebih pada penghapusan terhadap suatu kesalahan. Seorang yang bersalah
dapat kembali diterima seperti sediakala apabila telah menyelesaikan urusan
dengan hukum adat. Peranan hukum adat adalah untuk memebereskan sesuatu atau
mengmbalikan (menyilih) sesuatu pada tempatnya.[13]
Hukum adat mempunyai kekuatan melepaskan seseorang dari ikatan kesalahannya,
bukan sekedar terlepas kerena telah memenuhi sanksi-sanksi yang diberikan,
namun pemulihan diri pribadi yang bersalah. Dengan kata lain, hukum adat
mengembalikan seseorang yang bersalah kepada situasi semula. Rasa adil, karena
sanksi dari hukum adat dipandang setimpal dengan kesalahan yang dilakukan. Sebagai pemberi
keadilan hukum adat menjadi penengah dalam suatu masalah. Sanksi-sanksi yang
diberikan sungguh didasarkan pada rasa keadilan. Adil bearti selalu melihat
pada konteks dimana dan kapan sesuatu hal terjadi, maka hukum adat berusaha menyesuaikan diri dengan
situasi dan jaman. Hanya menyesuaikan diri, tidak merubahnya seratus persen.[14]
Fungsi
hukum adat menurut suku Dayak Banyur cukup kompleks. Tidak hanya dilihat
sebagai peraturan, namun memiliki peranan yang mendalam sebagai pemulihan
kembali kepada situasi semula. Hukum adat sebagai pemberi rasa adil dalam
masalah antar pribadi, juga sebagi pemulih hubungan pribadi dengan seluruh
lingkungan sekitarnya.
c.
Sasaran
Hukum Adat
Sasaran
hukum adat suku Dayak Banyur tentu bagi seluruh masyarakatnya. Diwariskannya
hukum adat tidak diperuntukkan bagi perorangan atau sekelompok orang saja.
Hukum adat bagi suku Dayak Banyur
bersifat universal dalam komunitas mereka. Oleh karena itu tidak ada satupun
masyarakat suku Dayak banyur dapat terhindar dari hukum adat. Hukum adat suku
Dayak Banyur tidak memandang status atau kedudukan, siapapun yang berbuat melanggar
adat maka akan mendapat hukum adat. Oleh suku Dayak Banyur, hukum adat menjadi
pedoman hidup bagi semua masyarakatnya dan wajib ditaati sebagaimana yang
berlaku. Suku Dayak Banyur selalu mengarahkan gaya hidup dan prilaku berdasarkan
hukum adat yang ada.
Bagi
semua suku Dayak Banyur (kategorial) maupun teritorial, hukum adat berlaku
sama, hanya saja dibatasi pada sistem
administrasi kepegurusan yang berlaku.
Dalam pepatah “Dimana bumi dipijak, di situ lagit dijunjung”. Suku Dayak Banyur
yang berstatus pendatang karena berbeda asal kampung dan berbuat suatu
pelanggaran adat di wilayah suku Dayak Banyur di mana ia tinggal, menjadi
sasaran hukum adat dalam batas wilayah. Artinya wajib mengikuti dan mematuhi apa
yang menjadi keputusan mentri adat
setempat. Pemangku adat di mana ia bersal tidak mempunyai hak untuk ikut campur
dalam menetukan dan memutuskan hukum adat. Dapat terlibat apabila diminta atau
diberi hak atau pula dilimpahkan kepada mentri
adat dimana ia berasal. Namun hal itu jarang terjadi, karena hukum adat
berkaitan dengan kesucian atau kesakralan lingkungan dan alam semesta dimana
terjadi pelanggaran adat. Jadi urusan adat wajib diselesaikan berdasarkan
tempat terjadinya pelanggaran adat.
Selain
diperuntukkan bagi masyarakat asli suku Dayak Banyur, hukum adat juga berlaku
terhadap siapa saja yang berada dalam wilayah dimana hukum adat itu berlaku.
Artinya bahwa, sasaran hukum adat
berlaku bagi orang yang bukan suku Dayak Banyur tetapi tinggal dalam
wilayah teritorial atau dalam hal ini secara geografis termasuk berada di
kampung Setalon Nanga Belitang. Warga masyarakat yang dimaksudkan adalah para
pendatang. Para pendatang dapat dikategorikan
sebagai berikut, pertama, suku
lain atau bukan termasuk suku Dayak Banyur dan tidak memiliki hubungan keluarga
dengan salah satu masyarakat suku Dayak Banyur tetapi menetap atau tinggal
sementara di wilayah teritorial suku Dayak Banyur. Kedua, suku lain atau bukan suku Dayak Banyur tetapi tinggal
menetap atau sementara dan memiliki hubungan keluarga dengan salah satu
masyarakat suku Dayak Banyur, misalnya melalui hubungan pernikahan. Baik
tinggal menetap ataupun sementara keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama
yaitu wajib mentaati hukum adat yang berlaku. Dikatakan tinggal menetap apabila
pendatang tersebut secara administrasi tercatat sebagai warga masyarakat dalam
batas wilayah dimana hukum adat suku Dayak Banyur berlaku. Sebaliknya, dikatakan
tinggal sementara apabila pendatang tersebut tidak bermaksud menetap atau hanya
berkunjung, serta belum tercatat secara adminstrasi sebagai warga masyarkat
dalam wilayah dimana hukum adat itu berlaku, meskipun memiliki hubungan
keluarga. Apabila terhadap para
pendatang dengan kedua kategori ini melakukan suatu kesalahan yang melanggar
adat, maka diberlakukan sama dengan penduduk asli suku Dayak Banyur.
d.
Maksud
dan Tujuan Hukum Adat
Berdasarkan
hasil wawancara dengan bapak Nazarius Japri sebagai tokoh adat suku Dayak
Banyur di Setalon Nanga Belitang, pada dasarnya tujuan dari hukum adat suku
Dayak Banyur ada empat, sebagai berikut[15]:
1) Menjaga,
melestarikan dan memelihara kearifan warisan
sebagai tanda penghormatan
terhadap Petara. Apabila
manusia dengan penuh kesadaran menjaga dan melestarikan hukum adat sebagai rasa
penghormatan kepada Petara serta
melaksanakannya dengan baik dan penuh tanggung jawab, maka hidup manusia akan
dipenuhi rasa suka cita baik lahir maupun batin. Namun sebaliknya, apabila
manusia dengan sadar pula tidak berkeinginan menjaga dan melaksanakan hukum
adat, sekaligus tidak menganggap hukum adat sebagai hukum yang diilhamkan dari Petara, maka hidup manusia akan
sengsara. Pepatah suku Dayak Banyur
mengatakan bahwa hukum adat adalah “Basa
lamá adat keliá” artinya, hukum adat
adalah cara yang lama. Cara lama bearti tata cara yang memang sejak dahulu kala
telah ada, yang diberikan oleh Petara
kepada manusia. Adat keliá adalah adat atau aturan yang dari Petara diberikan kepada nenek moyang dan
kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya, maka generasi baru menyebutnya
dengan kata keliá (dahulu/lampau). Melestarikan
dan menjaga hukum adat, sekaligus sebagai tanda penghormatan terhadap Petara bearti hidup seturut dengan
nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Hal ini juga menyangkut
hidup spritualitas manusia. Tanda bahwa manusia mempunyai kearifan spritualitas
dan kematangan rohani adalah dengan sikap hormat dan taat kepada ketentuan
warisan nenek moyang.
2) Menjaga
keseimbangan dan kesucian alam dari perbuatan tercela. Menurut suku Dayak
Banyur, alam dan segala isinya adalah sakral. Pada mula alam ini diciptakan oleh Petara, tidak ada satu pun yang cacat dan tercela, maka kesucian
itu harus dijaga dan pelihara. Hukum adat bertujuan untuk mengharmoniskan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu hukum adat melarang
perbuatan-perbuatan tercela yang dapat mengakibatkan kerusakan alam.
Keseimbangan alam dapat rusak apabila manusia tidak hidup dalam tatanan hukum
adat yang berlaku. Apabila terjadi
perbuatan tercela oleh masyarakat suku Dayak Banyur, misalnya melakukan tindakan
perzinahan atau tindakan terlarang lainnya, yang dianggap melawan kesucian,
maka tidakan tersebut dapat dikatan tindakan yang terkutuk. Alam semesta
sebagai ciptaan Petara, kesuciannya
akan tercemar. Pelaku pelanggaran tersebut harus melakukan ritual adat yang
dipimpin oleh pengurus adat dan diikuti oleh semua masyarakat yang sudah dewasa,
dengan mengorbankan binatang seperti babi. Daging babi harus dibagikan kesemua
penduduk kampung kemudian ada sesajian yang diberikan kepada Petara. Dengan melakukan ritual
demikian dimaksudkan, pelaku
sungguh-sungguh menyesali perbuatannya, Petara
dan alam ciptaan menghapuskan kesalahan dan dosanya, maka hubungan dengan alam
dan sesama pun dipulihkan kembali.
3) Memelihara
nilai-nilai norma moral dalam berprilaku (sopan satun dan tata kerama). Hukum
adat dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai luhur dalam kaitannya dengan moral. Seluruh
tindak tanduk, gaya hidup dan tata kerama suku Dayak Banyur mengacu pada hukum
adat. Hukum adat menjadi ukuran pertama dan utama bagi pola tingkah laku
masyarakatnya. Hukum adat adalah upaya mewujudkan pribadi yang santun dan
bermartabat. Suku Dayak Banyur selalu mengukur prilaku manusia dengan adat, oleh
karena itu, ada istilah yang mengatakan manusia “beradat”. Manusia yang “beradat”
bearti manusia yang tahu bagaimana bertingkah laku, mengerti aturan sopan
santun, piawai dalam bergaul, menempatkan diri sebagai manusia yang bisa
dihargai dan menghargai orang lain. Manusia yang ”beradat” bearti mampu menampilkan citra diri yang berbudi luhur,
bersikap penuh kasih sayang dan menjaga nilali-nilai moral yang mendalam.
Pribadi manusia “beradat” muncul dari
dasar hati yang mendalam, segala bentuk dan cara yang ditampilkan
sungguh-sungguh merupakan cetusan dari jiwa raganya sendiri. Sejak kecil
masyarakat suku Dayak Banyur dididik dan dibimbing agar mengerti dan memahami
serta mampu bersikap sesuai ketentuan-ketentuan adat. Oleh orang tua anak-anak
diarahkan untuk selalu menghormati hukm adat supaya kelak ketika dewasa juga bisa
menampilkan sikap hidup yang dapat dicontoh oleh generasi-genari berikutnya.
Hal-hal demikianlah yang menjadi tujuan dan cita-cita hukum adat.
4) Menjaga
ketertiban, keamanan dan kenyamanan hubungan antar pribadi dalam kampung. Dengan
adanya hukum adat, dipandang sebagai sebuah upaya meminimalisir pergesekan-pergesakan
antar pribadi. Jika pun terjadi maka hukum adat “menjembatani” pergesekan
tersebut. Realitas hidup bersama memang sering menimbulkan konflik antar
kepentingan, maka hukum adat disepakati bersama demi penghormatan dan
pengharagaan terhadap hak-hak masyarakatnya. Dengan adanya hukum adat, segala
macam persoalan diharapkan dapat menemukan jalan keluar. Ketertiban dan kemanan
kampung selalu berhubungan dengan sikap puas. Jika diantara masyarakat suku
Dayak Banyur tidak merasa puas terhadap situasi dan kondisi yang ada, maka
keamanan yang dicitakan sukar untuk tercapai. Untuk itulah hukum adat ada.
Hukum adat dalam menciptakan kedamaian tentu mendasarkan diri pada nilai-nilai
keadilan. Keputusan hukum adat menjamin keamanan apabila mengutamakan rasa adil
terhadap masyarakat suku Dayak Banyur, maka keputusan hukum adat selalu
mempertimbangkan dua dasar jiwa hukum adat, yaitu menanyakan apakah perkara yang sama pernah
terjadi sebelumnya, dan kedua, berusaha agar hukum adat yang dijatuhkan
berdasarkan rasa keadilan.[16]
Apabila suatu perkara atau pergesekan yang diselesaikan pernah terjadi dimasa
yang lampau, maka keputusan hukum adat mengacu pada keputusan yang pernah
diberikan dan disesuaikan kembali dengan konteksnya. Dengan demikian pelaku
pelanggaran hukum adat yang dahulu dan yang sedang diselesaikan, diberlakukan
sama. Berpedoman dua dasar tersebut hukum adat suku Dayak Banyur selalu berupaya mewakili
setiap kepentigan dan perasaan masyarakatnya. Apabila pelaku pelanggaran hukum
adat sudah diurus secara hukum adat namun tidak mengindahkan apa yang menjadi
keputusan menteri adat, maka dengan
sendirinya akan dikucilkan oleh masyarakat lainnya, karena sikapnya itu akan
mengusik rasa adil bagi orang lain. Kepentingan orang banyak lebih utama, tidak
heran jika keputusan adat pun memihak pada rasa keadilan orang banyak. Nasib
orang itu buruk sekali, karena sejak itu ia tidak lagi berada dalam
perlindungan adat.[17]
e.
Tokoh
Dalam Hukum Adat
Pada dasarnya, tokoh yang utama dan pertama
dalam hukum adat suku Dayak banyur adalah
Petara. Petara-lah yang memegang puncak kekuasaan terhadap hukum adat.[18]
Suku Dayak Banyur meyakini bahwa Petara merupakan
tokoh prakarsa yang memeberikan ilham kepada nenek moyang dalam proses
pembentukan hukum adat. Oleh karena itu, hukum adat yang telah ada bukan hukum yang semata-mata diciptakan oleh
manusia. Hal inilah yang membuat hukum adat diangggap begitu luhur dan mulia
bagi masyarakat Suku Dayak Banyur. Apabila sesuatu pelanggaran tidak dapat
diselesaikan melalui hukum adat karena alasan tertentu, misalnya perbuatan
pelanggaran tersebut sulit untuk dibuktikan, atau perbuatan tersebut di luar
jangkauan sanksi-sanksi yang dapat diberikan, maka Petara-lah yang mempunyai hak untuk memberikan sanksi lewat
tanda-tanda alam semesta bahkan terhadap pelakunya sendiri.
Selain dari pada itu, atas kehendak Petara juga, hukum adat diteruskan oleh
para leluhur. Demi kelanggengan dan
terpeliharanya hukum adat, serta demi keangungannya, maka dipilihlah
tokoh-tokoh yang dianggap mampu mengemban amanah dari Sang Petara. Dengan demikian maka, suku Dayak Banyur membuat suatu
kesepakatan musyawarah, dimana dalam kesepakatan tersebut mereka memilih para
tetua yang mempunyai kelebihan-kelebihan dan kecakapan untuk memegang tampuk
hukum adat.
Berdasarkan hasil wawancara bersama bapak
Nazarius Japri sebagai tokoh adat suku
Dayak Banyur di kampung Setalon Nanga Belitang,
menurut beliau tokoh-tokoh yang memangku hukum adat tersusun secara struktural.[19]
Suku Dayak Banyur mempercayakan kepengurusan hukum adat kepada orang-orang yang
dianggap mempunyai kemampuan dan kecakapan mengenai hukum adat. Mereka tentunya
orang-orang yang dituakan yang mengerti secara mendalam tentag hukum adat.
Mereka dipilih berdsasarkan kesepakatan bersama dalam kampung, oleh karena itu
keputusan terhadap terpilihnya pemangku adat ini tidak dapat diganngu gugat
oleh siapapun. Suku Dayak Banyur menganggap orang-orang yang telah dipilih
bersama adalah orang-orang yang dapat mewakili keinginan atau aspirasi
masrakatnya. Asprisasi yang dimaksudkan tentu dalam kaitannya mengenai
kelanggengan hukum adat. Oleh karena itu para
pemangku adat terpilih adalah orang-orang yang mampu memberi komando
kepada seluruh masyarakat suku Dayak Banyur untuk turut menjaga, memelihara dan
meneruskan warisan nenek moyang tersebut.
Jika diurutkan secara struktural maka
tokoh-tokoh hukum adat dapat dilihat sebagai berikut:
1) Patih. Patih
adalah gelar yang diberikan kepada seorang pemangku adat dengan tingkatan
paling tinggi.[20] Patih membawahi beberapa temenggung.
Jika dilihat secara hirarki pemerintahan, maka patih berkedudukan di kabupaten.
Patih juga merangkap sebagai dewan adat. Sekarang ini patih sejajar dengan perangkat kabupaten, hanya saja patih bergerak
dalam bidang adat. Patih adalah orang
yang sangat menguasai hukum adat, tidak hanya hukum adat satu suku saja
melainkan beberapa suku, tergantung banyaknya sub suku Dayak yang masuk dalam
wilayahnya. Dalam beberapa ketemenggungan biasanya terdiri dari tiga sampai
empat sub suku Dayak. Kepada patih-lah
para tumenggung bertanya guna memperoleh pengetahuan menyangkut
kearifan-kearifan hukum adat apabila menghadapi suatu perkara di luar
kemampuannya.
2) Tumenggung.
Tumenggung berada satu tingkat di
bawah patih. Tumenggung membawahi petinggi.[21]
Jika dilihat dari sudut pemerintahan, tumenggung berkedudukan di wilayah kecamatan dan
membawahi beberapa desa. Tumenggung
juga dianggap menguasai hukum adat dari beberapa sub suku Dayak yang ada di
bawahnya.
3) Petinggi. Petinggi adalah
istilah yang digunakan untuk menyebut orang yang dianggap senior dalam hal
adat, namun masih dalam satu wilayah.[22]
Petinggi sebenarnya tidak mempunyai
daerah administratif sendiri, ia berada dan berkedudukan sama dengan menteri adat. Namun dianggap lebih
senior daripada menteri adat. Di sisi
lain petinggi adalah sebutan untuk orang yang akan dicalonkan menjadi
tumenggung. Dengan kata lain, posisi petinggi masih dipersiapkan untuk
dicalonkan menjadi tumenggung.[23]
Jika ada suatu perkara dalam wilayah yang terdapat petinggi, maka diurus dan diselesaikan sepenuhnya oleh menteri adat, kecuali dalam situasi
tertentu yang membutuhkan bantuan seorang petingggi.
4) Menteri. Seorang
menteri sering disebut dengan menteri adat. Tidak begitu jelas apa alasan
istilah menteri ditambahkan dengan
kata adat. Dari hasil wawancara
dengan bapak Nazarius Japri, tokoh adat kampung Setalon Nanga Belitang, yang
juga merupakan seorang mantan menteri
adat, mengatakan bahwa, istilah tersebut muncul begitu saja.[24]
Tidak ada asal-usul yang jelas, secara spesifik ditegaskan bahwa istilah
tersebut muncul dari kebiasaan sehari-hari, sehingga oleh orang banyak dan
generasi baru istilah tersebut digunakan. Menteri
adat, mempunyai kuasa hukum adat dalam satu kampung. Setiap perkara yang
ada dalam suatu kampung dibawa dan diputuskan oleh menteri adat.
5) Ketua adat.
“Ketua ada” merupakan sebutan atau
gelar untuk orang yang diberi kepercayaan mengurusi perkara dalam wilayah yang
lebih kecil.[25] Ketua adat setingkat dibawah menteri adat karena ia mempunyai wilayah
kuasa relatif lebih kecil. Wilayah kuasa ketua
adat meliputi beberapa warga. Pembagian ini merupakan pecahan dari satu
kampung. Dalam satu kampung terdiri dari beberapa persekutuan warga yang dibagi
berdasarkan wilayah teritorial. Misalnya, dalam satu kampung ada tiga kelompok
persekutuan warga, maka ketua adat-nya
juga tiga orang. jika dilihat atau dibandingkan dengan administratif
pemerintahan, maka persekutuan warga ini mirip dengan rukun warga (RW). Jumlah warga yang dibawahi biasanya terdiri
dari lima puluh sampai seratus kepala leluarga. Apabila ketua adat tidak dapat
memutuskan suatu perkara karena keterbatasan pengetahuan atau pengalaman atau
karena hal-hal tertentu yang membutuhkan
pengurus yang dipandang lebih mampu, maka perkara tersebut dilimpahkan kepa menteri adat.
Bagi semua pemangku kekuasaan hukum adat yang
dipercayakan secara umum harus memiliki
kecakapan dan kelebihan dibidang hukum adat, meskipun tidak semua kecakapan dan
kelebihan tersebut dipenuhi namun paling tidak dipercaya mampu oleh
masyarakatnya. Kecakapan-kecakapan yang ada pada diri orang yang memengang
puncak kepengurusan hukum adat secara umum dapat dilihat sebagi berikut:
1) Seorang
laki-laki dewasa, yang sepuh (dituakan) dan berwibawa, memiliki kecakapan dalam
mengingat peristiwa-peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan hukum adat.[26]
Kecakapan ini selalu berhubungan dengan kemampuannya menguraikan
sejarah-sejarah mengenai hukum adat, baik secara asal-usul maupun jenisnya. Dalam
hal ini dituntut kecerdasan untuk melafalkan jenis-jenis hukum adat, karena
hukum adat tidak diwariskan secara tertulis.
2) Seorang
yang mempunyai visioner, gagah berani, tegas dan cekatan dalam urusan-urusan
adat serta sanggup menghadapi segala tantangan apa saja. Seorang yang mempunyai
pendirian dan tidak mudah digoyahkan serta mempunyai wawasan yang luas.[27]
Tekun, ulet dan tidak mudah putus asa.
3) Seorang
yang jujur, adil dan bijaksana.[28]
Rela berkorban, terutama berkorban waktu dan tenaga bagi kepentingan orang
banyak. Bersifat dermawan atau suka berbagi, teladan dalam berprilaku. Mampu
mengayomi, melindungi dan perhatian kepada masyarakatnya.
f.
Jenis
dan Sanksi Hukum Adat
Hukum adat suku Dayak Banyur secara
rinci terdapat berbagai jenis hukum. Namun hukum-hukum tersebut dibedakan
menjadi dua macam sifat, yaitu pertama,
hukum adat yang tidak memiliki delik hukum, namun merupakan suatu kewajiban
yang harus dilakukan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan nenek moyang. Jenis hukum
adat ini memberi perhatian khusus pada keutamaan-keutamaan religius dan rohani.
Secara mendasar hukum adat jenis ini tidak memiliki kekuatan sanksi dari
manusia, artinya adalah bahwa prilaku mereka dalam mentaati hukum ini
didasarkan pada rasa penghormatan kepada Petara
dan keyakinan akan keselamatan. Hukum adat inilah yang dimengerti sebagai hukum
kebiasaan. Akibat hukum pada kebiasaan jenis ini erat kaitannya dengan keselamatan dan kesempurnaan
hidup. Keselamatan berarti memperoleh restu dari Petara terhadap apa yang dilakukan oleh manusia. Apabila terjadi
perbuatan di luar kebiasaan yang berlaku, maka perbuatan tersebut mempunyai
dampak, namun dampak tersebut terjadi secara tak lansung pada hidup seseorang,
hal ini dapat diketahui melalui keadaan hidup si pelanggar, menyangkut usaha,
pekerjaan, keharmonisan keluarga, tarmasuk juga kesehatannya. Dampak tidak
langsung ini dipandang sebagai hukuman dari Petara
atas kelalaian suatu perbuatan manusia.
Kedua
ialah, hukum adat yang bersifat delik hukum. Sifat hukum adat ini mengacu pada
perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan pelanggaran. Hukum adat
yang dilanggar mendapat sanksi sesuai degan jenis pelanggarannya. Hukum adat jenis
ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang cukup mendalam. Saksi hukum
diberikan dengan melihat berbagai aspek dasar yang memicu pelanggaran tersebut.
Lain dari pada itu, hukum adat ini mempertimbangkan pula bagaimana terjadinya
dan apa akibatnya dari pelanggaran yang dilakukan. Oleh karena itu
masing-masing perbuatan pelanggaran memiliki acuan tersendiri untuk menetapkan
saksi yang diberikan.
Selain dari pada itu, hukum adat yang
bersifat delik hukum ini juga memiliki dimensi religius. Hukum adat yang
berdimensi religius ini mengacu perbuatan-perbuatan yang melanggar susila. Setiap
pelanggaran yang dilakukan memang akan diberikan sanksi berupa benda atau
materi, namun tidak semua pelanggaran dapat selesai hanya dengan memenuhi
sanksi tersebut. Hukum adat menuntut pemulihan suatu kesalahan. Ada berbagai
jenis pelanggaran hukum adat yang diberikan saksi (denda) materi atau benda
sekaligus menuntut penyelesaian melalui ritual-ritual kepercayaan. Hal tersebut
dilakukan guna memulihkan suatu pelanggaran kembali seperti semula. Pemulihan
yang dilakukan melalui ritual-ritual khusus ini ditujukan untuk menjaga
keharmonisan hubungan dengan Petara
dan sekaligus menjaga kesucian alam semesta. Perbuatan-perbuatan ini menyangkut
perbuatan a-moral yang dipandang terkutuk, kotor dan najis. Hal ini juga dapat
mengganggu ketenangan penduduk yang lain, karena kepercayaan mereka terhadap akibat-akibat
dari pelanggaran tersebut dapat berefek pada diri mereka, misalnya bencana alam
(guntur, petir, hujan, banjir, kemarau panjang dan malapetaka lainya), maka
segeralah pelanggaran tersebut dibereskan baik melalui hukum maupun
upacara-upacara adat.
Dari paparan di atas, maka dapat
dibedakan secara jelas dua hal yang berkaitan dengan sanksi hukum adat yang
bersifat delik hukum yaitu, pertama pelanggaran yang berkaitan
langsung dengan Petara, atau
pelanggaran yang berkenaan dengan keutamaan-keutaman religius. Pelanggaran ini tidak dapat diberikan sanksi
oleh hukum adat, sanksi datang dari Petara, namun berdasarkan kepercayaan dan kearifan
religius suku Dayak Banyur sanksi dari Petara dapat dicegah melalui ritual
adat. Hanya mencegah tidak memberikan sanksi kepada si pelanggar dan tidak
membatalkan sanksi dari Petara.
Mencegah tidak bearti memerintah Petara
membatalkan niatnya untuk memeberikan sanksi, apabila Petara tetap tidak berkenan maka sanksi dari Petara tidak dapat dibatalkan oleh manusia. Upacara adat sebagai
pemulihan, sesungguhnya bukan keinginan dan ketentuan yang ada dalam hukum
adat, melainkan suatu kewajiban yang harus dilakuan berdasarkan nilai-nilai
religius dan moral. Melakukan ritual berarti memohon kepada Petara agar dengan penuh kasih sayang,
memberikan ampunan terhadap perbuatan yang telah dialakukan, maka dalam upacara
adat tersebut diberi sesajian dan doa-doa khusus yang berisi permohonan maaf
serta penyesalan batin yang mendalam.
Kedua,
pelanggaran hukum adat yang murni dapat diberikan sanksi oleh manusia. Sifat
sanksi ini berkenaan dengan hubungan sosial (sesama). Setelah diselesaikan
secara ritual adat, si pelanggar tetap harus mengganti rugi kesalahannya dengan
denda. Denda yang diberikan juga melihat tingkat kesalahannya. Denda terhadap
suatu pelanggaran, oleh hukum adat dituntut untuk membayar dalam bentuk benda
keramik dan binatang. Benda keramik seperti tempayan, mangkok, piring dan
cangkir, sedangkan binatang seperti, (ayam
dan babi).
Hukum adat Suku Dayak Banyur pada
dasarnya secara eksplisit tidak bersifat kalimat perintah atau larangan. Kata
yang digunakan dalam menyebut jenis hukum adat berupa kata yang langsung
merujuk pada perbuatan. Namun demikian, di dalam kalimat tersebut mengandung
suatu larangan agar tidak dilakukan perbuatan tersebut. Kata atau kalimat hukum
adat biasanya berkonotasi negatif karena hukum-hukum tersebut menyebutkan
tindakan-tindakan yang tidak boleh
dilakukan. Misalnya, adat bezinah, adat encuri, jenis hukum adat ini berarti
mengandung makna larangan untuk melakukan perbuatan zinah atau mencuri, maka untuk
menyebutkan jenis hukum adat tertentu, biasanya disertai dengan kata “adat” di depan kalimat hukum adat yang
dimaksudkan, kata adat itulah yang secara
tidak langsung dipahami mempunyai makna larangan atau dapat juga dipahami
sebagai kebiasaan yang dilarang. Namun tidak semua kalimat atau kata jenis
hukum adat berkonotasi negif, ada pula yang mengandung makna positif. Pada
makna positif inilah terkandung makna perintah agar dilakukan. Misalnya, adat kesupan, adat kesupan, artinya adat
kesopanan. Maka sudah jelas mengandung makna perintah, yaitu perintah agar
berlaku sopan.
Selain dari pada itu, hukum adat suku Dayak
Banyur tidak memiliki urutan yang baku dan definitif dalam penempatannya, hal
ini karena hukum adat tersebut tidak didokumentasikan secara tertulis. Kalaupun
sudah ada yang dirumuskan secara tertulis, namun belum mampu dan lengkap
mewakili seluruh jenis hukum adat yang ada.
Dari pernyataan tersebut nampak bahwa suku Dayak Banyur belum memikirkan
pembedaan hukum adat berdasarkan sifat penting atau kurang penting. Namun yang
jelas, setiap jenis hukum adat mendasarkan diri pada kearifan-kearifan sukunya.
Kearifan tersebut meyangkut seluruh nilai hidup, baik dimensi religius maupun
sosial. Hukum adat suku Dayak Banyur tertanam dalam hati masyarakatnya tanpa
ada proses formal, namun berdasarkan pengalaman hidup yang membawa mereka pada
suatu pemahaman menyangkut nilai-nilai hukum adat itu sendiri. Oleh karena itu
kewibawaan dan kepentingan suatu jenis hukum adat tidak dapat dinilai secara
dangkal dan rasional berdasarkan ilmu-ilmu baru.
Jenis-jenis hukum adat suku Dayak Banyur
adalah sebagai berikut:
Jenis hukum adat yang murni bersifat
religius, yang lahir berdasarkan kepercayaan kepada Petara dan tidak bersifat delik hukum.
1)
Bediau
keranang.[29]
Bediau keranang adalah adat yang
mengandung perintah agar dilakukan. Bediau
artinya; berdiam, tinggal, tidak beraktivitas, sedangkan ranang artinya bulan. Bediau kerang berarti tidak melakukan aktivitas pada tanda-tanda bulan tertentu.
Menurut suku Dayak Banyur bediau keranag erat
kaitannya dengan waktu yang disediakan untuk Petara. tanda-tanda dari alam seperti bulan adalah isyarat dari Petara supaya manusia tidak melakukan
aktivitas apapun di hari tersebut. Bediau
keranang sangat kental dengan kehidupan rohani, di hari tersebutlah mereka
menghormati Petara dengan tinggal di
rumah tanpa melakukan pekerjaan. Menurut suku Dayak Banyur, Petara telah memberikan waktu yang cukup panjang untuk bekerja,
maka pada hari-hari tertentu mereka beristrahat. Istrahat dari pekerjaan dipandang
sebagai suatu sikap pengungkapkan rasa syukur kepada Petara atas seluruh usaha dan karya yang telah mereka lakukan. Dalam
satu bulan terhitung empat kali mereka tidak melakukan aktivitas, dan setiap
kalinya diisi dengan jumlah hari yang berbeda. Bediau keranang tidak hanya dimaknai sebagai hari libur dari
pekerjaan, namun lebih daripada itu, bediau
keranang berarti menghentikan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan
manusia. Saat bediau keranang,
dipandang sebagai proses evaluasi diri, memeriksa semua sikap dan tindakan yang
telah dilakukan dihari-hari sebelumnya. Memeriksa diri berarti membangun sebuah
sikap baru yang lebih baik serta meminta penyertaan Petara untuk hari-hari berikutnya. Bediau keranang dipandang sebagai hari yang sakral, pada hari
tersebut semua orang (masyarakat suku Dayak Banyur) mengagungkan karya Petara dalam hidup mereka. Tidak ada
sanksi hukum dalam adat ini, mereka melakukannya dengan kesadaran hati yang
mendalam, tanpa ada paksaan atau dorongan dari pihak lain. Mereka mengerti
dengan baik makna apa yang terkandung dalam bediau
keranang, oleh sebab itu melakukan tindakan tersebut adalah suatu cara
mereka mengeskperikan iman mereka. Kehidupan beriman dipandang sebagai urusan
yang paling pribadi dari seseorang, hal-hal yang menyangkut penghayatan iman
pun dilakuakan dengan kesadaran yang penuh atas dasar hati nurani. Mereka
yakin, apabila kearifan-kearifan yang diwariskan dari nenek moyang, yang juga
dipercaya dari Petara dilakukan,
mereka memperoleh berkat. Berkat menyangkut seluruh dimensi hidup. Petara memperhatikan orang yang dengan
sungguh-sungguh melaksanakan apa yang menjadi tanda dan upaya dalam
menghormatinya. Dengan menjalankan apa yang dianggap kehendak-kehendak Petara, kehidupan mereka pun diliputi
suka cita yang melimpah. Bediau keranang dibedakan
empat jenis sebagai berikut:
Bediau keranang tumuh adalah
hari dimana masyarakat suku Dayak Banyur tidak melakukan aktivitas karena tanda
bulan yang pertama. Bediau keranang tumuh
artinya, tidak beraktivitas pada saat bulan tumbuh. Tumuh dalam bahasa Dayak Banyur berarti tumbuh. Kata tumuh dapat diartikan dengan kata
muncul. Berarti, dalam satu bulan, pada saat bulan pertama kali muncul mereka
tidak melakukan aktivitas. Pada saat bediau
keranang tumuh, masyarakat suku Dayak Banyur tidak beraktivitas selama satu
hari.
Setelah
bediau keranang tumuh, berikutnya
adalah bediau keranang segala. Bediau
keranang segala artinya adalah tidak beraktivitas pada saat bulan penuh. Segala artinya penuh. Penuh yang dimaksudkan adalah bulan purnama, dimana bentuk
bulan terlihat bundar. Pada saat bediau
keranang segala masyarakat suku Dayak Banyur tidak beraktivitas selama
tujuh hari.
Berikutnya
bediau keranang lerak. Bediau keranang
lerak artinya tidak beraktivitas apabila bulan mulai terlihat separuh. Lerak artinya terpisah, terlihat separuh.
Pada saat bediau keranang lerak,
masyarakat suku Dayak Banyur tidak beraktivitas selama tujuh hari.
Hari
tidak beraktivitas yang terakhir adalah pada saat bediau keranang padam. Padam artinya mati, hilang, tidak kelihatan
lagi. Pada saat tersebut bulan tidak kelihatan lagi dipermukaan langit. Pada saat
bediau keranang padam, masyarakat
suku Dayak Banyur tidak beraktivitas selama tiga hari.
Dalam
menentukan jumlah hari dimana tidak melakukan aktivitas, memang susah
ditelusuri. Tidak ada alasan yang tepat dan mendukung menyangkut jumlah hari
tersebut. Lain dari pada itu, secara historis tidak ditemukan apakah setiap bediau keranang mempunyai nilai atau
kepentingan yang berbeda sehingga dibedakan jumlah harinya. Namun demikian, hal
itu tidak menjadi penghalang untuk melakukan apa yang telah menjadi kepercayaan
mereka. Menurut Suku Dayak Banyur, apa yang mereka lakukan merupakan bentuk
atau ungkapan kepercayaan mereka kepada Petara.
Tidak ada penjelasan yang mampu mewakili sikap dan pandangan hidup mereka
terhadap apa yang mereka imani. Peristiwa-peristiwa religius mereka pandang
sebagai kehendak Petara, oleh karana
itu sebagai manusia yang lemah dan terbatas, mereka percaya tanpa harus mampu
memberikan penjelasan yang dapat dimengerti dan dipahami oleh orang lain.
Jenis
hukum adat yang bersifat delik hukum dan dapat diberikan sanksi namun sekaligus
bersifat religius.
2)
Adat
kesupan.[34]
Adat kesupan adalah
jenis hukum adat yang berupa perintah utuk dilakukan. Kesupan artinya sopan; santun; bertingkah laku sopan; hormat. Adat kesupan ini dikhususkan pada tidakan
sopan, santun, horamat kepada orang yang lebih tua atau yang dituakan. Suku Dayak
Banyur sangat menghormati orang yang lebih tua, baik tua menurut usia maupun
tua karena ia dipandang dan dituakan, atau orang tua menurut garis keturunan. Secara
khusus hukum adat ini mengatur hubungan antara anak dengan orang tuanya. Sikap
hormat kepada orang tua, ayah dan ibu, merupakan sikap nyata yang kemudian
diwujudkan di tengah masyarakat. Hukum adat ini tidak dapat dilihat sekedar
hormat kepada orang tua (ayah dan ibu), namun mempunyai arti yang lebih luas.
Diri pribadi orang terbentuk dalam suatu keluarga dimana di dalamnya anak-anak
diajarkan untuk menghormati dan menghargai orang tuanya. Keluarga merupakan
dasar dari masyarakat, maka sikap yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya
di dalam keluarga juga dimaksudkan supaya diterapkan di tengah masyarakat. Selain
dari pada itu adat kesupan ini juga
dapat dimaknai sebagai adat yang menjaga hubungan antara individu di dalam
komunitas mereka, karena dengan menghormati orang lain, seperti menghormati orang
tua, akan menciptakan suatu suasana yang harmonis, damai dan tenteram. Hormat
kepada orang tua dalam sikap hidup sehari-hari menunjukkan suatu komunitas
masyarakat yang tahu menempatkan diri secara baik bagi orang lain. Bagi suku
Dayak Banyur, menghormati orang lain dengan sikap dan cara hormat terhadap
orang tua, mampu membangun relasi yang hangat, akrab dan rasa kekeluargaan yang
kental. Hal-hal inilah yag menjadi inti dari adat kesupan, bukan sekedar hormat kepada orang tua dalam arti dan
ruang lingkup yang kecil namun juga dalam arti dan ruang lingkup yang lebih
besar. Suku Dayak Banyur juga meyakini sikap hormat kepada orang tua juga
merupakan wujud dari kesadaran manusia melakukan apa yang dikendaki oleh Petara. Nilai-nilai hidup yang seperti
ini dianggap sebagai pemenuhan dari apa yang diinginkan oleh Petara. Oleh sebab itu, jika seseorang
bersikap dan bertingkah laku dengan tidak menujukkan rasa hormat kepada orang
tua dan orang lain yang lebih tua, dianggap tidak mempunyai kesadaran akan
keutamaan-keutamaan religius. Tindakan tidak sopan kepada orang tua atau yang
dituakan dibedakan sebagai berikut:
·
Tidak sopan dengan
tindakan fisik, misalnya melakukan pemukulan. Tindakan tersebut dapat dikenakan
sanksi hukum adat.
·
Tidak sopan dengan
kata-kata, misalnya mencaci-maki, menghina atau mengata-ngatai. Tindakan
tersebut dapat dikenakan sanksi hukum adat.
·
Tidak sopan karena
tidak mengikuti keputusan orang yang dituakan. Dalam hal ini apabila pelaku
sebelumnya meminta orang tua (yang dituakan/pengurus adat) menyelesaikan
perkara yang sedang dihadapinya, namun setelah diputuskan dan diberi solusi
pelaku tidak mengindahkan, dan memilih orang yang dianggap lebih mampu atau ke tingkat
yang lebih tinggi, dan ternyata diberikan solusi serta keputusan yang sama, dan
pelaku kemudian menerima, maka pelaku dapat dikenakan sanksi hukum adat.
§ Sanksi
hukum adat (dimensi sosial).
- Apabila
terjadi jenis pelanggaran pertama, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat
dengan membayar 6 tael pun tepayan.
- Apabila
terjadi jenis pelanggaran kedua, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat 3 tael pun tepayan.
- Apabila
terjadi jenis pelanggaran ketiga, maka pelaku dikenakan 12 tael pun manuh.
- Sanksi
hukum adat yang telah dibayar diberikan kepada pihak yang dirugikan.
§ Dimensi religius.
Apabila
terjadi, baik pelanggaran jenis pertama, kedua dan ketiga, maka pelaku dengan
kesadaran religius meyerahkan manuk sikuk
mangkok singkap kepada pengurus adat sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan
batin yang mendalam.
3)
Adat encuri.[35]
Adat encuri adalah
hukum adat yang melarang seseorang atau masyaraktnya untuk mengambil hak milik
orang lain. Encuri dalam bahasa Dayak
Banyur berarti mencuri. Mencuri adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain,
maka menurut suku Dayak Banyur mencuri baik sifatnya ringan maupun berat tetap
dilarang. Mencuri dipandang perbuatan yang bukan hanya merugikan orang lain
secara materi saja, melainkan perbuatan yang merusak hubungan si pelaku dengan Petara, karena dengan mencuri seseorang
telah melawan nilai-nilai hidup yang diajarkan oleh Petara. Jika ditelusuri lebih mendalam, mencuri menurut suku Dayak adalah
tindakan seseorang yang tidak taat kepada hukum-hukum Petara, maka Petara
melihatnya sebagai orang yang membangkang. Oleh sebab itu, perbuatan mencuri
hendaknya diselesaikan melalui dua jalur, yaitu melalui hukum adat dan melalui
pemberesan kesalahan terhadap Petara,
maka pelaku pencurian harus memenuhi kedua jalur ini. Adat encuri dibagi menjadi dua jenis encuri,
yaitu dilihat dari besar kecilnya benda yang dicuri.
·
Mencuri yang bersifat
ringan yaitu, encuri benda pekarang atau
uleh pekarang urang: mencuri benda/barang yang berada di luar rumah. Uleh pekarang urang: hasil usaha orang
lain, seperti binatang peliharaan (kecuali babi karena babi dianggap peliharaan
berharga), hasil jerat baik di darat maupun di sungai, tumbuh-tumbuhan di
ladang (sayur-sayuran/apa saja yang tumbuh di ladang) dan buah-buahan. Dengan
kata lain encuri benda uleh pekarang
urang, adalah semua benda/barang baik benda hidup maupun benda mati yang
menjadi milik orang lain diambil secara diam-diam atau tanpa memberi tahu
kepada si pemilik baik sengaja maupun tidak, maka pelaku diklasifikasikan
sebagai pencuri/mengambil hak orang lain tanpa permisi.
·
Mencuri yang bersifat
berat yaitu, encuri barang beraga. Encuri barang beraga adalah mencuri barang yang nilai harganya tinggi. Barang beraga seperti, emas dan babi. Babi dipandang barang atau binatang yang berharga bagi suku
Dayak banyur. Apabila benda yang dicuri adalah binatang babi, maka termasuk
perbuatan mencuri barang berharga.
§ Sangksi
hukum adat (dimensi sosial).
Encuri benda pekarang
atau uleh pekarang urang.
Apabila
terjadi tindak pencurian baik disengaja maupun tidak sengaja (karena pelaku
tidak mengetahui siapa yang punya, namun tetap mengambil barang tersebut), dan
tidak memiliki kesadaran untuk mengembalikannya atau meminta maaf kepada
pemiliknya, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat:
- Pelaku
dikenakan sanksi membayar hukum adat: 3
tael pun tepayan.
- Barang
yang dicuri harus dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila barang yang dicuri
berupa barang yang tidak bertahan lama, atau telah digunakan sendiri oleh
pelaku, ataupun telah dijual, maka pelaku diwajibkan mengembalikan dengan uang
atau benda lain yang senilai (seharga) dengan benda yang telah dicurinya.
Encuri barang beraga.
Apabila
terjadi pencurian dengan jenis encuri barang beraga, maka pelaku
pencurian dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 6 tael pun manuh.
§ Dimensi
religius
Setelah
semua urusan beres, baik pihak yang merugikan atau yang dirugikan, maka pelaku membereskan
persoalannya secara religius.
Encuri benda pekarang
atau uleh pekarang urang dan encuri barang beraga
Baik mencuri yang bersifat ringan
maupun berat, pelaku dengan kesadaran religius menyerahkan kepada pihak yang
dirugikan: manuk sikuk, mangkok singkap
sebagai persebahan kepada Petara dan
sebagai ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
4)
Adat
bezinah.[36]
Adat bezinah adalah
adat berzinah, hanya dalam ucapan suku Dayak Banyur “r” dihilangkan. Menurut
suku Dayak Banyur, berzinah diklasifikasikan sebagai tindakan cabul dan hina.
Seorang yang berzinah dianggap kotor dan najis. Berzinah sangat dilarang oleh
hukum adat karena selain tindakan berdosa juga merusak nama baik kampung dan
suku. Pelaku perzinahan dianggap melawan nilai-nilai moral dan religius.
Menurut suku Dayak Banyur Petara sangat tidak menghendaki perbuatan ini.
Apabila terjadi tindakan perzinahan maka seluruh isi kampung akan sunyi sepi,
suasana seperti mencekam, hal ini karena seluruh penduduk kampung (suku Dayak
Banyur) takut terjadi malapetaka, bencana yang juga dapat mengenai seluruh isi
kampung. Mereka memilih tinggal dirumah sampai perkara tersebut benar-benar
beres. Anak-anak dilarang keluar rumah karena dipercaya ada aura-aura jahat
yang sedang berkeliaran dan bersenang-senag. Menurut suku Dayak Banyur Petara murka terhadap tindakan tersebut,
dan bisa saja Ia menurunkan murka-Nya secara tiba-tiba. Dilihat dari dimensi
sosial, pelaku perzinahan akan mengalami nasib buruk, karena ia akan dikucilkan
dan dijauhi serta pula menjadi bahan pembicaraan orang dimana-mana. Sejauh
perbuatan zinah tersebut dapat dibuktikan dan terbongkar di depan umum maka
diberlakukan hukum adat bagi pelakunya. Hukum adat dimaksudkan untuk
membereskan hubungannya dengan sesama, karena atas tindakan tersebut ketenangan
seluruh isi kampung terganggu serta nama baik kampung dan suku pun tercemarkan.
Selain dari pada itu juga mengakibatkan rusaknya hubungan manusia dengan Petara khususnya bagi individu si
pelaku, kesucian alam juga turut dinodai. Untuk mengembalikan situasi seperti
semula, maka pelaku dituntut hukum adat, juga membereskan perkara terkutuk
tersebut dengan Petara dan alam semesta.
Apabila tindakan perzinahan tersebut bersifat rahasia, tidak diketahui oleh
orang banyak karena tidak ada bukti, maka hukuman sepenuhnya dari Petara. Petara maha tahu akan perbuatan-perbuatan yang disembunyikan oleh
manusia. Menurut suku Dayak Banyur perbuatan zinah ini dapat dibendakan sebagai
berikut.
·
Adat
Butang.[37]
Butang adalah perbuatan asusila antara kedua
orang yang sudah memiliki istri atau suami. Baik pria maupun wanita sama-sama
sudah terikat pernikahan. Klasifikasi perbuatan butang adalah seorang perempuan yang sudah memiliki suami
berhubungan khusus dengan seorang pria yang sudah memiliki istri, baik dalam hubungan
tersebut sudah melakuan tindakan intim (seks) maupaun hanya sebatas saling suka
tanpa berhubungan intim. Dakwaannya ialah bahwa kedua pihak tersebut dianggap telah
merusak dan mengganggu rumah tangga orang lain dan juga merusak rumah tangganya
sendiri serta melakukan hubungan yang terlarang karena terikat pernikahan
sebelumnya. Butang tidak dibedakan
antara perbuatan paksaan atau perbuatan sama-sama suka. Jika sudah terjadi
butang, maka dianggap sama-sama menghendaki dan mendukung hubungan tersebut.
Kata butang menunjukkan bahwa
perbuatan tersebut sudah terjadi dan tidak beralasan atas dasar paksaan dari
salah satu pihak.
§ Sanksi (dimensi sisoal).
Apabila
terjadi perbuatan butang, maka kedua
belah pihak yang melakukan perbuatan tersebut dikenakan sanksi hukum adat
sebagai berikut:
- Kedua
pelaku masing-masing wajib membayar 9
tael jumlahnya 18 tael.
- Kedua
pelaku wajib kembali kepada istri dan suami sebelumnya dan meminta maaf dengan
rasa penyesalan.
- Adat
yang dibayar diberikan kepada kedua belah pihak yang telah dirugikan.
§ Dimensi
religius
Setelah
semua urusan beres baik pihak yang merugikan maupun yang dirugikan, maka pelaku
membereskan persoalannya secara religius.
- Pelaku
dengan kesadaran religius menyerahkan kepada pihak yang dirugikan: manuk sikuk, mangkok singkap sebagai
persembahan kepada Petara dan sebagai
ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
·
Adat
Ngampang.[38] Ngampang berarti
hamil tanpa suami atau di luar pernikahan. Seseorang yang hamil tanpa suami
dianggap telah melakukan tindak perzinahan. Perbuatan ini terjadi biasanya pada
seorang gadis atau seorang janda. Untuk menentukan sanksi hukum adat yang
diberikan maka perempuan yang hamil tersebut akan ditanya siapa yang
menghamilinya. Apabila perempuan yang hamil tersebut tidak berkenan menyebutkan
nama atau memberi isyarat mengenai laki-laki yang menghamilinya, dengan alasan
atau pun tanpa alasan, maka sanksi hukum adat sepenuhnya dibebankan kepadanya.
Sebaliknya, apabila perempuan yang hamil tersebut menyebutkan nama atau memberi
isyarat mengenai laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki tersebut
dipanggil oleh pengurus adat dan dimintai keterangan. Apabila laki-laki tersebut
megakui perbuatannya maka dialah yang akan menganggung sanksi hukum adat. Sebaliknya
apabila laki-laki tersebut tidak mengakui perbuatannya dan memberi keterangan
bahwa tuduhan terhadapnya adalah fitnah, maka pengurus adat setempat akan
mencari bukti terlebih dahulu untuk menguatkan hukum adat. Jika laki-laki
tersebut tidak terbukti bersalah, sanksi hukum adat tetap dibebankan pada pihak
perempuan dan laki-laki tersebut mempunyai hak untuk menuntut nama baiknya
dipulihkan, atau sebaliknya memaafkan tuduhan perempuan. Namun, jika terbukti
bersalah, laki-laki tersebut wajib menggung beban sanksi hukum adat.
Apabila laki-laki terbukti, maka
adat ngampang dibedakan menjadi dua
jenis yaitu (1) ngampang dengan
pasangan tumuk, yaitu ngampang dengan laki-laki yang boleh
menikah menurut garis keturunan atau hubungan darah. Tumuk artinya boleh,
dapat dilakukan, sesuai, serasi, tidak ada halangan. (2) ngampang dengan
pasangan mali, yaitu dengan pasangan
yang tidak boleh menikah menurut garis keturunan atau hubungan darah. Mali artinya tidak boleh, atau
mengandung unsur penghalang karena alasan tertentu, atau tidak halal. Misalnya, gadis yang hamil
merupakan anak dari laki-laki yang adalah bapak menurut garis keturunan.
Sebutan untuk anak bagi suku Dayak Banyur bukan hanya anak kandung, melainkan
juga anak dari saudara-saudari, anak dari sepupu, dan anak garis keturunan yang
lebih jauh. Begitu juga bapak atau ibu, selain
bapak atau ibu kandung, sebutan bapak atau ibu dilihat dari garis keturunan,
atau dalam bahasa Dayak Banyur ayak: paman,
dan ibÚ:
bibi, atau sering disebut dengan istilah pernah
anak dan pernah ketuan. Pernah anak : anak menurut garis keturunan dan pernah ketuan: ayak :paman atau ibÚ: bibi menurut
garis keturunan. Selain itu ngampang dengan
pasangan mali juga untuk pasangan
yang memiliki hubungan darah sangat dekat, yaitu saudara kandung. Dalam bahasa
suku Dayak Banyur ngampang mali menyadik,
menyadik artinya kaka beradik atau saudara kandung.
§ Sanksi
(dimensi sosial)
- Laki-laki
dapat dibuktikan bersalah
Ngampang dengan pasangan tumuk:
Jika
telah diketahui jenis ngampang yang
dilakukan, berarti pelaku laki-lakinya juga telah diketahui. Maka dikenakan
sanksi hukum adat. laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut wajib membayar 6
tael pun manuh.
Ngampang dengan
pasangan mali pernah ketuan atau pernah anak.
- Laki-laki
yang menghamili perempuan tersebut dikenakan hukum adat dan wajib membayar 170 tael pun manuh
Ngampang dengan
pasangan mali menyadik (saudara kandung).
Laki-laki
yang melakukan perbuatan tersebut dikenakan sanksi adat, wajib membayar 680 tael.
- Jika
pihak perempuan tidak menyebutkan nama, atau laki-laki yang disebutkan tidak
dapat dibuktikan bersalah, maka perempuan yang hamil tersebut wajib menanggung
semua sanksi dan membayar 6 tael pun manuh.
- Sanksi
hukum adat yang telah dibayar diberikan kepada orang tua atau wali (ahli waris)
dari pelaku pelanggaran
§ Dimensi
religius.
- Ngampang dengan
pasangan tumuk
Setelah
semua urusan beres secara hukum adat, maka pelaku membereskan persoalannya
secara religius.
Pelaku
laki-laki dengan kesadaran religius menyerahkan 3 renti babi, manuk sikuk mangkok singkap kepada penduduk kampung
sebagai persembahan kepada Petara
yang merupakan ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
- Ngampang dengan
pasangan mali
Pelaku
laki-laki dan perempuan dengan kesadaran religius menyerahkan babi kepada
penduduk sebagai persembahan kepada Petara.
Ada pembedaan ukuran babi yang diserahkan dari kedua belah pihak yang
bersalah. Pembedaan tersebut pertama, dari
pihak bapak atau ibu menurut garis keturunan atau pernah ketuan, mempersembahkan
babi 5 renti. Sedangkan dari pihak
anak atau pernah anak mempersembahkan
babi 7 renti. Kemudian manuk sikuk mangkok singkap.
- Ngampang dengan
pasangan mali menyadik. (saudara-saudari kandung).
Keudanya
dengan kesadaran religius, menyerahkan
masing-masing babi 7 renti, jumlahnya
14 renti
dan manuk sikuk mangkok
singkap kepada penduduk sebagai persembahan kepada Petara yang merupakan ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
§ Babi
tersebut akan disembelih dan diseret di sekitar halaman dan di tangga rumah pelaku
perbuatan ngampang, dengan maksud
agar darah babi yang telah disembelih, menyucikan rumah dan penghuninya kembali,
melalui persetujuan Petara. Kemuadian
dilakukan upacara adat sebagai bentuk permohonan maaf dan penyesalan batin yang
mendalam. Daging babi dipersembahkan kepada Petara
dan sisanya dibagikan kepada seluruh penduduk kampung.
·
Adat
Perumun.[39] Adat perumun, adalah
hukum adat yang melarang seorang pria tidur dengan seorang gadis tanpa status
pernikahan. Perumun artinya tidur
dengan anak dara atau gadis. Hukum adat perumun
dapat dikenakan kepada seorang pria yang belum atau yang sudah beristri.
Apabila diketahui seorang pria masih lajang atau sudah menikah, tidur dengan
gadis perawan maka yang dikenakan sanksi hukum adat adalah pihak laki-laki.
Orang tua si gadis menuntut laki-laki tersebut untuk diberi sanksi karena telah
membuat malu keluarga.
§ Sanksi
hukum adat (dimensi sosial)
- Laki-laki
pelaku pelanggaran perumun dikenakan
sanksi hukum adat dengan membayar 6 tael
pun manuh.
- Apabila
laki-laki tersebut belum menikah, maka ia dinikahkan dengan gadis yang ditidurinya.
- Apabila
laki-laki tersebut sudah menikah, maka ia harus kembali kepada istri yang sah.
- Denda
yang telah dibayar oleh pihak laki-laki, diberikan kepada orang tua gadis.
§ Dimensi
religius.
- Laki-laki
yang melanggar adat perumun dengan
kesadaran religius menyerahkan babi 3 renti
dan manuk sikuk magkok singkap kepada
penduduk kampung sebagai persembahan kepada Petara
dan juga merupakan ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
- Babi
dan ayam tersebut akan disembelih dan diseret di sekitar halaman dan di tangga
rumah pelaku perbuatan perumun dengan
maksud agar darah babi yang telah disembelih, menyucikan rumah dan penghuninya
kembali, melalui persetujuan Petara. Kemuadian
dilakukan upacara adat sebagai bentuk permohonan maaf dan penyesalan batin yang
mendalam. Daging babi dipersembahkan kepada Petara
dan sisanya dibagikan kepada seluruh penduduk kampung.
·
Adat
Berangkat.[40] Berangkat merupakan
bentuk pelanggaran antara laki-laki
dan perempuan yang suka sama suka baik diantara keduanya sudah atau belum
menikah. Berangkat berarti keduanya
melakukan pelanggaran karena memiliki niat yang kuat untuk menikah. Hukum adat berangkat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu berangkat dengan pasangan tumuk
dan berangkat dengan pasangan mali. (tumuk dan mali telah dijelaskan di atas).
Berangkat mali dibedakan
menjadi dua yaitu, berangkat mali
dengan pernah anak atau pernah ketuan. Berangkat mali tidak pernah terjadi diantara dua orang bersaudara.
Karena berangkat adalah tindakan
dimana kedua-duanya bersikeras untuk menikah, oleh karena itu, jika mereka
bersaudara tetap tidak diijinkan untuk hidup bersama atau melangsungkan
pernikahan. Apabila hal itu terjadi, maka di luar persetujuan hukum adat dan
tidak diberikan sanksi, namun dipercayakan semuanya kepada Petara, sebagai sanksi sosial kedua pelaku tersebut diusir dari
kampung. Berangkat juga sama dengan
adat jadi mali. Jadi: menikah, mali : tidak halal. Jadi mali artinya kedua pasangan tersebut tidak halal untuk menikah,
namun karena ketegaran hati, maka hal tersebut bisa terjadi.
§ Sanksi
hukum adat.
- Berangkat tumuk
Apabila
terjadi pelanggaran berangkat tumuk dan
keduanya belum menikah, maka keduanya dikenakan sanksi hukum adat dengan
membayar 96 tael.
Apabila
terjadi pelanggaran berangkat tumuk, namun salah satu dari keduanya sudah menikah
maka keduanya dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar masing-masing 96
tael, jumlahnya 192 tael.
- Berangkat mali pernah
ketuan dan
pernah anak.
Apabila
terjadi pelanggaran berangkat mali pernah
ketuan atau pernah anak, maka
keduanya dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 360 tael, dan apabila salah satu dari keduanya sudah menikah, maka
keduanya dikenakan sanksi masing-masing membayar 360 tael, jumlahnya 720 tael.
- Sanksi
hukum adat yang telah dibayar diberikan pada pihak yang dirugikan. Apabila
keduanya belum menikah, maka sanksi yang telah dibayar diberikan kepada orang
tua kedua pihak, dan apabila salah satu sudah menikah maka diberikan suami atau
istri yang dirugikan.
- Kedua
pelaku tersebut baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, dengan berat
hati diijinkan untuk menikah karena ketegaran hati dari kedua belah pihak.
§ Dimensi
religius
- Berangkat tumuk bujang
dara.
Setelah
membereskan perkara hukum adat, maka dengan kesadaran religius keduanya
menyerahkan babi 3 renti, manuk sikuk
mangkok singkap, kepada penduduk
kampung sebagai persembahan kepada Petara.
Kemudian diadakan ritual adat.
- Berangkat tumuk udah
belaki bebini.
Setelah
membereskan perkara hukum adat, maka dengan kesadaran religius keduanya
menyerahkan masing-masing babi 6 renti jumlahnya 12
renti, manuk sikuk mangkok singkap, kepada penduduk kampung sebagai
persembahan kepada Petara. Kemudian
diadakan ritual adat.
- Berangkat mali pernah
anak atau ketuan.
Pelaku
laki-laki dan perempuan dengan kesadaran religius menyerahkan babi kepada
penduduk sebagai persembahan kepada Petara.
Ada pembedaan ukuran babi yang diserahkan dari kedua belah pihak yang
bersalah. Permbedaan tersebut pertama, dari
pihak bapak atau ibu menurut garis keturunan atau pernah ketuan, mempersembahkan
babi 5 renti. Sedangkan dari pihak
anak atau pernah anak mempersembahkan
babi 7 renti. Kemudian manuk sikuk mangkok singkap.
- Babi
dan ayam tersebut akan disembelih dan diseret di sekitar halaman dan di tangga
rumah pelaku perbuatan berangkat dengan
maksud agar darah babi yang telah disembelih, menyucikan rumah dan penghuninya,
melalui persetujuan Petara. Kemudian
dilakukan upacara adat sebagai bentuk permohonan maaf dan penyesalan batin yang
mendalam. Daging babi dipersembahkan kepada Petara
dan sisanya dibagikan kepada seluruh penduduk kampung.
5)
Adat beramau (betaban lari laki bini urang).[41]
Adat
beramau adalah hukum adat yang melarang seorang pria maupun wanita yang sudah
menikah untuk mencuri atau melarikan istri atau suami orang lain. Betaban: saling membawa, lari:
lari, pergi, melarikan, dilarikan. Laki,
artinya suami, bini: istri. Jadi, betaban
lari laki bini urang, artinya salah
satu pihak membawa lari, mencuri pasangan suami atau istri orang lain. Suku
Dayak Banyur menyebut perbuatan ini dengan istilah beramau. Oleh hukum adat, perbuatan demikian dapat dikenakan sanksi
hukum. Sebenarnya adat beramau ini hampir
mirip dengan perbuatan zinah, namun dibedakan karena sifatnya membawa lari
istri atau suami orang. Perbuatan beramau
juga merupakan tindakan pencurian, atau dengan kata lain menculik. Suku Dayak
Banyur membedakan adat encuri dengan
beramau, karena adat encuri; mencuri
merupakan larangan mencuri benda atau binatang, bukan manusia. Secara khusus, beramau digunakan untuk tindakan
pencurian atau penculikan manusia, namun dengan maksud ingin menikahi atau menggaulinya.
Adat beramau ini tidak dibedakan
menurut jenis beramau tumuk atau beramau
mali, seperti jenis hukum adat berzinah lainnya. Tidak ada alasan yang
dapat digunakan sebagai argument mengapa tidak dibedakan demikian. Namun dapat
dipahami apabila jenis pelanggaran tersebut belum pernah terjadi pada suku
Dayak Banyur. Sama dengan tindakan
pelanggaran lainnya, selain dilarang oleh manusia karena bersifat merugikan
atau merusak ketenraman orang lain, yang dapat berakibat pada sanksi hukum
adat, juga dipandang perbuatan yang dilarang oleh Petara. Atas tindakan tersebut, menurut suku Dayak Banyur Petara tidak berkenan, dan apabila tidak
dibereskan melalui jalur hukum adat serta upacara adat, maka Petara dapat memberikan kutukan kepada
pelaku pelanggaran tersebut.
§ Sanksi
hukum adat (dimensi sosial).
- Apabila
terjadi tindakan beramau, maka
dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 6 tael pun manuh.
- Sanksi
hukum adat dikenakan pada pihak yang mebawa lari istri atau suami orang lain.
- Apabila
kedua-duanya lari atas dasar keinginan bersama, atau mempengaruhi, maka keduanya
dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar masing-masing 6 tael, jumlahnya 12 tael.
- Sanksi
hukum adat yang telah dibayar diberikan kepada pihak yang dirugikan.
- Keduanya
diminta untuk kembali kepada istri atau suami masing-masing.
§ Dimensi
religius.
- Kedua
pelaku yang melanggar adat beramau dengan
kesadaran religius menyerahkan babi 3 renti
dan manuk sikuk magkok singkap, kepada penduduk kampung sebagai persembahan
kepada Petara dan juga merupakan
ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
- Babi
dan ayam tersebut akan disembelih dan diseret di sekitar halaman dan di tangga
rumah pelaku perbuatan beramau dengan
maksud agar darah babi yang telah disembelih, menyucikan rumah dan penghuninya
kembali, melalui persetujuan Petara. Kemudian
dilakukan upacara adat sebagai bentuk permohonan maaf dan penyesalan batin yang
mendalam. Daging babi dipersembahkan kepada Petara
dan sisanya dibagikan kepada seluruh penduduk kampung.
6)
Adat nipu ngakal.[42]
Adat nipu ngakal, artinya
hukum adat yang melarang untuk melakuan perbuatan penipuan. Nipu dalam bahasa suku Dayak Banyur sama
dengan arti nipu dalam bahasa
Indonesia. Sedangkan ngakal adalah
penegasan dari kata nipu. Ngakal lebih khusus lagi berarti
membohongi; berkata bohong. Istilah nipu
ngakal ini dipahami sebagai perbuatan yang
melawan kebenaran. Perbuatan nipu
ngakal merupakan perbuatan seorang yang memberikan kesaksian palsu kepada
orang lain, baik dengan maksud tertentu maupun tidak. Atau dengan kata
lain, nipu ngakal berarti bersaksi
dusta; berbicara tidak sesuai dengan kebenaran yang ada. Seorang yang melakukan
perbuatan nipu ngakal betarti seorang
pembohong, ia telah memberikan kesaksian yang tidak benar. Misalnya, seorang
yang dimintai keterangan karena dianggap mengetahui suatu perkara, tetapi dalam
keterangannya, dia tidak berbicara sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi,
maka ia melakukan perbuatan nipu ngakal.
Nipu ngakal juga dimaksudkan pada
perbuatan-perbuatan yang membuat orang lain kecewa, artinya bahwa seseorang
yang telah mengucapkan sebuah janji dan ia sendiri tidak menepati janjinya
tersebut. Selain itu, nipu ngakal
juga dimaksudkan pada seseorang yang menuduh orang lain tanpa bukti yang benar.
Karena perbuatannya tersebut orang lain menjadi korban. Contoh lain adalah
tindakan mengadu domba, atau meyebabkan rusaknya hubungan orang lain,
pengertian ini juga termasuk tindakan nipu
ngakal. Adat nipu ngakal ini
dibedakan menjadi dua jenis yaitu, nipu
ngakal yang bersifat ringan, dan nipu
ngakal bersifat berat. Nipu ngakal
bersifat ringan adalah tindakan penipuan atau berbohong kepada orang lain yang
derajatnya sama. Derajat sama yang
dimaksudkan adalah sama atau setingkat baik umur, posisi (kedudukan) maupun
derajat sama dilihat dari garis keturunan. Sedangkan nipu ngakal yang bersifat berat adalah tindakan penipuan atau
berbohong kepada orang lain yang posisi (kedudukannya) lebih tinggi, atau lebih
tinggi dilihat dari garis keturunan. Misalnya berbohong kepada orang yang
mempunyai posisi tertentu dalam struktur masyarakat mereka (pengurus adat),
atau orang yang usianya lebih tua, serta dianggap tua karena garis keturunan. Suku
Dayak Banyur sangat menghormati orang yang lebih tua atau yang dituakan dan
diberi posisi tertentu dalam struktur masyarakat mereka. Oleh karena itu
tindakan nipu ngakal terhadap orang yang lebih tua, mempunyai kedudukan
tertentu, dan orang tua karena garis keturunan diklasifikasikan adat nipu ngakal bersifat berat. Menurut suku
Dayak Banyur tindakan berbohong adalah tindakan yang tidak terpuji. Seseorang
yang melakukan kebohongan, maka ia sendiri menjatuhkan wibawa dan martabatnya
sebagai manusia yang berbudi luhur. Suku Dyak Banyur memandang kebenaran
merupakan nilai yang sangat penting, bukan sekedar benar karena tidak
berbohong, melaikan lebih dari pada itu, yaitu kejujuran. Jujur memiliki arti
yang lebih dalam dari pada sekedar tidak berbohong. Jujur berarti dengan
kesadaran hati nurani tanpa ada unsur atau sebab lain yang memicu. Jujur berarti
sikap yang lahir tanpa ada paksaan dan motivasi yang berkaitan dengan suatu
kepentingan. Oleh sebab itu sikap jujur selalu ditanamkan oleh orang tua kepada
anak-anak mereka sejak dini. Jujur juga merupakan salah satu pemenuhan nilai
hidup mereka. Seorang yang jujur adalah seorang yang tahu dan menlaksanakan
kearifan-kearifan hidup yang ditanamkan sejak nenek moyang mereka. Itu artinya
kejujuran adalah manifestasi dari seluruh dimensi hidup, baik religius maupun
sosial. Seorang yang bersifat tidak jujur (nipu
ngakal) dipandang sebagai cerminan dari ketidakutuhan atau sikap melawan
terhadap nilai-nilai hidup yang ada. Dari kenyataan tersebut di atas, maka
dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sikap jujur atau tidak berbuat nipu ngakal, adalah produk dari
kesempurnaan dalam memandang nilai hidup yang diwariskan nenek moyang mereka,
kemudian dapat juga dimengerti bahwa apa yang dianggap tertinggi, yaitu Petara, juga melarang mereka untuk
melakukan perbuatan nipu ngakal.
Mereka memandang bahwa Petara sendiri
mengajarkan agar selalu berkepribadian jujur terhadap diri sendiri dan orang
lain. Secara jelas adat nipu ngakal
ini, menurut suku Dayak Banyur dapat diklasifikasikan atara perbuatan-perbuatan
berikut ini:
·
Adat
nyabung belayak.[43]
Seperti
yang telah diuraikan di atas, bahwa nipu
ngakal juga dimaksudkan pada perbuatan yang mengakibatkan rusaknya hubungan
orang lain. Adat nyabung belayak adalah
jenis adat yang melarang seorang untuk mengadu domba orang lain atau sesamanya.
Nyabung artinya menyebabkan sesuatu
hal terjadi (berkonotasi negatif); mengadu domba, sedangkan belayak artinya berkelahi. Jadi nyabung belayak berarti menyebabkan perkelahian.
Misalnya, seorang menyampaikan berita (cerita, pesan, pernyataan) dari dan
untuk seseorang mengenai diri orang tersebut atau orang lain yang dapat memicu
perkelahian karena ketidakbenaran pernyataan yang disampaikan, hal tersebutlah
yang dimaksudkan tindakan nyabung
belayak. Apabila terjadi peristiwa yang serupa seperti contoh di atas, maka
orang tersebut dapat dikenakan sanksi hukum adat.
·
Adat
ngamak.[44]
Adat ngamak, artinya
hukum adat yang melarang seseorang mengganggu ketenangan orang lain karena
tindakan berbohong. Ngamak artinya
menggangu, menggangu dalam pengertian bahwa dikarenakan kebohongan atau
kesaksian palsu. Mengganggu ketenangan orang lain mencakup berbagai hal yang
berkaitan dengan hidup orang tersebut. Mengganggu berarti tidak sampai
mengakibatkan adanya perkelahian atau peristiwa-peristiwa yang lebih besar.
Seseorang yang merasa terganggu karena kebohongan dan didukung dengan
bukti-bukti yang ada, maka ia dapat menuntut agar orang tersebut dikenakan
hukum adat.
·
Adat
penyangkak.[45]
Adat penyangkak adalah
hukum adat yang melarang seorang memberikan kesaksian palsu dalam bentuk
fitnah. Penyangkak artinya menyangka
orang lain atau mengatakan sesuatu yang kebenarannya belum dapat dibuktikan. Penyangkak ini dapat juga dimengerti
sebagai tindakan tuduhan terhadap orang lain. Apabila seseorang melakukan
perbuatan penyangkak, maka ia dapat
dikenakan sanksi hukum adat.
§ Saksi
hukum adat (dimensi sosial)
Hukum adat nipu ngakal
(nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang
sifatnya ringan.
- Apabila
terjadi perbuatan nipu ngakal (nyabung belayak, ngamak, penyangkak)
yang sifatnya ringan, maka pelaku pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukum adat
dengan membayar 3 tael pun tepayan.
- Sanksi
hukum adat yang telah dibayar, diberikan pada pihak yang dirugikan.
Hukum adat nipu ngakal
(nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang
sifatnya berat.
- Apabila
terjadi perbuatan nipu ngakal (nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang
sifatnya berat, maka pelaku pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukum adat
dengan membayar 6 tael pun manuh.
- Sanksi
hukum adat yang telah dibayar, diberikan pada pihak yang dirugikan.
§ Dimensi
religius.
Hukum adat nipu ngakal
(nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang
sifatnya ringan maupun berat.
Apabila
terjadi perbuatan nipu ngakal (nyabung
belayak, ngamak, penyangkak) yang sifatnya ringan, maka dengan kesadaran
religius pelaku pelanggaran tersebut menyerahkan manuk
sikuk mangkok singkap kepada pengurus adat sebagai persembahan kepada Petara, dan sebagai ungkapan penyesalan
batin.
·
Adat
peramang tunang.[46]
Adat peramang tunang
adalah jenis hukum adat nipu ngakal khusus
pada tindakan penipuan yang dilakukan oleh
kedua pasang pria dan wanita (salah-satu pihak) yang merencanakan
pernikahan. Misalnya, kedua pasang pria dan wanita telah bersepakat untuk
menikah dan telah dilangsungkan pertunangan di depan umum, namun kemudian di antara
keduanya membatalkan pertunangan tersebut dengan alasan atau tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan. Peramang
artinya batal, tidak jadi, sedangkan tunang
adalah pertunangan, tunang. Tindakan tersebut termasuk tindakan penipuan, atau
berbohong. Oleh hukum adat, tindakan ini dapat dikenakan sanksi. Peramang tunang dibedakan menjadi dua
jenis yaitu, apabila salah satu pihak yang membatalkan pertunangan disertai
dengan melontarkan bahasa-bahasa yang kurang sopan kepada, menyangkut pihak
yang dibatalkan maka perbuatan tersebut termasuk peramang tunang caci maki. Sedangkan apabila salah satu pihak yang
membatalkan pertunangan dengan sopan (tanpa melontarkan bahasa-bahasa yang
kurang sopan kepada, menyangkut pihak yang dibatalkan), maka termasuk peramang tunang biasa. Dari segi sanksi,
peramang tunang caci maki lebih berat
dari pada peramang tunang biasa.
§ Sanksi
hukum adat (dimensi sosial)
Peramang tunang caci
maki.
Apabila
terjadi peramang tunang caci maki
dilakukan oleh pihak laki-laki maka dikenakan sanksi hukum adat sebagai
berikut:
- Benda-benda
yang digunakan sebagai syarat pertunagan, dalam bahasa Dayak Banyur: pelapak, yang artinya syarat pertunangan
berupa benda. Benda-benda tersebut antara lain, kain, (baju, sarung,
selendang), perlengkapan rias (bedak, lipstik atau gincu, parfum, cermin,
sisir, dan alat rias perempuan lainnya), benda perhiasan (cincin, gelang,
kalung), yang telah diberikan oleh pihak laki-laki. Benda-benda tersebut tidak
dapat diambil kembali. Dengan kata lain benda-benda tersebut sah menjadi milik
pihak perempuan.
- Laki-laki
tersebut juga dikenakan saksi hukum adat dengan membayar 3 tael pun tepayan.
- Apabila
pembatalan pertunangan dari pihak perempuan. maka pelepak yang diberikan pihak laki-laki sebagai syarat pertunangan
diambil kembali.
- Pihak
perempuan juga dikenakan hukum adat 3
tael pun tepayan.
Peramang tunang biasa.
- Apabila
terjadi peramang tunang biasa, dilakukan
oleh pihak laki-laki maka, pelepak yang
telah diberikan sebagai syarat pertunangan tidak dapat diambil kembali, atau
sah menjadi milik perempuan.
- Laki-laki
tersebut dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 3 tael mangkal.
- Apabila
dilakukan oleh pihak perempuan maka, pelepak,
yang diberikan pihak laki-laki sebagai syarat pertunangan, diambil kembali
oleh laki-laki.
- Pihak
perempuan dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 3 tael mangkal.
§ Dimensi
religius.
Baik
peramang tunang caci maki maupun perampang tunang biasa dilakukan pihak
laki-laki ataupun perempuan, maka salah satu yang melakukan perbuatan tersebut
dengan kesadaran religius menyerahkan manuk
sikuk mangkok singkap kepada pengurus adat dan sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan
batin.
7)
Adat
munuh.[47]
Adat munuh adalah
hukum adat yang melarang seorang menghilangkan nyawa orang lain baik dengan
alasan maupun tidak. Munuh artinya
membunuh, meyebabkan nyawa orang lain hilang. Menurut suku Dayak Banyur,
membunuh adalah perbuatan tidak terpuji yang melawan nilai-nilai hidup. Orang
yang menghilangkan nyawa orang lain, baik dengan alasan atau tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan tetap dianggap sebagai seorang pembunuh dan oleh
karena itu orang tersebut pantas mendapatkan balasan yang setimpal. Tindakan
menghilangkan nyawa orang lain adalah tindakan seorang yang tidak beradab,
karena hidup merupakan nilai yang sangat berharga. Menurut suku Dayak Banyur
sebenarnya tidak ada balasan yang setimpal terhadap pelaku pembunuhan, karena
walaupun pelaku diberi sanksi seberat-beratnya tetap tidak akan dapat menghapus
atau menghilangkan kesalahannya. Mesikipun demikian hukum adat tetap berlaku
guna memberi efek jera terhadap pelaku. Larangan untuk tidak membunuh mempunyai makna yang mendalam, bukan
sekedar larangan menghilangkan nyawa orang lain. Adat munuh menurut suku Dayak Banyur mencakup juga perbuatan
berbicara yang menghendaki orang lain mati. Hal ini terwujud dalam sikap atau
lontaran kata-kata ancamam. Seorang yang telah mengancam membunuh orang lain
berarti ia telah memimiliki kehendak membunuh. Membunuh diklasifikasan mulai
dari keinginan (niat), ancaman, sampai pada tindakan nyata. Oleh karena itu
seorang yang telah melontarkan ancaman membunuh, termasuk juga bagian dari tindakan
membunuh. Tindakan membunuh sendiri juga dibedakan antara membunuh sampai
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dan membunuh hanya menyebabkan orang
tersebut cacat secara fisik. Membunuh menyebabkan orang cacat fisik, diklasifikasikan
tindakan membunuh karena dilihat berdasarkan niat orang yang melakukan tindakan
tersebut. Niat awal pelaku-lah yang dianggap membunuh, meskipun pada akhirnya
tidak sampai memyebabkan kematian. Selain dari pada itu, suku Dayak Banyur juga
percaya bahwa hidup adalah anugerah dari
Petara, Petara-lah yang
menyebabkan manusia dapat hadir dan berada di dunia ini. Oleh karena itu,
manusia tidak mempunyai hak sedikit pun untuk membatasi atau mengakhiri hidup
dirinya dan orang lain. Orang yang menghilangkan nyawa orang lain berarti orang
yang melawan kehendak dan tidak menghormati Petara
sebagai satu-satunya pemberi hidup. Dengan demikian, maka pelaku pembunuhan
atau penyebab hilangnya nyawa orang lain akan medapat sanksi berupa kutukan
dari Petara. Hukum adat hanya
menyelesaikan urusannya di dunia dalam hubungannya dengan sesama, namun
kesalahannya akan diperhitungkan oleh Petara.
Orang tersebut sungguh-sungguh akan mengalami nasib buruk, hidupnya jauh
dari keselamatan, malapetaka akan datang menimpanya. Memang sanksi dari Petara tidak dapat disaksikan secara
langsung, namun bukan berarti perbuatan tersebut hanya didiamkan saja.
Sepanjang hidupnya akan diliputi kegegelapan dan kegundahan serta kekacauan
yang tidak teratasi, ia menjadi buruk di depan sesamanya dan di hadapan Petara. Selain dari pada itu seluruh isi
alam semesta pun dianggap tidak berkenan lagi padanya. Usaha dan pekerjaannya
tidak lagi mendapat berkat. Apa yang ia buat dengan mengharapkan kerjasama yang
baik dari alam, tidak akan terjadi lagi. Lewat cara demikianlah hukuman dari Petara diberikan. Berdasarkan uraian di
atas, maka adat munuh dapat dibedakan
sebagai berikut:
Adat ngancam adalah
hukum adat yang melarang seorang melakukan tindakan ancaman. Ancaman tersebut
berisi niat untuk melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Ngacam artinya mengacam, memberikan
ancaman kepada orang lain. Tindakan ngancam
juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu ngacam
dengan mengunakan benda tajam, sekaligus merusak benda atau barang milik orang
yang diancam. Kedua, ngancam hanya
dengan kata-kata atau tanpa menggunakan benda tajam ataupun merusak barang
orang yang diancam. Kedua tindakan tersebut secara hukum adat mendapat sanksi
yang berbeda karena dilihat dari sifatnya.
§ Sanksi
hukum adat (dimensi sosial).
Ngancam dengan
menggunakan benda tanjam dan merusak benda atau barang hak milik orang yang
diancam.
- Apabila
terjadi tindakan pelanggaran di atas, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat
dengan membayar 6 tael pun manuh.
Ngacam
hanya dengan mulut (tanpa menggunakan benda
tajam dan tidak merusak barang yang menjadi hak miliki pihak yang terancam).
- Apabila
terjadi tindakan pelanggaran di atas, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat
dengan membayar 3 tael pun tepayan.
- Sanksi
hukum yang telah dibayar diberikan kepada pihak yang dirugikan.
§ Dimensi religius.
Baik tindakan ngancam dengan menggunakan benda tajam
dan merusak barang hak milik yang terancam maupun ngancam hanya dengan mulut, maka dengan kesadaran religius pelaku
meyerahkan manuk sikuk mangkok singkap
kepada pengurus adat sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
Adat pati mati adalah
hukum adat yang melarang seorang melakukan tindakan pembunuhan sampai
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Pati
adalah
berupa benda keramik. Pati digunakan
untuk mengganti rugi atas kematian orang lain,
sedangkan mati berarti mati,
meninggal dunia, hilangnya nyawa. Adat pati
mati dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adat pati mati tidak sengaja tetapi menyebabkan kematian dan adat pati mati sengaja yang menyebabkan
kematian. Apabila tindakan tersebut terjadi maka pelaku dikenakan sanksi hukum
adat.
§ Sanksi
hukum adat (dimensi sosial).
Pati mati tidak sengaja.
- Apabila
terjadi pelanggaran pati mati tidak
sengaja, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 170 real.
Pati mati sengaja.
- Apabila
terjadi pelanggaran pati mati sengaja, maka
pelaku dikenakan sanksi dengan membayar 250 real.
- Sanski
hukum adat yang telah dibayar diberikan pada pihak yang dirugikan (orang tua,
wali, ahli waris).
- Biaya
penguburan korban yang meninggal ditanggungkan oleh pelaku.
§ Pati
Benda-benda yang
digunakan sebagai ganti nyawa:
Selain membayar
sanksi hukum adat di atas, pelaku pelanggaran juga diwajibkan meyerahkan pati, benda-benda pati adalah sebagai berikut:
Table 1: Nama-nama benda (pati) sanksi hukum adat pati mati
sengaja maupun tidak sengaja.
No
|
Nama
Benda
|
Pengganti
Organ Tubuh
|
1
|
1
Buah Tawak
|
Suara
|
2
|
1
Buah Tajau
|
Kepala
|
3
|
1
Buah Par
|
Telinga
|
4
|
1
Buah Tepayan
|
Perut
|
5
|
1
Buah Manuh
|
Badan
|
6
|
1
Buah Lajur
|
Kaki-Tangan
|
7
|
1
Buah Bantas
|
Mata
|
8
|
1
Buah Tepayan Kuning
|
Kelamin
|
9
|
1
Buah Pinggan patah enam
|
Mulut
|
10
|
5
Buah Pinggan patah empat
|
Lidah
|
11
|
1
Buah Bedil
|
Paha
|
·
Adat
pati idup.[50]
Adat pati idup adalah
hukum adat yang melarang seorang melakukan tindak pembunuhan, meskipun hanya
menyebabkan orang tersebut cacat (masih hidup). Idup artinya hidup. Orang yang hendak dibunuh tidak sampai
kehilangan nyawanya. Adat pati idup juga
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adat
pati idup sengaja dan adat pati idup
tidak sengaja. Apabila terjadi tindakan tersebut di atas, maka pelaku
dikenakan sanksi hukum adat.
§ Sanksi
hukum adat (dimensi sosial).
Adat pati idup sengaja.
- Apabila
seseorang melakukan pelanggaran adat pati
idup sengaja maka dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 125 real.
Adat
pati idup tidak sengaja.
- Apabila
seseorang melakukan pelanggaran adat pati
idup tidak sengaja, maka dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 70 real.
§ Dimensi
religius.
Baik adat pati mati sengaja dan tidak sengaja maupun pati idup sengaja dan tidak segaja, pelaku pelanggaran
tersebut di atas dengan kesadaran religius meyerahkan babi 3 renti, manuk sikuk mangkok singkap
kepada pengurus adat sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan
penyesalan batin yang mendalam.
Keterangan I : satuan sanksi hukum adat.
1)
Tael
adalah istilah yang digunakan untuk memberi denda kepada suatu pelanggaran yang
sifatnya ringan. Tael adalah satuan
denda yang paling kecil.
2)
Pun
tepayan adalah istilah untuk menyebut jumlah. Sedangkan tepayan berarti tempayan. Pun tepayan berarti satu
tempayan.
3)
Tael
mangkal berarti hanya tael tanpa ditambah tempayan. Mangkal berarti hanya atau cuma.
4)
Pun
manuh adalah kelipatan dari pun tepayan. Manuh benda keramik yang mirip
tempayan, namun berukuran lebih besar. Pun manuh dapat diganti dengan dua buah
tempayan.
5)
Manuk
sikuk mangkok singkap artinya satu ekor ayam dan sutu buah mangkok. Sikuk
artinya satu untuk binatang, sedangkan singkap artinya satu untuk benda seperi
mangkok dan piring.
6)
Real
adalah istilah yang digunakan untuk memberi denda kepada suatu pelanggaran yang
sifatnya berat. Real adalah satuan denda
yang paling besar. Real merupakan kelipatan dari tael. 1 real = 10 tael.
7)
Renti
adalah istilah yang digunakan untuk menyebut satuan/ukuran/jumlah banyak/jumlah
berat seekor babi. 1 renti = ± 15 kg.
8)
Pati
adalah benda keramik berupa tempayan, mangkok, piring dll, binatang, seperti
ayam dan babi.
Keterangan II : tabel 1
1)
Tawak:
gong
2)
Tajau:
tempat yang terbuat dari kulit kayu, berdiameter ± 2-3 meter, biasanya
digunakan untuk menyimpan beras.
3)
Par:
tampah yang terbuat dari tembaga.
4)
Tepayan:
tempayan, terbuat dari keramik.
5)
Manuh:
mirip tempayan namun ukurannya dua kali lebih besar.
6)
Lajur:
kujur, berujung lancip, terbuat dari
besi, merupakan benda antik yang digunakan oleh nenek moyang untuk berperang
dan berburu.
7)
Bantas:
sejenis tajau terbuat dari keramik, dua kali lebih besar dari tajau dan
mempunyai tutup.
8)
Tepayan
kuning: tempayan terbuat dari kuningan.
9)
Pinggan
patah enam: piring batu yang berdiameter
± ½. Pada bagian samping berbentuk gelombang atau setengah lipatan yang
berjumlah enam.
10)
Pinggan
patah empat: piring batu yang
berdiameter ±½. Pada bagian samping berbentuk gelombang atau setengah lipatan
yang berjumlah empat.
11)
Bedil:
meriam kuno, yang digunakan untuk berperang jaman kerajaan, terbuat dari besi.
Keterangan III: sanksi religius (ritual adat dan
penggunaan hewan kurban).
1)
Setiap
pelanggaran yang dilakukan, (kecuali bediau keranang), dengan kesadaran relirius
pelaku menyerahkan babi, ayam, mangkok kepada pengurus adat sebagai persembahan
kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan batin yang mendalam. Babi dan
ayam tersebut akan dukurbankan kepada Petara melalui ritual adat yang dipimpin
oleh sesepuh adat setempat.
2)
Mangkok
dimaksudkan sebagai tempat untuk menyimpan darah kurban (ayam) yang telah
disembelih.
3)
Pada
pelanggaran yang hanya menggunakan ayam dan mangkok ritual adat berbeda dengan
pelanggaran yang menggunakan babi.
4)
Ritual
adat dilakukan di tempat dimana terjadi suatu pelanggaran. Pada umumnya di
rumah pelaku.
5)
Khusus
untuk pelanggaran zinah dan jenisnya, babi yang disembelih diseret di sekitar
halaman serta tangga rumah pelaku
perzinahan dengan maksud darah kurban tersebut menyucikan rumah dan seluruh isi
rumahnya. Ritual adat dilakuakan di tepian sungai atau di alam terbuka sebagai
simbol penyatuan kembali dengan alam.
6)
Pokok-pokok
doa/ritual dengan menggunakan ayam atau disebut dengan buah sampi. Buah sampi
artinya pokok-pokok doa. Dalam ritual ini seluruh penduduk kampung duduk
bersama dan pemimpin upacara mengucapkan doa-doa berikut ini:
(Ritual 1)
Satu,
dua, tiga, empat, lima, enam. Enam kematari padam, matari tengelam, matari
mati, matari lesi, mulai keadai, te sial, te gatal, te mali, te badi, nyuruh
menawak, nyuruh ikak, nyuruh tulah, nyuruh rangkah. Nya am dunan mata ari
padam, mata ari tengelam, mata ari matai, mata ari lesi. Anyut ke buntut laut
ke pauh jengi, hemaduk ensiring bunyi. Isak kami nisik apa, nisi nema, nisik
leman, nisik dayan, kami idup biasa, idup semula. Tuba kayu tuba, ngamak kayu
biyu. Udah aku nipah, aku miyah temali tebadie, jalai ku ngumai Petara nyuruh
ayu ngintu ngingu. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Tujuh kematari
tumuh, isak tumuh ayu, tumuh buru, tumuh semengat, tumuh berkat, tumuh tuah,
tumuh limpah, tumuh mudal, tumua real. Klamik kami bisik cinta kami ada, isak
kami nyamai idup gerai, nyawa kak makai, umur panyai. Kur semengat, kur
semegat, kursemengat.[51]
7)
Arti
doa-doa ritual: 1
Satu, dua, tiga, empat,
lima, enam.
(Satu, dua, tiga,
empat, lima, enam).
Enam kemata ari padam,
matari tengelam, matari mati, matari lesi.
(Enam bersama matahari
padam, matahari tenggelam, matahari mati, matahari hilang).
Mulai keadai, te
sial,te gatal, te mali, te badi, nyuruh menawak, nyuruh ikak, nyuruh tulah,
nyuruh rangkah.
(Apabila ada yang sial,
yang gatal, yang tidak halal, yang membuuat celaka, membuat tulah, membuat
serakah).
Nya am dunan matari padam, matari tengelam,
matari mati, mata ari lesi.
(Dibawa serta matahari
padam, matahari tenggelam, matahari mati, matahari hilang).
Anyut ke buntut laut ke pauh jengi, hemaduk
ensiring bunyi.
(Hanyut ke buntut laut,
ke tempat yang jauh, tempat yang tidak mampu didengar lagi).
Isak kami nisik apa, nisi nema, nisik leman,
nisik dayan, kami idup biasa, idup semula.
(Biar kami tidak
celaka, tidak binasa, kami hidup biasa seperti semula).
Tuba kayu tuba, ngamak
kayu biyu.
(Kayu-kayu menghalang,
sial).
Udah aku nipah, aku miyah temali tebadie,
jalai ku ngumai Petara nyuruh ayu ngintu ngingu.
(Sudah dibuang, sudah
disingkirkan, yang tidak halal, supaya aku panggil Petara minta pelihara, minta
dijaga).
Satu, dua, tiga, empat,
lima, enam, tujuh.
(Satu, dua, tiga,
empat, lima, enam, tujuh).
Tujuh kematari tumuh,
isak tumuh ayu, tumuh buru, tumuh semengat, tumuh berkat, tumuh tuah, tumuh
limpah, tumuh mudal, tumuh real.
(Tujuh bersma matahari
terbit, supaya terbit roh, terbit berkat, terbit tuah yang melimpah, terbit
harta kaya raya).
Klamik kami bisik cinta
kami ada, isak kami nyamai idup gerai, nyawa kak makai, umur panyai.
(Sandang pangan dan cinta kami ada, agar kami hidup senang,
hidup segar, umur kami panjang).
Kur…. semengat, kur
semegat, kursemengat
(O… roh. … O… roh. … O
…. Roh ).
Makna doa ritual:
Pokok-pokok doa ritual
diatas mengandung makna sebagai berikut[52]:
·
Permohonan
kepada Petara agar mengampuni segala kesalahan dan dosa, yang diakibatkan oleh
prilaku manusia.
·
Memohon
kepada Petara agar memberikan berkat yang melimpah atas hidup mereka dan roh
yang bijak sana.
·
Permohonan
bagian pertama ditandai dengan menghitung dari satu sampai enam. Angka enam
adalah angka yang dianggap membawa kesialan dan mala petaka, maka dengan
hitungan angka keenam semua jenis sial dan mala petaka disebutkan. Selanjutnya
diteruskan dengan menyebut matahari. Matahari adalah simbol dua unsur kehidupan
manusia. Unsur pertama unsur keburukan yang disimbolkan dengan matahari
terbenam dan yang kedua unsur kebaikan
yang disimbolkan dengan matahari terbit. Oleh karena itu pada hitungan keenan pemimpin
upacara sekaligius menyebutkan kata-kata matahari padam, matahari, tenggelam,
matahari mati, matahari hilang. Padam, tenggelam, mati hilang, sebenarnya
mempunyai maksud yang sama dan satu, yaitu matahari terbenam. Dengan
terbenamnya matahari, maka terbenam pula segala kesialan, dosa, kesalahan yang
telah dilakuakan manusia.
·
Di
tengah-tengah doa ada kata-kata “ku panggil Petara”. “Aku” bermakna jamak atau bermakna “kami”.
Karena seluruh doa-doa dari penduduk yang berkumpul, telah diwakilkan kepada
tetua adat yang memimpin upacara. Pada bagian ini, diucapkan setelah semua
bentuk kesialan yang dibuat oleh manusia diandaikan sudah terhapuskan yang
disimbolkan dengan sifat-sifat alam tersebut di atas. Kemudian dengan kesucian
dan kemurnian hati dan pikiran, menyapa Petara dan mengucapkan
permohonan-permohonan berikutnya.
·
Permohonan
bagian kedua dengan menghitung dari satu sampai tujuh. Angka tujuh menyimbolkan
kesempurnaan. Maka pada hitungan ketujuh disertai dengan menyebut matahari
terbit. Kedua-duanya memiliki makna kebaikan. Dengan terbitnya matahari maka
terbit pulalah segala berkat dan rahmat dari Petara. Matahari terbit adalah
lambang hidup baru, hidup dalam kelimpahan berkat dan rahmat. Matahari terbit
adalah tanda cinta dan kesetiaan Petara kepada manusia yang senantiasa
memberikan cahaya. Cahaya matahari adalah cahaya dari Petara sendiri yang mampu
membuat manusia melihat kebesaran dan kemurahannya.
·
Doa
diakhiri dengan menyerukan semengat. Semengat artinya roh. Kata-kata ini
diserukan sebanyak tiga kali. Angka tiga juga menyimbolkan kegenapan dan kesempurnaan.
Rumusan terakhir ini menutup seluruh isi doa.
·
Setelah
pemimpin upacara mengucapkan doa-doa, kemudian pemimpin upacara mengambil
parang yang terbuat dari besi dan menggigitnya sambil mengucapkan “kering besi
kering semengat”. Kemudian diberikan kepada semua orang yang berkumpul dalam
upacara ada tersebut, serta dilakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh
pemimpin upacara. Besi menyimbolkan kekuatan dan keperkasaan. Pada saat menggigit
besi disimbolkan memasukkan kekuatan dan keperkasan dalam diri seseorang.
Kekuatan yang dimaksudkan adalah kekuatan roh, maka disebut “kering besi kering
semengat” artinya, kuat besi kuat pula roh. Kekuatan roh dimohonkan agar roh
manusia mampu melawan kekuatan hawa nafsu yang dapat menjerumuskan manusia
pada tindakan-tindakan jahat. Sikap dan
keberanian manusia untuk menolak tawaran-tawaran kejahatan disimbolkan dengan
sebilah parang yang tajam.
8)
Alasan
penggunaan ayam sebagai kurban persembahan kepada Petara. Menurut filosofi suku
Dayak Banyur, ayam merupakan hewan yang dekat dengan manusia. Ayam dipelihara
hampir oleh semua penduduk suku Dayak Banyur. Bahkan ada ayam yang dipelihara
dan dijaga sedemikian rupa seperti memperlakukan manusia. Dengan kata lain,
ayam mempunyai keistimewaan khusus bagi mereka. Oleh karena itu apa yang
diberikan kepada Petara adalah yang terbaik dari manusia.
9)
Pokok-pokok
doa/ritual/buah sampi dengan menggunakan hewan kurban babi.
(Ritual 2)
Satu,
dua, tiga, empat, lima, enam. Enam kematari padam, matari lesi, matari mati. O
Petara, kami munuh babi besai, manuk belangai, ngau kami bekebau, ngau kami
betiau, ngau kami betipah, ngau kami biah, ngau kami betepas, ngau kami
bekuras, antu te mali, antu te badi. Kami tulak, kami kebau, kami tipah, kami
biah. Antu te budu, antu te mawa, antu te tulah, antu te nyuruh takah. Antu te
jai nyawa mulut, te jai ati perut, empuang empesut, te nyakit ngibut, te ngetil
ngetup. Nyak te kami tungkah, te kami tipah, te kami biah. Kami anyut ke laut,
ke pun pauh jengi, sisi langit laki, pemadam matari, penyangkak jarang jari,
pemaduk ensiring bunyi. Suruh ancur suruh lebur uleh Nuan Petara. suruh dalam
tujuh ke baruh bumi. Isak nadai ngaru kami, nadai ngerintang, nadai ngelalang
pemasang pengidup kami. Nyak te kami pinta ngau Nuan Petara.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam,
tujuh. Tujuh kematari tumuh. O Petara, tuk kami ngangau, kami ningkau, kami
ngumai kami nimpai. Nyuruh mening, nyuruh ningai, nyuruh medak, nyuruh Nuan
Datai. Kami munuh babi besai, manuk belangai. Minta intu, minta kingu. Ayu umur
kami suruh panyai. Tubuh suruh gerai, peniau suruh nyamai, nyawa kak makai.
Duduk ari biak sampai ketuai, beanak, beapai. Ayu guru, gerai nyamai. Kering
semengat, kering ari besi, kering ari baja. Ayu tingik ari bukit, tingik ari
langit. Kur. Semengat berkat selamat. Nadai sik apa nama, nadai sik leman
dayan. Tuk tekami pintak ari Nuan Petara. Kur semengat kami semua anak mensia.
Kur semengat.[53]
10) Arti doa-doa ritual: 2
Satu, dua, tiga, empat,
lima, enam.
(Satu, dua, tiga,
empat, lima, enam).
Enam kematari padam,
matari lesi, matari mati.
(Enam bersama matahari
padam, matahari tenggelam, matahari, hilang, matahari mati )
O Petara, kami munuh
babi besai, manuk belangai, ngau kami bekebau, ngau kami betiau, ngau kami
betipah, ngau kami biah, ngau kami betepas, ngau kami bekuras, antu te mali,
antu te badi.
(O Petara, kami
mempersembahkan babi besar, ayam besar, untuk menolak bala)
Kami tulak, kami kebau,
kami tipah, kami biah
(Kami tolak, kami,
halau, kami tepis, kami tangkis).
Antu te budu, antu te
mawa, antu te tulah, antu te nyuruh takah.
(Setan tulah, yang
membuat serakah)
Antu te jai nyawa mulut, te jai ati perut,
empuang empesut,te nyakit ngibut, te ngetil ngetup.
(Setan yang buruk
lidah, jahat hati dan maksud, yang bisa mendatangkan penyakit, dan celaka).
Nyak te kami tungkah,
te kami tipah, te kami biah.
(Setan itu yang kami,
tolak, yang kami halau, yang kami tepis, yang kami tangkis).
Kami anyut ke laut, ke
pun pauh jengi, sisi langit laki, pemadam matari, penyangkak jarang jari,
pemaduk ensiring bunyi.
(Kami hanyutkan ke
laut, ke ujung langit laki, tempat terakhir matahari tenggelam, sejauh suara
tak terdengar).
Suruh ancur suruh lebur
uleh Nuan Petara.
(Kami mohon kepada
Petara supaya dihancur dan dileburkan)
Suruh dalam tujuh ke
baruh bumi.
(sedalam tujuh kali di
bawah bumi). Isak nadai ngaru kami, nadai ngerintang, nadai ngelalang pemasang
pengidup kami.
(Biar tidak mengganggu,
merintangi dan menghalangi masa depan hidup kami).
Nyak te kami pinta ngau
Nuan Petara.
(Itu semua yang kami
minta dari Petara).
Satu, dua, tiga, empat,
lima, enam, tujuh. Tujuh kematari tumuh.
(Satu, dua, tiga,
empat, lima, enam, tujuh. Tujuh bersama mataharai terbit).
O Petara, tuk kami
ngangau, kami ningkau, kami ngumai kami nimpai.
(O Petara, sekarang ini
kami undang untuk datang).
Nyuruh mening, nyuruh
ningai, nyuruh medak, nyuruh Nuan datai. (Mohon Petara mendengarkan dan melihat
serta mohon hadir).
Kami munuh babi besai,
manuk belangai.
(Kami mempersembahankan
babi dan ayam besar).
Minta intu, minta
kingu.
(Mohon Petara
memelihara hidup kami).
Ayu umur kami suruh
pannyai.
(Agar kami umur
panjang).
Tubuh suruh gerai,
peniau suruh nyamai, nyawa kak makai.
(Badan kami segar dan
sehat).
Duduk ari biak sampai ketuai,
beanak, beapai.
(Mulai dari anak-anak
sampai yang tua)
Ayu guru, gerai nyamai.
(Roh bijaksana, raga
kami sehat).
Kering semengat, kering
ari besi, kering ari baja.
(Kuat roh, kuat dari
pada besi, kuat dari pada baja).
Ayu tingik ari bukit, tingik ari langit.
(Roh kami tinggi
melebihi bukit dan melebihi langit).
Kur. Semengat berkat selamat.
(O.. roh.. kami penuh
berkat dan selamat).
Nadai sik apa nama,
nadai sik leman dayan.
(Tidak ada masalah
apa-apa)
Tuk tekami pintak ari
Nuan Petara.
(Semua ini yang kami
minta kepada Petara)
Kur semengat kami semua
anak mensia. Kur semengat.
(O.. Roh kami semua
anak manusia).
Pokok-pokok doa ritual
diatas mengandung makna sebagai berikut:[54]
·
Menyampaikan
kepada Petara bahwa akan mempersembahkan hewan kurban untuk menebus kesalahan.
·
Memohon
agar Petara berkenan hadir dalam upacara tersebut
·
Memohon
kepada Petara agar menghalau semua jenis kejahatan yang dapat menimpa manusia.
·
Memohon
kepada Petara agar memberikan pengampunan.
·
Memohon
kepada Petara agar memberikan anugerah berkat dan keselamatan kepada manusia.
·
Memohon
kepada Petara agar memberikan kebijaksanaan dan kekuatan roh.
·
Ctt:
lain-lain mempunyai makna yang sama dengan upacara 1.
g.
Nilai-nilai
Hukum Adat
1)
Hukum
Adat Sebagai Pedoman Hidup
Hukum adat suku Dayak Banyur adalah
sebuah hukum yang berdiri atas dasar nilai-nilai budaya mereka. Budaya suku
Dayak Banyur ini secara keseluruhan
dimengerti sangat luas dan abstrak. Oleh karena itu hukum adat merupakan
salah-satu produk budaya yang dihasilkan oleh keanekaragaman nilai-nilai
tersebut. Hukum adat secara spesifik adalah gagasan mengenai tata norma
berprilaku dan sebuah konsep indealisme yang berusaha membangun karekteristik
individu yang mampu bersosialisasi dengan baik. Norma yaitu aturan-aturan yang
perumusannya terinci, jelas dan tegas dan tidak meragukan.[55]
Norma-norma inilah yang kemudian diletakkan dalam suatu sistem hukum adat agar
memiliki wibawa dan kekuatan untuk mengatur tata cara berprilaku. Sistem norma
dan aturan baik yang bersifat ringan maupun berat diaktualisasikan melalui
keragaman jenis-jenis hukum adat. Jenis-jenis hukum adat ini kemudian secara eksplisit masuk dan
menjelma dalam jiwa dan pikiran mereka serta membuat kategori-kategori atau
pemilahan jenis tindakan. Seluruh gagasan mengenai hukum adat dicita-citakan
untuk dapat mewujudkan sebuah sistem yang baku, yang dapat dipegang
bersama-sama dalam melaksanakan proses kehidupan sosial.
Oleh
karena itu hukum adat menjadi pedoman hidup dihargai dan dianggap bernilai bagi
mereka.
Sebagai pedoman hidup, hukum
adat menjadi suatu gagasan yang mempunyai kekuatan sebagai usaha memberikan
batas-batas bagi masyarakat suku Dayak Banyur dalam berpikir dan bertindak.
Seluruh gerak hidup mereka didasarkan pada hukum adat yang ada. Selain
merupakan manisfestasi dari budaya yang bernilai kompleks, pemahaman hukum adat
sebagai pedoman hidup juga didasarkan pada fakta dan peristiwa dari pengalaman
perjalanan hidup mereka. Kemampuan mereka memahami hukum adat sebagai tolak
ukur berprilaku, didukung pengalaman hidup sehari-hari yang mereka saksikan dan
rasakan bersama. Melalui pengalaman hidup,
hukum adat sungguh-sungguh mempunyai arti dan makna bagi mereka.
Fenomena-fenomena sosial yang terarah pada peranan hukum adat, memberikan pemahaman
dan pengertian baru yang turut menambah kewibawaan hukum adat itu sendiri.
Sebagai pedoman hidup, hukum adat terbukti mampu memberikan efek bagi seluruh
masyarakat suku Dayak Banyur. Dengan kata lain, pembuktian hukum adat sebagai
pedoman hidup nampak pada peristiwa-peristiwa
pelanggaran norma yang telah terjadi. Dengan demikian dukungan terhadap
pematuhan hukum adat menjadi semakin besar dan tidak satu pun tindakan-tindakan
yang terlewatkan dari hukum adat. Oleh karena itu, hukum adat menjadi
satu-satunya hukum yang pertama dan utama dalam menentukan sikap, pikaran dan
tingkah laku mereka. Pengharagaan terhadap hukum adat yang sedemikian tinggi
itu dipahami oleh seluruh anggota masyarakat suku Dayak Banyur dan dengan
sendirinya diteruskan kepada anak cucu mereka dengan nilai dan peranan serta
tujuan yang sama pula. Proses ini terus berkelanjutan dari generasi ke generasi
dan semakin mantap dengan fakta dan peristiwa perjalanan pengalaman hidup yang
cukup panjang.
2)
Hukum
Adat, Religius dan Moral
Selain merupakan pedoman hidup
yang mempunyai sifat jasmani dan lahir berdasarkan keutamaan-keutamaan sosial,
hukum adat juga mempunyai keutamaan-keutamaan rohani yang lahir berdasarkan
sistem kepercayaan sejak dahulu kala dipegang dan dilestarikan. Nilai hukum
adat sebagai aspek rohani memberikan gambaran bahwa masyarakat suku Dayak
Banyur tidak hanya hidup berdasarkan kepentingan manusiawi belaka. Perjalanan
pengalaman hidup suku mereka diyakini adanya keterlibatan atau campur tangan
dari Petara. Untuk mengerti dan memahami lebih mendalam
tentang hubungan hukum adat sebagai aspek yang bernilai religius, tentunya
harus megetahui bagaimana pandangan suku Dayak Banyur terhadap ilah tertinggi
yang diyakini dan dipercaya adalah Tuhan yang satu dan yang sama menurut
keyakinan dan kepercayaan lainnya. Seperti apa yang telah diuraikan di latar
belakang dan beberapa poin sebelumnya, suku Dayak Banyur mempunyai pemahaman
dan pandangan yang khas mengenai Tuhan. Mereka menyebut tuhan dengan sebutan Petara. Petara berasal dari dua suku kata yaitu Pai dan Tara, Pai artinya Bapak.[56]
Sedangkan Tara menunjukkan sifat dari
Pai. Sifat tersebut menyangkut
kekuasaan dan keagungan yang tiada taranya. Tidak mampu dipahami dan dimengerti
oleh manusia. Dalam bahasa suku Dayak Banyur kedua suku kata tersebut digabung
menjadi Petara. Menurut suku Dayak
Banyur Petara, digambarkan sebagai
seorang bapak yang bijaksana dan mempunyai kuasa tertinggi atas manusia dan
seluruh alam semesta.[57]
Sebutan bapak menunjukan hubungan kedekatan dan keakraban mereka dengan Petara, seorang bapak mampu memberikan
rasa aman dan nyaman serta memberikan perlindungan kepada anak-anaknya. Mereka
sendiri adalah anak-anak dari Petara. Tempat
Petara adalah surga.[58]
Dalam bahasa suku Dayak Banyur adalah Sebayan,
sebayan adalah alam seberang, tempat orang-orang baik yang telah meninggal
dunia. Sebayan inilah yang dimengerti
sebagai alam atas, alam yang tinggi, oleh karena itu untuk mencapainya orang
harus berkelakuan baik dan taat kepada Petara.
Kata tinggi menunjukkan bahwa tempat tersebut adalah tempat agung yang
mempunyai makna dan nilai tinggi. Petara itu
baik Dialah yang maha baik meskipun manusia itu tidak baik.[59]
Kebaikan Petara menyangkut sifatnya. Petara memberikan pengampunan kepada
orang yang bersalah dan memberikan berkat serta rahmat kepada semua orang. Kebaikan
Petara juga menyangkut sifat
kebapakannya, Dia melindungi menjaga dan memelihara manusia sebagai
anak-anaknya. Petara tidak ada awal
dan tidak ada akhirnya.[60]
Dia ada selama-lamanya dan megetahui, melihat serta mengenal manusia dengan
seluruh niat dan perbuatannya.
Dari uraian di atas, maka
dapat dengan mudah bagai mana memahami campur tangan Petara terhadap hukum adat. Hukum adat merupakan satu kesatuan
nilai hidup yang mempunyai dimensi religius. Keutamaan-keutamaan dalam
bertingkah laku erat kaitannya dengan sikap dan sifat seseorang terhadap Petara. hukum adat menjadi bagian dari
unsur yang tidak dapat dijelaskan manusia dengan akal dan pikiran. Hukum adat
secara langsung dipahami sebagai keutuhan yang memberikan keseimbangan terhadap
dua dimensi itu. Bagaimana seseorang menghargai dan mematuhi hukum adat,
merupakan gambaran seseorang yang mengenal dan mengetahui Petara dengan baik. Sebab dalam hukum adat, nilai norma dan tingkah
laku manusia ditentukan sedemikian rupa, norma tingkah laku manusia itulah yang
menunjukkan dimensi religius ini. Seorang yang mentaati hukum adat berarti
dengan sadar ingin memberikan dan mempersembahkan segala hidup dan kebaikannya
kepada Petara. Secara langsung tidak
ditemukan kapan, dimana dan kepada siapa Petara
mengilhamkan hukum adat tersebut, namun bagi suku Dayak Banyur, mereka percaya
bahwa Petara-lah yang membuat mereka
mematuhi hukum adat. Mereka yakin, melalui kebijaksanaan, dan kearifan nenek
moyang Petara ikut campur tangan.
Keterbatasan nenek moyang dalam membangun konsep hukum adat didukung dan
disempurnakan oleh Petara. Oleh sebab
itu setiap pelanggaran yang dilakukan oleh manusia dimohonkan kepada Petara agar diberikan pengampunan. Hal
ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa manusia telah melanggar hukum-hukum
Petara dan yang berhak memperbaiki
keselahan tersebut secara total hanyalah Petara.
Petara dipandang setuju dan berkenan terhadap hukum adat yang ada. Tidak
semerta-merta dilihat bahwa manusialah yang memohon agar Petara setuju, namun sudah dari sejak dahulu kala Petara melalui nenek moyang bekerja sama
dengan manusia dan menghendaki agar manusia meneruskan hukum adat tersebut dalam
kepercayaan rohani dan jasmani.
Selain dari pada itu, sesuai
dengan sifat hukum adat yang mempunyai dua dimensi, religius dan sosial
(jasmani), maka hukum adat tersebut dengan kewibaan religius mengatur dan
menjaga sikap dan tingkah laku manusia. Sikap dan tingkah laku ini berkaitan
dengan tata cara norma, sedangkan tata cara norma adalah wujud dari
pemeliharaan moral manusia. Hukum adat dalam hal ini mempunyai nilai yang
mendasar yang mengandung nilai-nilai moral. Hidup dan prilaku manusia
mencerminkan kualitas moral pribadinya. Hukum adat secara jelas dan tegas mengarahkan
manusia agar hidup seturut moral yang benar. Oleh karena itu
pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat secara keseluruhan (dua dimensi),
diberikan sanksi moral. Secara mendasar hukum adat mempertegas nilai-nilai
moral yang ada. Moral sudah ada dalam hati dan pikiran manusia, hukum adat
berperan sebagai penjelas, pemilah, atau yang memberi kreteria-kreteria khusus
menyangkut tindakan-tindakan moral. Pelanggaran-pelanggaran moral yang mendasar
sudah mempunyai konsep yang negatif dalam hati dan pikiran seseorang. Hukum
adat memeberikan pencerahan mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh
manusia tersebut. Oleh sebab itu, hukum adat selalu memiliki makna dan nilai
moral. Menurut suku Dayak Banyur apa yang muncul dalam hati dan pikiran mereka
mengenai hukum adat merupakan wujud dari pemikiran-pemikiran dan pemahaman
mengenai moral. Hukum adat meralarang mereka
untuk melakukan pelanggaran moral sekaligus langsung berkaitan mengenai
sanksi hukum terhadap pelanggaran tersebut. Dengan kata lain, sesuai dengan
maksud dan tujuan hukum adat, segala bentuk prilaku yang melawan moral
mempunyai dampak sanksi hukum adat secara jelas dan terperinci. Demikianlah
dapat digambarkan mengenai nilai-nilai hukum adat dipandang secara moral.
B.
Kitab
Keluaran dan Sepuluh Firman
1. Karakteristik Kitab
Keluaran
a. Judul Kitab Keluaran
Kitab Keluaran merupakan kitab kedua
dalam Pentateukh yang melanjutkan kisah dalam Perjanjian Lama. Ada tiga judul
yang diberikan untuk meyebut Kitab Keluaran yaitu, pertama, dalam bahasa Ibrani, sesuai dengan kebiasaan kuno yang
lazim dipakai di Timur Dekat dipakai kata-kata We’ eleh syemot, yang berarti “Inilah nama”.[61]
We’eleh syemot juga biasanya
disatukan dengan syemot, yaitu,
“nama”. Kedua, dalam hampir semua
terjemahan baik dahulu maupun sekarang, terdapat judul yang menekankan suatu
peristiwa yang penting sekali yang diriwayatkan di dalamnya, yaitu keluaran
umat Israel dari Mesir memakai judul Exodos
(judul yang dipakai di Septuaginta Perjanjian Lama, terjemahan ke dalam
bahasa Yunani, dibuat pada abad ke-3 SM). Eksodos
berarti “keluaran”. Ketiga, Vulgata
(terjemahan ke dalam bahasa Latin yang dibuat kira-kira tahun 400 M, adopsi
dari bahasa Yunani) dalam terjemahan bahsa Inggris menggunakan istilah Exodus, yang artinya sama yaitu keluaran.
b. Pengarang Kitab Keluaran
Kitab Keluaran sangat erat kaitannya dengan Pentateukh,
oleh karena itu untuk membahas mengenai siapa pengarang Kitab Keluaran, selalu
meyelidiki keterkaitannya itu dengan Pentateukh secara keseluruhan, sebab semua
kitab dalam Pentateukh saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Menurut
tradisi Ibrani, Musa-lah yang disebut sebagai pengarang Kitab Keluaran. “Tuhan memperdengarkan suara-Nya kepada
Musa, dan menghantar dia masuk ke dalam kegelapan. Berhadapan muka Tuhan
memberikan perintah-perintah-Nya kepadanya, yaitu Taurat sumber kehidupan dan
pengetahuan, supaya Musa mengajarkan perjajian itu kepada Yakub dan keputusan-keputusan Tuhan kepada Israel”
(Sir 45:5). Data ini juga didukung oleh Perjanjian Baru yang juga merujuk
mengenai pengarang Kitab Keluaran tersebut. Yesus mengatakan “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan
apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu
kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang
diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka” (Mrk 1:44). Selain
dikatakan oleh Yesus sendiri, hal yang sama mengenai pengarang Kitab Keluaran
juga disampaikan oleh para murid pada saat mereka memberi kesaksian tentang
Yesus, “Filipus bertemu dengan Natanael
dan berkata kepadanya: Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam
Kitab Taurat dan oleh para nabi, ……….. “ (Yoh 1:45). Sedangkan dalam Kitab Keluaran sendiri
memberikan saksi yang turut mendukung pendapat ini, “Kemudian berfirmanlah Tuhan kepada Musa: Tuliskanlah semuanya ini
dalam sebuah kitab sebagai tanda peringatan,……. “ (Kel 17:14). Tradisi ini
diterima oleh semua orang sampai abad ke-18 Masehi.[62]
Namun demikian, data-data di atas mempunyai beberapa
kesulitan. Beberapa kitab Perjanjian lama justru bersinggungan dengan pendapat
tersebut. Hal ini terbukti dalam riwayat mengenai kematian Musa (Ul 34:1-12).
Dalam kutipan-kutipan Ul 34:1:12, dikisahkan mengenai kematian Musa, secara
logika hal ini tentu tidak dapat diterima begitu saja, alasannya ialah tidak
mungkin Musa menulis tentang kematiannya yang kemudian diketahui merupakan data
yang diperoleh lama setelah kematian Musa. Bahkan implikasi ungkapan “Seperti
Musa dikenal Tuhan dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi-nabi yang
bangkit di antara orang-orang Israel” ialah riwayat yang ditulis cukup lama
sesudah zaman Musa itu.[63]
Menurut keterangan dari kitab Kejadian, yaitu laporan mengenai raja-raja yang
memerintah di tanah Edom bahwa dalam ayatnya ditulis: “Inilah raja-raja yang memerintah di tanah Edom, sebelum ada raja yang
memerintah atas orang Israel” (Kej 36:31). Kenyataan kutipan ayat tersebut
mengindikasikan bahwa kata-kata itu ditulis sesudah kerajaan Israel didirikan,
sekurang-kurangnya dua ratus tahun sesudah Musa. Jadi ayat tersebut
mengisyaratkan keraguan mengenai Musa sebagai penulis Pentateukh termasuk di
dalamnya kitab Keluaran. Atau sederhananya bahwa kutipan itu ditulis jauh
sesudah kematian Musa, sehingga menjadi tidak mungkin apabila Pentateukh,
khususnya Keluaran adalah karya Musa. Petunjuk lain yang juga turut mendukung
ialah “Setelah mereka sampai ke
Goren-Hataad, yang di seberang sungai Yordan, maka mereka mengadakan di situ
ratapan yang sangat sedih dan riuh; ………… Itulah sebabnya tempat itu dinamai
Abel Mizraim, yang letaknya di seberang sungai Yordan” (Kej 50:10-11). Kata
seberang sungai Yordan di sini jelas dimaksudkan sebelah timur sungai Yordan,
maka logikanya bahwa pengarang berada di sebelah barat sungai Yordan. Jika Musa
penulisnya, pasti Musa tidak menyatakan hal itu karena dia tidak pernah
menginjakkan kakinya di tanah perjanjian.[64]
Dalam kitab berikutnya, yaitu Bilangan, juga terdapat data mengenai penyebutan
nama tempat oleh pengarang, “Kemudian
berangkatlah orang Israel, dan berkemah di dataran Moab, di daerah seberang
sungai Yordan dekat Yerikho” (Bil 22:1). Kata-kata tersebut menyebut nama
tempat yang merupakan daratan Arab (sebelah timur sungai Yordan), dengan
demikian jelas ungkapan tersebut menggambarkan bahwa penulis berada di sebelah
barat, tempat yang tidak pernah dikunjungi Musa.
Dengan demikian sulit menerima bahwa Musa sendiri yang
menulis Pentateukh khususnya Keluaran dengan semua bahan dan dalam masa yang sama, sebab
terdapat banyak perbedaan yang tanpak pada teks-teks paralel dan gaya sastranya
yang kontradiksi. Para ahli berpendapat bahwa, kumpulan kitab-kitab dalam
Pentateuk berasal dari sumber yang berbeda. Sumber-sumber itu kemudian
digabungkan menjadi satu kesatuan yang merupakan rangkaian kisah-kisah yang
dihubungkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, jika melihat dari
sudut pandang ini, maka penulisnya bukan hanya satu orang dan juga tidak
berasal dari waktu dan generasi yang sama.
Secara garis besar, tradisi-tradisi yang terlibat dalam
sastra kitab Keluaran dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, disebut Yahwis (Y), yang menulis pada abad X SM, pada saat
pemerintahan Daud dan Salomo mencapai puncak kejayaannya.[65]
Bahan dari sumber Y merupakan cerita yang hampir sempurna yang dimulai dari
penciptaan dunia dalam Kejadian 2:4b-25. Sumber Y mengumpulkan bermacam-macam
tradisi dan mempersatukannya ke dalam satu riwayat. Sumber Y secara khas
memakai istilah YHWH, mewakili nama Allah. Y mempunyai pembendeharaan kata
spesifik serta gaya bahasa yang mengalir. Selain dari pada itu kekhasan dalam
menyebut tempat yaitu gunung tempat nama Musa dipanggil dan Tuhan menampakkan
diri disebut Gunung Sinai. Kedua, yaitu
E. Sumber E banyak merenungkan kekacauan religius dan sinkretisme pada abad
IX-VII SM.[66]
Sumber E mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan Y, yaitu E memakai istilah
Elohim untuk menyebut Allah dan gunung tempat Musa dipanggil yaitu Gunung
Horeb. Sumber Y dan E sulit dibedakan sehingga keduanya sering dianggap sumber
tunggal, JE. Ketiga, yaitu P. sumber
P (priest, imam), yang memberi gambaran pengharapan pada masa pembuangan antara
abad VII-VI SM.[67]
Sumber P disusun para imam dan dalam riwayat tentang peristiwa-peristiwa banyak
disisipkan silsilah serta peraturan. Dalam kitab Keluaran ada catatan singkat
tentang penindasan orang Israel di Mesir, kesengsaraan dan pengaduan mereka
yang didengar oleh Allah dan tempat-tempat mereka berkemah antara Laut Teberau
dan Gunung Sinai. Kemudian dalam perikop pemanggilan Musa , beberapa tulah dan
penyeberangan Laut Teberau. Disisipkan pula mengenai peraturan-peraturan
mengenai keagamaan, yaitu hari-hari raya serta pesta-pesta hari sabat dan
pendirian kemah suci. Sumber P mempunyai cirikhas khusus yaitu, Israel hanya
dilihat dari sudut religius, nama “Tuhan” dinyatakan pertama kali dalam
pemanggilan Musa, para bapa leluhur mengenal Dia sebagai Allah yang Mahakuasa (‘el syadai, Kel 6:1-2). Tempat dimana
Musa dipanggil tidak disebut dalam sumber P, tetapi gunung bernama Sinai ada di
dalam riwayat perjalanan.[68]
Keempat, yaitu D. Dalam kitab
Keluaran sumber D memiliki beberapa catatan menurut gayanya yang khusus.
Catatan-catatan ini ditambah kepada riwayat yang sudah ada dalam beberapa
tahap, barangkali sebagian dilakukan oleh penyusun kitab Keluaran sendiri. D
adalah karya sastra Deotronomis yang ditemukan tahun 621 SM.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
secara sejarah keselamatan memang kitab Keluaran dianggap hasil karya Musa, hal
ini dirujuk oleh beberapa perikop yang menggambarkan bahwa Allah sendirilah
yang meminta Musa meneruskan sabda-Nya dalam tulisan. Bangsa Israel juga
meyakini Musa sebagai perantara Allah yang berbicara kepada mereka. Perjanjian
Baru juga ikut menguatkan apa yang diyakini oleh bangsa Israel dalam Perjanjian
Lama. Yesus sendiri kemudian sering menggunakan istilah “perintah Musa”, “apa
yang diperintahkan Musa”. Namun para ahli Kitab Suci, melalui ilmu pengetahuan,
melihat Kitab Suci dari sudut pandang historis terjadinya sebuah kitab, oleh
karena itu ditemukanlah sumber-sumber yang kemuadian menjadi teori dan
digunakan demi kepentingan ilmu pengetahuan pula.
c. Waktu Penulisan
Waktu penulisan kitab Keluaran
memiliki beragam versi. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada data yang pasti
mengenai waktu penulisan kitab tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa
di antara versi-versi yang berbeda dapat menjadi pengangan untuk menjelaskan
kapan kitab Keluran ditulis. Waktu penulisan kitab Keluran oleh para ahli
selalu dihubungkan dengan keluarnya Israel dari Mesir, karena dari peristiwa
itulah kemudian dapat diperkirakan kapan kitab Keluaran ditulis.
Ada dua tanggal yang disarankan
untuk Keluaran. Pertama, sekitar
tahun 1440 SM, diambil dari 1 Raj 6:1 “Dan
terjadilah tahun keempat ratus delapan puluh sesudah orang Israel keluar dari
tanah Mesir, pada tahun keempat sesudah Salomo menjadi raja atas Israel, dalam
bulan Ziw, yakni bulan yang kedua, maka Salomo mulai mendirikan rumah bagi
TUHAN”. Tahun keempat pemerintahan raja Salomo berlangsung sekitar tahun
1961, karena itu keluaran terjadi sekitar tahun 1441 SM, dan masuknya orang
Israel ke Mesir sekitar tahun 1870 SM.[69]
Kedua, sekitar tahun 1290 SM, diambil
dari Kel 1:11 “Sebab itu
pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka dengan kerja paksa: mereka harus
mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Ramses”. Ramses
didirikan oleh Sethos I tetapi dibagun oleh Ramses II yang naik tahta pada
tahun 1304 atau tahun 1290 MS.[70]
Batu tungu yang mencatat kemenganan Merenpth atas orang Libya kira-kira tahun
1220 SM, menyebutkan bahwa Israel ditaklukkan bersama-sama dengan bagsa-bangsa
lain di Palestina Siria. Dengan demikian Israel berada di Palestina sekitar
tahun 1220 SM. Dengan demikian kedua pendapat tersebut dapat menjadi acuan
untuk mengetahui kapan kitab Keluaran ditulis.
d. Tujuan Kitab Keluaran
Keluaran ditulis untuk memberikan
laporan tentang tindakan-tindakan Allah yang bersejarah dan bersifat menebus
sehingga Israel dibebaskan dari Mesir, ditetapkan sebagai bangsa pilihan-Nya,
dan diberi pernyataan tertulis mengenai perjanjian-Nya dengan mereka. Kitab ini
juga ditulis sebagai mata rantai yang teramat penting dalam keseluruhan pernyataan
diri Allah yang bertahap-tahap yang mencapai puncaknya di dalam diri Yesus
Kristus dan dalam Perjanjian Baru.
Seperti gambaran umum di atas, tujuan
kitab Keluaran tidak dapat dipisahkan dengan tema-tema yang ada dalam kitab
ini. Melalui tema-tema tersebut maka ditemukan apa sesungguhnya yang menjadi
ide pokok dari bab ke bab. Berdasarkan tema-tema yang ada dalam kitab Keluaran
maka tujuan penulisan kitab Keluaran dapat dilihat sebagai berikut:
Pertama
melaporkan tentang berita pembebasan. Kitab Keluaran ingin melaporkan
bagaimana campur tangan Allah dalam peristiwa keluarnya bangsa Isrel dari tanah
Mesir. Dalam riwayat ini, dikisahkan permulaan Israel menjadi suatu bangsa
dimana ditampilkan tokoh utama yaitu Allah yang dengan penuh kuasa dan agung
“bertarung” melawan orang-orang Mesir. Allah digambarkan sebagai pembela yang
tidak pernah kehabisan cara dalam usaha menuntun bangsa Israel keluar dari
Mesir. Melalui orang pilihan-Nya Allah memperlihatkan bahwa tidak ada kekuatan
lain yang melebihi kekuatan Allah sendiri, oleh Karena itu bangsa Mesir yang
keras hati ditaklukkan sedemikian rupa,
sehingga dengan terpaksa membiarkan seluruh budak pergi dari tanah mereka. Namun
demikian kebebasan dari tanah Mesir bukanlah berarti Israel bebas secara penuh.
Allah sudah memberikan kebebasan kepada bangsa Israel tetapi selalu ada bahaya
mereka jatuh ke dalam bermacam-macam perbudakan baru. Israel kemudian tidak
taat kepada Allah dan membuat diri mereka diperbudak oleh dewa-dewi. Selain
dari pada itu, di antara bangsa Israel sendiri mereka saling memperbudak satu
sama lain, ada tuan-tuan yang menjadikan mereka budak ekonomi, yang tidak
memberikan waktu istirahat dari pekerjaan. Kebebasan sudah ada, tetapi harus
dijaga.
Kedua
melaporkan tentang pranata-pranata atau hukum.
Tujuan kedua ialah memberitakan mengenai bagaimana Allah memberikan
hukum-hukum-Nya kepada Bangsa Israel. Hukum-hukum itu menjaga kebebasan yang
sudah ada. Puncak dari hukum-hukum yang diberikan Allah adalah pada peristiwa
di gunung Sinai, dimana Allah meyatakan diri-Nya dan membuat
peraturan-peraturan bagi sesama bangsa Israel dalam sepuluh firman yang
disampaikan melalui Musa. Kesepuluh firman berdasarkan atas kasih karunia Tuhan
dan setiap firman menjaga satu unsur kebebasan orang Israel.[71]
Ketiga
menyatakan Allah Israel sebagai satu-satunya Allah yang setia dengan
janji-janji-Nya. Perjanjian antara Alah dan bangsa Israel merupakan dasar
hubungan keduanya. Terdapat kalimat yang berulang kali muncul yaitu “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka
akan menjadi umat-Ku” Allah memilih dan menyelamatkan Israel dan mereka
harus hidup menurut kehendak-Nya. Meskipun Israel kemudian sering mengingkari
janji mereka, namun Allah penuh belaskasihan dan sabar serta membaharui janji
tersebut.
Keempat
adalah implikasi dari janji setia Allah
kepada bangsa Israel, yaitu bahwa Allah tetap hadir di tengah-tengah mereka.
Kehadiran Allah ditandai dengan kemah suci. Allah tidak pernah meninggalkan
bangsa Israel dalam suka dan duka mereka. Allah berada bersama meraka dengan
penuh kasih, oleh karena itu orang Israel tidak dapat mendustai Allah atas perbuatan-perbuatan
mereka.
Dari
keempat tujuan di atas, maka dapat dimengerti secara keseluruhan bahwa kitab
Keluaran ini ingin meyatakan keistimewaan bangsa Israel di mata Allah. Mulai
dari pembebasan dari perbudakan Mesir sampai pada pernyataan kesetiaan Allah
kepada mereka. Meskipun Israel selalu meragukan kebenaran Allah dan terjerumus
dalam dosa, Allah menetapkan mereka sebagai bangsa pilihanNya.
2. Sepuluh Firman dalam
Kitab Keluaran 20:1-17
a. Asal-Usul dan
Pengertian Sepuluh Firman
Alkitab dengan jelas menerangkan
bahwa sepuluh firman ini dituliskan di atas dua loh batu dan pada masing-masing
sisi loh batu tersebut terdapat tulisan dari isi sepuluh firman tersebut.
Penggunaan batu sebagai media untuk
menuliskan sepuluh firman ini menandakan jika penulis sepuluh firman ini
(Allah) memaksudkan agar tulisan tersebut bersifat permanen, sebab jaman itu
penulisan di atas tanah liat lebih populer namun lebih cepat rusak jika tanah
liat menjadi kering atau terbakar.[72]
Ditemukan data yang menunjukkan
bahwa sepuluh firman itu ditulis oleh Allah sendiri, “Dan TUHAN memberikan kepada Musa, setelah Ia selesai berbicara dengan
ia di gunung Sinai, kedua loh hukum Allah, loh batu, yang ditulis oleh jari
Allah” (Kel 31:18); “Kedua loh itu ialah pekerjaan Allah dan tulisan itu ialah
tulisan Allah, dikutik pada loh-loh itu” (Kel 32:16). Dengan demikian ingin
menyatakan bahwa firman tersebut betul-betul mengungkapkan kehendak Allah. Pasangan
loh batu yang pertama dipecahkan oleh Musa untuk melambangkan kemurtadan bangsa
Israel (Kel 32:19), sedangkan loh yang kedua ditempatkan dalam tabut (Kel
25:16).[73]
Jelas bahwa Allah sendirilah yang
menulis firman itu, dan kemudian diberikan kepada Musa untuk diteruskan kepada
bangsa Israel. Tempat di mana loh itu diberikan ialah di gunung Sinai.
Dua loh batu itu berisi sepuluh
firman Allah yang pada masing-masing loh berisi firman yang berbeda-beda,”Setelah itu, berpalinglah Musa lalu turun
dari gunung dengan kedua loh hukum Allah dalam tangannya, loh-loh yang bertulis
pada kedua sisinya; bertulis sebelah menyebelah” (Kel32:15). Dengan kata
lain, loh batu itu sifatnya berkelanjutan. Setidaknya ada tiga pandangan
populer tentang pembagian posisi perintah-perintah dalam dua loh batu itu.[74]
1)
Loh pertama berisi lima
perintah yang secara eksklusif berhubungan dengan bangsa Israel sementara loh
kedua berisi lima perintah yang sifatnya universal. Lima perintah pertama
berhubungan dengan kasih Allah, hubungan antara Israel dan Allah (Yahweh).
Masing-masing perintah melibatkan frase ‘Tuhan Allahmu’ dan masing-masing
memiliki motif sebab-akibat. Dukungan pembagian 5 dan 5 ini dinyatakan juga
oleh Philo dalam Decalogue 50.
2)
Dua loh batu tersebut
masing-masing terbagi atas 4 dan 6 perintah. 4 perintah pertama berhubungan
dengan Allah sementara 6 perintah berikutnya berhubungan dengan sesama manusia.
Pandangan ini didukung oleh Agustinus dan menjadi pandangan tradisional gereja
Katolik dan Lutheran.
3)
Pandangan ketiga
mendasari pendapatnya pada penggunaan orang pertama dan ketiga untuk merujuk
pada Allah. Dalam Kel. 20:2-6 yang dianggap sebagai isi loh batu pertama, Allah
menyebut diri-Nya dalam bentuk orang pertama tunggal (Aku) sedangkan sisa
bagian sesudahnya (20:7-17) sebutan untuk Allah dinyatakan dalam bentuk orang
ke-3 tunggal (Dia/Nya). Loh batu yang kedua masih dibagi lagi menjadi dua
bagian: 7-11 meliputi perintah-perintah yang berhubungan dengan keagamaan
sedangkan 12-17 menyangkut masalah-masalah sekuler.
Jika dilihat lebih lanjut, selain
fakta-fakta di atas, berbicara mengenai asal-usul sepuluh firman, tentu saja
selalu berkaitan dengan janji penebusan Allah terhadap bangsa Israel. Sepuluh
firman adalah puncak perjanjian Allah dengan bangsa Israel, dimana Allah
menyatakan diri-Nya adalah Allah satu-satunya yang harus disembah dan tidak ada
allah lain. Dalam Kitab Suci, perjanjian menggambarkan hubungan khusus antara
Tuhan dengan umat-Nya. Mereka adalah umat-Nya dan Ia adalah Allah mereka. Pembebasan
yang Allah berikan pada bangsa Israel mempunyai konsekuensi tersendiri. Mereka
yang telah ditebus harus mengikuti apa yang diperintahkan penebusnya. Dari data
kitab Keluaran sendiri juga bersaksi bahwa perbutan Allah terhadap Israel
haruslah digenapi dalam hukum, “Kamu
sendiri telah melihat apa yang telah Kulakukan kepada orang Mesir, dan
bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku.
Jadi sekarang jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang
pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari
antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi”. (Kel 19:5). Pernyataan
Allah dalam kutipan perikop tersebut ingin memperlihatkan bahwa sebelumnya
Allah telah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang hebat untuk bangsa Israel.
Kutipan tersebut dalam rangka persiapan pemberitaan sepuluh firman oleh Allah.
Ada tanggungjawab yang dituntut Allah, yaitu berpegang pada firman dan janji-Nya,
maka mereka akan dijadikan bangsa kesayangan Allah sendiri. Jika mereka tetap
beriman dan setia kepada Tuhan, mereka harus menaati hukum-Nya yang akan
diberikan dalam pasal-pasal berikutnya.[75]
Janji itulah yang kemudian disempurnakan dalam sepuluh firman. Kemuadian atas
pernyataan Allah itu, yang disampaikan Musa kepada bangsanya, ada kesanggupan
dari bangsa Israel untuk melakukan apa yang difrimankan oleh Allah, “Seluruh bangsa itu menjawab bersama-sama:
segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan” (Kel 19: 8a). Hal tersebut
perlu, guna melihat sebab-sebab sepuluh firman itu diturunkan oleh Allah kepada
bangsa Israel. Andai kata bangsa Israel tidak meyatakan kesanggupan, tidak
dapat dipastikan apakah Allah melanjutkan rencana-Nya untuk memberitakan sepuluh
firman itu. Kemudian dapat dipahami bahwa, dalam rangka berbicara asal-usul
munculnya sepuluh firman tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa
Israel hingga menjadi bangsa pilihan Allah yang dibebaskan dari berbagai
perbudakan.
Dari keseluruhan rangkaian sejarah
bangsa Israel, sepuluh firman menggenapi apa yang telah dilakukan oleh Allah
terhadap mereka. Dalam kesepuluh firman itulah Allah secara lansung menyatakan
diri-Nya tanpa melalui perantara siapapun.[76]
Musa berperan sebagai suruhan Allah yang memastikan bahwa apa yang
diperintahkan Allah dalam rangka penyampaian firman tersebut sungguh-sungguh
sesuai dengan situasi yang dikendaki-Nya.
Selain dari kerangaka penebusan yang
menitik beratkan pada historis terjadinya sepuluh firman sebagai kelanjutan
sejarah keluarnya bangsa Israel dan sebagai tanda kestiaan Allah, dalam sepuluh
firman itu sendiri menterjemahkan banyak hal berkaitan dengan rencana Allah
pada bangsa Israel. Sepuluh firman bukan begitu saja merupakan suatu ungkapan
sederhana “hukum Allah”. Rencana Allah haruslah dilihat sebagai sebab
terjadinya sepuluh firman. Allah tentu saja tidak menjadikan bangsa Israel sebagai
budak hukum-Nya, mereka mempunyai kebebasan yang juga dihargai Allah. Allah menghendaki agar bangsa Israel memberikan
respon terhadap firman-Nya dengan bukti nyata dalam keseharian hidup mereka.
Inilah rencana tersebut, rencana yang juga merupakan bagian dari pembebasan.
Sepuluh firman mengarahkan jalan umat Allah agar di dalam perjalanannya mereka
bebas dari kebodohan dan nafsu.[77]
Istilah “Sepuluh Perintah Allah”
(Inggris: Ten Commandments atau (Decalogue) berasal dari bahasa
Ibrani (‘aseret haddevarim) yang secara harafiah berarti “sepuluh
firman” (Kel. 34:28; Ul. 4:13; 10:4). Sedangkan istilah “Decalogue” berasal
dari bahasa Yunani (dekalogos) yang ditemukan dalam Septuaginta (kel.
34:28 dan Ul. 10:4). Istilah Decalogue ini kemudian digunakan dan dipopulerkan
pertama kali oleh Clement of Aleksandria.[78]
Istilah ini merujuk pada sepuluh perintah yang diberikan dan dituliskan Allah
kepada Musa di gunung Sinai/Horeb dalam bentuk dua loh batu. Dengan demikian
sepuluh firman Allah itu kemudian berubah menjadi sepuluh perintah Allah, sebab
firman ini mempunyai sifat perintah untuk dilakukan dan perintah untuk tidak
dilakukan.
b. Peranan Sepuluh Firman
Sepuluh Firman Allah bagi orang
Israel berperanan sebagai pengungkapan hubungan mereka dengan Allah. Hubungan
tersebut berupa tanda kasih setia Allah dan tanda ketaatan bagsa Israel. Untuk
mewujudkan ungkapan taat kepada Allah, bangsa Israel dituntut untuk
memperhatikan cara-cara hidup bersama. Dalam sepuluh firman Allah, tidak hanya
dirumuskan kewajiban manusia terhadap Allah, tetapi juga tuntuntan terhadap
sesama manusia, khususnya syarat-syarat kehidupan manusia dalam masyarakat.
Dinyatakan bahwa hak-hak manusia itu, serta perlindungannya merupakan kehendak
Allah sendiri.[79]
Dengan kata lain sepuluh firman Allah bagi bangsa Israel adalah kepenuhan
peraturan yang memuat dua dimensi yaitu dimensi religius dan sosial. Pada
dasarnya sepuluh firman bukanlah semata-mata peraturan, karena ada pengungkapan
nilai yang memang disadari dan lama sudah ada. Artinya adalah bahwa isi sepuluh
firman itu menjadi kesadaran yang memang sudah ada sebelum Allah membuatnya menjadi
sah. Hanya saja tingkat kesadaran ini belum sepenuhnya meresapi seluruh bagsa
Israel, maka kemudian Allah menegaskan dengan seksama dan sederhana dalam
sepuluh firman-Nya, agar dengan mudah dipahami dan dimengerti. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa, sepuluh firman berperanan sebagai tata aturan kehidupan
baik dalam hubungan dengan Allah maupun sesama manusia yang tidak hanya mencari
letak kesalahan dan memberi sanksi, namun lebih pada kesadaran bangsa Israel
yang menyatakan ketaatan kepada Allah. Karena itu, arti dan maksud asli perlu
dipertahankan sebagai pedoman hidup bermasyarakat dan bukan sebagai sepuluh
perintah Allah yang semata-mata merupakan keinginan Allah untuk menghukum atas
aturan-aturan itu. Artinya bahwa perintah-perintah ini bukanlah sembarang
peraturan, melainkan ungkapan moral Israel sebagai umat Allah.
c. Sasaran Sepuluh Firman
Sepuluh firman pada masanya tentu
saja di peruntukkan bagi bangsa Israel, sebab sepuluh firman merupakan
keseluruhan rangkain peristiwa penyelamatan bangsa tersebut. Dengan jelas sekali
bangsa Israellah yang diselamatkan Allah, bahkan bangsa yang menindas Israel
menjadi musuh Allah. Kejelasan mengenai siapa sasaran sepuluh firman tersebut
nampak dalam kata-kata Allah sendiri kepada bangsa Israel. Setiap kali Allah
menyatakan diri-Nya baik melalui Musa maupun seluruh bangsa Israel, selalu
dipakai kata-kata “kamu”. Dalam rangka persiapan untuk menyampaikan sepuluh
firman tersebut Allah dengan tegas mengatakan, “Kamu sendiri telah melihat …….”; “jika kamu sungguh-sungguh berpegang
pada firman-Ku …..”; “kamu akan menjadi bagi-Ku …….” (Kel 19:4-6). Kata
“kamu” merupakan bentuk kolektif, yaitu seluruh bangsa Israel sendiri. Lain
dari pada itu, Allah sendiri sering menggambarkan hubungan dua arah yang nampak
dalam penggunaan kata-kata antara “Aku” dan “kamu”. Hal ini memperlihatkan
bahwa secara khusus sasaran firman Allah tersebut adalah bangsa Israel, dari
Allah secara individu ditujukan untuk mereka (kolektif).
Dalam kalimat pembukaan sepuluh
firman, lebih jelas lagi dinyatakan oleh Allah, “Akulah TUHAN Allahmu yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari
tempat perbudakan”, kalimat ini menandakan bahwa Allah secara sah
menyatakan diri-Nya sebagai tokoh pembebas yang mempunyai hak memberikan hukum
kepada bangsa israel, yang kemudian mempunyai implikasi pada firman
selanjutnya. Kata “engkau”; “kamu” merupakan kata ganti tunggal yang tetap
bermakna kolektif, bukan individu tetapi seluruh bagsa Israel. Dengan demikian
jelaslah bahwa, sepuluh firman tersebut ditujukan kepada bangsa Israel secara
keseluruhan. Bangsa Israellah yang dituntut untuk melaksanakan firman tersebut
karena merekalah yang telah dibebaskan Allah dari perbukadakan Mesir.
d. Maksud dan Tujuan
Sepuluh Firman
Sepuluh firman adalah tata aturan
yang bermakna luas, bukan sekedar peraturan biasa, namun peraturan dari Allah.
Sepuluh firman merupakan sebuah perjanjian antara Allah dan umat-Nya, oleh karena itu maksud dan tujuan dari sepuluh
firman adalah maksud dan tujuan Allah sendiri. Dengan demikian jika berbicara
mengenai maksud dan tujuan sepuluh firman tentu saja melihat apa maksud dan
tujuan dari penulisnya sendiri. Tujuan Allah bukanlah untuk membebani mereka
dengan hukum-hukum dan aturan yang berat. Allah menghendaki umat-Nya bahagia
dan makmur. Oleh karena itu sepuluh firman ini tidak bisa dimengerti sebagai
aturan yang menekan bangsa Israel, melainkan jalan menuju kebebasan yang
membuat bagsa Israel mengerti akan kasih Allah sesungguhnya.
Ada beberapa hal yang dapat
dirumuskan sebagai tujuan Allah memberikan sepuluh firman ini. Pertama, kebebasan yang memerdekan
bangsa Israel. Sepuluh firman ini pertama-tama dilihat dalam rangka pembebasan
bangsa Israel, oleh karena itu tentu saja tujuan pertama adalah upaya Allah
untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan baru. Kebebasan dari perbudakan
Mesir telah dikerjakan Allah dengan tangan-Nya sendiri melalui peristiwa
penyeberangan laut Teberau, di mana bangsa Mesir dipukul mati dan
ditenggelamkan bersama tentara berkuda di laut tersebut. Namun, bukan berarti
bangsa Israel bebas secara penuh, Allah tahu bahwa mereka akan mengalami
perbudakan-perbudakan baru. Bisa saja ada penguasa baru di antara mereka
sendiri, bahkan mereka memperbudak diri sediri dengan perbuatan-perbuatan dosa.
Hal inilah yang dimaksudkan pembebasan lebih lanjut, yaitu pembebasan dari dosa
karena perbuatan dosa menyebabkan kematian, maka Allah ingin membebaskan bangsa
Israel dari kematian yang diakibatkan oleh dosa mereka sendiri.
Kedua,
sepuluh firman Allah ini bertujuan agar bagsa Israel mengetahui sifat Allah
yang sebenarnya, yaitu sifat kekudusan Allah. sepuluh firman Allah banyak
menjelaskan kepada bangsa Israel tentang sifat Allah dan mengajarkan kepada
mereka bahwa Allah adalah kudus, murni dan baik dan juga bahwa Allah adalah
kasih. Perintah-perintah tersebut menghendaki agar bangsa Israel baik sama
seperti Dia baik; murni sebagaimana Dia murni dan kudus sebagaimana Dia kudus.
Sepuluh firman tersebut mengajarkan bahwa Allah adalah roh dan mereka harus
menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Selama tiga hari mereka siap
mendengarkan Allah berbicara pada mereka. Orang-orang tidak akan menginjakkan
kaki di gunung itu atau bahkan menyentuh batas gunung itu. Allah memperingatkan
mereka bahwa jika mereka tidak taat dan mencoba untuk mendaki gunung untuk melihat
Dia, mereka akan mati. Bukti kekudusan Allah nampak dalam perintah Allah kepada
Musa, “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa:
pergilah kepada bangsa itu; suruhlah mereka menguduskan diri pada hari dan
besok, dan mereka harus mencuci pakaiannya” (Kel 19:10). Allah menghendaki
agar mereka menghadap Allah dengan keadaan kudus dan suci, sebab Allah sendiri
adalah kudus. Meskipun tuntutan Allah bukan sekedar bersih secara fisik, namun
bersih secara batin. Dapat dikatakan bahwa tindakkan membersihkan diri secara fisik
merupakan simbol pembersihan batin.
Ketiga,
sepuluh firman Allah ini bertujuan agar
bangsa Israel memiliki beberapa pedoaman hidup, pedoman yang akan menuntun
mereka untuk setia kepada Allah. Pedoman ini menyangkut seluruh gerak hidup
mereka, baik dalam hubungan dengan Tuhan maupun sesama. Pedoman hidup ini
adalah peraturan moral mengenai bagaimana mereka harus bertingkah laku terhadap
sesama mereka, maka Allah dengan teliti dan rinci menyebutkan firman-firman ini.
Dengan sepuluh firman ini mereka kemudian mempunyai sistem yang kuat dan wibawa
karena yang memberikannya adalah Allah yang kuat dan wibawa, oleh karena itu
mereka menghormati dan menghargai sebagaimana Allah menghendakinya. Allah
melalui sepuluh firman ini menyadarkan mereka bahwa sebelumnya mereka adalah
bangsa tertindas yang hilang kemerdekaan dan kebebasan. Kesadaran bahwa mereka
pernah menjadi orang asing dan budak di Mesir, menjadi penggerak untuk
menegakkan keadilan dan meghormati hak-hak sesamanya.[80]
Inilah yang akan mereka perbuat melalui pedoaman hidup tersebut, menegakkan
keadilan dan menghormati hak-hak sesama juga merangkum seluruh perbuatan moral,
adil berarti tidak memperlakukan orang lain sebagai obyek penindasan dan
menghargai hak-hak sesama berarti menginginkan relasi yang baik dengan sesama,
tidak mengusik ketenangan dan kenyamanan orang lain, termasuk juga diri
sendiri, sebab perbuatan tersebut mempunyai implikasi ke dalam. Dengan demikian
mereka bisa membuat pola kehidupan mereka menurut teladan Allah.
Keempat,
supaya bangsa Israel bisa menyadari
bahwa Allah dan hukum-hukumnya adalah kekal. Hukum Allah yang mereka terima
tidak akan pernah berkesudahan. Mereka akan selalu dituntun oleh hukum itu.
Tujuan ini juga berkaitan dengan sifat Allah yang kekal. Sepuluh firman ini
ingin memperlihatkan bahwa Allah tidak akan pernah berlalu dari mereka,
firman-firman ini akan terus hidup dan terserap dalam hati dan nurani mereka. Sepuluh
firman Allah mempunyai nilai abadi yang terbungkus dalam perjanjian.[81]
Ketika mereka ingin melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah,
maka hati mereka akan teringat dengan janji Allah terhadap mereka. Inilah
kekalan hukum itu, bahwa sepuluh firman tersebut selalu hidup dalam diri bangsa
Israel.
Kelima,
supaya bangsa Israel mengetahui bahwa Allah
mengasihi mereka. Inilah puncak dari semua tujuan firman Allah tersebut. Keempat
tujuan di atas tidak dapat dilepaskan dengan kasih Allah yang besar kepada
bangsa Israel. Membebaskan, memberi pedoaman hidup, menunjukkan sifat kekudusan
dan menyatakan hukum yang kekal selalu berhubungan dengan kasih Allah. Karena
kasih yang besar dari Allah maka hal-hal tersebut diperlihatkan Allah kepada
mereka. Dengan demikian dalam perjalanan waktu bagsa Israel dapat melihat kasih
Allah yang begitu besar kepada mereka, meskipun dalam sejarah bangsa mereka,
tidak jarang mereka mengecewakan Allah dengan perbuatan-perbuatan yang
melanggar hukum Allah. Melalui irama perjalanan sejarah jatuh bangun
tersebutlah bangsa Israel sungguh-sungguh mengerti kasih Allah yang besar kepada
mereka, karena Allah selalu memberikan pengampunan dan kesempatan kepada
mereka.
e. Tokoh dalam Sepuluh
Firman
Tokoh sentral dalam sepuluh firman
adalah Allah sendiri. Allah-lah yang mempunyai inisiatif untuk menyelamatkan
bangsa Israel dari perbudakan dan memberikan mereka kebebasan sejati, “Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engakau
keluar dari Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel 20:2). Kalimat pembukaan
ini mempunyai maksud yang mendalam. Allah menyatakan diri-Nya sebagai tokoh
pembebas sekaligus dalam rangka sepuluh firman. Bangsa Israel juga meyakini
Allah sebagai pelopor utama sepuluh firman tersebut. Jika pembebasan itu
dikerjakan oleh Allah dan sepuluh firman itu bermaksud meneruskan pembebasan,
maka dengan jelas dimengerti oleh bangsa Israel bahwa pelaku utama speuluh
firman adalah Allah sendiri yang bermaksud membebaskan mereka secara total.
Allah yang membebaskan Israel dari
Mesir itu, memanggil dan mengutus Musa sebagai perantara yang dipercaya-Nya
untuk menyampaikan semua firman-Nya kepada bangsa Israel. Musa mempunyai
peranan yang sangat penting dalam sejarah kesalamatan bangasa Israel. Musa
tidak hanya sebagai perantara yang bertugas namun juga ikut mengalami
perjalanan bangsa tersebut. Artinya bahwa, Musa tidak sekedar menerima dan menyampaikan
firman Allah kepada bangsa Israel, namun sekaligus ia terlibat dengan seluruh
jiwa dan raganya. Dapat dipahami jika Musa mengalami apa yang dialami manusia
biasa. Dalam menunaikan tugas panggilan itu ia sungguh lelah bahkan melibatkan
seluruh emosinya. Keterlibatan Musa semacam ini perlu untuk memperlihatkan
bahwa ia merupakan tokoh yang cukup penting dalam sepuluh firman itu. Untuk
dapat mengerti apa peran Musa dalam sepuluh firman ini tidak dapat dilihat
hanya dalam konteks sepuluh firman saja, namun secara keseluruhan mulai dengan
peristiwa perutusannya oleh Allah (Kel 2:1-23;-4:1-17) Sama halnya dengan
bagaimana Allah mulai mempersiapkan dan merencanakan kebebasan bangsa Israel.
Menurut data Kitab Suci Musa
meninggal dunia pada umur 120 tahun. Ada tiga masa yang sama lamanya menyangkut
kehidupan Musa. Masa tersebut masing-masing 40 tahun. Namun tidak dapat
dikatakan bahwa 40 tahun itu menunjukkan jangka waktu yang tepat. Angka 40
termasuk angka favorit dalam Kitab Suci dan 40 tahun adalah masa kehidupan satu keturunan, sebuah
angka yang melambangkan suatu tahap penting. Selama 40 tahun Musa tinggal di
Mesir, selama 40 tahun tersebut Musa dididik dalam kebiasan dan hikmat Mesir.
Selama 40 tahun berikutnya ia tinggal di padang gurun seorang diri. Dan 40
tahun berikutnya, merupakan 40 tahun terakhir dalam hidupnya, Musa mengembara
di padang gurun bersama-sama dengan bangsa Israel yang telah bebas dari
perbudakan Mesir. Musa bukan hanya seorang yang memperjuangkan keadilan, tetapi
juga seorang yang “menemukan” Allah. Bangsa Israel sendiri semula tidak
mempunyai gambaran yang jelas mengenai Allah mereka. Mereka hanya ingat bahwa nenek
moyang mereka menyembah Allah. Namun dengan perantaraan Musa Allah menyatakan
diri-Nya kepada mereka, oleh karena itu pengalaman mereka bersama Allah
dimediasi oleh Musa.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Allah yang menjadi tokoh sentral sepuluh firman tersebut percaya kepada
Musa sebagai perantara yang akan menyampaikan firman-Nya kepada bangsa Israel.
Alasan Allah memakai Musa sebagai perantara semata hak Allah dan tidak ada yang
dapat mengerti hal itu. Allah dengan bebas menggunakan kuasa-Nya sendiri. Allah
justru memilih orang yang secara manusiawi tidak mempunyai kemampuan dan
keahlian dalam memimpin, namun karena kehendak Allah semua dapat dijadikan.
f. Jenis dan Sanksi
Sepuluh Firman
Sebelum melihat sepuluh firman satu
demi satu, akan lebih baik kiranya
melihat karakter kesepuluh firman itu sendiri. Namun tidak bermaksud untuk
menggolongkan pada karakter yang sama, karena tetap menggunakan susunan yang
ada dalam Kitab Suci.
Albrecht Alt membedakan dua jenis
hukum di dunia Timur Dekat kuno, yaitu hukum kasuistik (dengan syarat serta
mendefinisikan jenis kasus tertentu) dan apodiktif (tanpa syarat dan bersifat
imperatif). Hukum kasuistik secara sederhana didefinisikan sebagai hukum “ jika
... maka ...“ (Kel. 21:18-19; Im. 25:25). Sedangkan hukum apodiktif lebih
bersifat langsung mendefinisikan apa yang benar dan salah. Contoh bentuk
apodiktif adalah formula “siapa .... pastilah ...” (Kel. 21:12, 15,17),
“terkutuklah” (Ul 27:15-26), ‘janganlah
....“ (Kel 23:1-3, 6-9; Im 18:7-18).[82]
Dengan pandangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa hukum-hukum dalam kitab Keluaran termasuk sepuluh firman
mempunyai dua jenis seperti yang telah diuraikan di atas. Jika dilihat dari
jenis kalimat yang digunakan dalam sepuluh firman, ada dua jenis yaitu jenis
perintah dan jenis larangan. Namun jika dilihat dari maknanya maka
kalimat-kalimat tersebut sebenarnya berupa nada perintah, karena larangan (“jangan”)
juga adalah perintah, yaitu perintah untuk tidak melakukan.
1) “Lalu Allah mengucapkan
segala firman ini: Akulah TUHAN Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah
Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel 20:1-2). Sebelum menyampaikan ke sepuluh
Firman, Allah memperkenalkan diri terlebih dahulu dengan nama Yahwe dan
menyebut diri sebagai Allah mereka, artinya Allah yang mengikat diri kepada
Israel umat-Nya melalui sebuah perjanjian. Mereka diingatkan akan tindakan
penyelamatan yang telah dilakukan-Nya bagi mereka. “Akulah TUHAN, Allahmu” merupakan ungkapan yang sering dipakai pada
akhir peraturan-peraturan dalam hukum kesucian.[83]
“Yang membawa engkau”, kata “engkau”
merupakan kata ganti dalam bentuk tunggal. Dengan demikian, Allah berfirman
kepada seluruh umat Israel secara kolektif sebagai bangsa sekaligus kepada
setiap individu. “Jangan ada padamu allah
lain di hadapanku” (Kel 20: 3). “Di hadapan-Ku”. Secara harafiah dapat
dipahami “di depan muka-Ku”, dapat juga diterjemahkan “di samping-Ku” atau yang
memberikan perlawanan dengan menyembah allah lain. ungkapan ini menunjukkan
sifat Allah yang tidak terbatas ruang dan waktu, di mana saja mereka mengadakan
allah-allah lain maka Allah selalu melihat dan mengetahui. “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di
langit, di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di
bawah bumi” (Kel 20:4). Patung, “pasel”
(Ibrani), kata ini diterjemahkan sebagai “patung pahatan”[84]
namun pasti juga ditujukan untuk semua jenis patung tidak terkecuali jenis,
bentuk dan bahan asalnya. “Yang
menyerupai apapun”. Berarti semua jenis patung dengan segala macam bentuk
dan modelnya, baik menyerupai benda hidup, manusia, binatang, tumbuhan maupun
benda-benda mati lainnya. “Jangan sujud
menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN Allahmu, adalah
Allah yang cemburu, yang membalas kesalahan kepada anak-anaknya, kepada
keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku” (Kel
20:5). “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya” adalah
ungkapan larangan untuk melakukan penyembahan, upacara kultis. “Beribadah”
adalah semua bentuk pengamalan terhadap allah-allah lain yang disebutkan pada
ayat 4. “Kepadanya”, akhiran kata-kata ini (yang terdapat dua kali dalam ayat
ini) adalah dalam bentuk jamak dan menunjuk kepada “allah lain” dalam ayat 3
yang juga dalam bentuk jamak.[85]
“Cemburu”, kata cemburu tidak dipakai dalam makna negatif. Kata “cemburu” ingin
menunjukkan bahwa Allah mempunyai perasaan yang sangat dalam, atau mempunyai
semangat yang tinggi. Di satu pihak Allah penyayang dan pengasih dan di pihak
lain Dia tidak membiarkan atau membebaskan orang yang bersalah dari hukuman. “Yang membalaskan kesalahan bapa ……… “, kalimat
ini mewakili kebiasaan bangsa Israel pada waktu itu maupun sekarang. Orang
Israel dalam satu rumah tangga biasanya sering terdiri dari tiga atau empat
generasi yang tinggal bersama-sama. Kalimat ini memperlihatkan bahwa kesalahan
satu orang merupakan kesalan yang bersifat sosial yang mempunyai dampak bagi
generasi-genari berikutnya. “tetapi Aku
menunjukkan kasih setia kepada
beribu-ribu orang, yaitu merka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada
perintah-perintah-Ku” (Kel 20:6). Ini merupakan bentuk sebab akibat.
Ganjaran bagi orang yang berpegang pada perintah-Nya ialah kasih setia dan
ganjaran bagi yang tidak berpegang pada perintah-Nya adalah hukuman, yang
terdapat pada ayat 5. Kalimat ini juga menunjukkan bahwa kasih setia Allah itu
sungguh besar, oleh sebab itu tidak ada alasan untuk tidak berpegang pada
firman-Nya, atau dengan kata lain, tidak ada alasan bagi Allah untuk menghukum,
jika mengikuti firman-Nya. Dari ayat 1-6 sesungguhnya berisi satu perintah atau
larangan yaitu “jangan menyembah
berhala”, yang diawali pernyataan diri Allah sebagai Allah yang satu yang
membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, ayat 1-2. Inti tema yang disampaikan
pada perintah ini ada dalam ayat 3 yaitu mengenai larangan menduakan Allah. Perintah
pada ayat sebelumnya dikembangkan pada ayat 4-6, yang merupakan penjelasan
sebab akibat dari perbuatan menduakan Allah. Allah tidak akan mengizinkan
diberikan kepada siapapun juga apa yang menjadi hak-Nya yang pantas berkenaan
dengan penghormatan dan ketaatan.[86]
Allah mengantisipasi kebiasaan bangsa Israel yang penuh dengan pemujaan. Menurut
kepercayaan para polities, ada beberapa allah yang kehendaknya bertentangan,
dan mereka harus berusaha melayaninya dengan cara yang menyenangkan bagi mereka
semua. Mungkin saja ada allah yang dianggap berkuasa di antara allah-allah itu
yang tidak mendapat perhatian dan membinasakan mereka. Maksud membalaskan
kesalahan bapa pada anak-anaknya mengandung keterkecualian, yaitu apabila dosa
itu dilakukan terus menerus serta membawa akibat-akibat sosial jasmani
tertentu. Mereka yang dibalaskan demikian adalah mereka yang dengan kesadaran
“membeci” Allah. Namun pada ayat-ayat berikutnya, Allah justru membalikan fakta
kekejaman-Nya dengan menunjukkan perasaan kasih sayang kepada beribu-ribu
orang. Artinya kebaikan Allah mengatasi kemurkaan-Nya terhadap orang yang
bersalah. Secara eksplisit memang tidak ada dijelaskan mengenai jenis sanksi
yang diberikan apa bila perintah pertama ini dilanggar, namun sudah jelas bahwa
Allah tidak membebaskan begitu saja terhadap pelanggaran tersebut. Pada ayat 5
diberikan gambaran secara umum bahwa pabila pelanggaran terjadi maka hukuman
pasti akan diberikan bahkan hukuman tersebut bersifat sosial (keturunan ketiga
dan keempat). Rencana Allah untuk mebinasakan bangsa Israel dilaporkan dalam
bab-bab selanjutnya, yaitu di mana bangsa Israel membuat anak lembu tuangan.
(Kel 32:10). Namun lagi-lagi karena belaskasihan-Nya yang besar maka bangsa itu
dimaafkan, yang ditunjukkan dengan penyesalan Allah. Namun sanksi itu
direalisasikan oleh Musa atas firman Allah sendiri, di mana kira-kira tewas
tiga ribu orang dari bangsa itu, (Kel 32:28-29). Dilanjutkan dengan keterangan
bab-bab berikutnya yaitu tentang hukuman mati untuk menyembah berhala (bdk Ul
17:2-7), rupanya hukuman tersebut juga didasarkan pada saksi yang melihat. Atas
keterangan dua atau tiga saksi maka pelaku dihukum mati, namun apabila hanya
berdasarkan keterangan satu saksi saja maka pelaku dibebaskan. Penjelasan ini
menjukkan adanya nilai-nilai keadilan, orang tidak dapat dihukum apabila tanpa
bukti yang kuat. Jelaslah bahwa pelanggaran tersebut tidak dibebaskan begitu
saja oleh Allah, dan ini sebagai bukti ketetapan hukum Allah tersebut. Pelanggaran
memang tidak harus nyata dilakukan, perintah ini lebih menyoroti hati manusia.
Sikap membeci tidak harus ditunjukkan, membenci dapat saja disembunyikan dalam
hati, namun sikap tersebutlah yang akan mendapatkan hukuman.
2) “Jangan menyebut nama
TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang
yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan” (Kel 20:7). “Nama
Tuhan dengan sembarangan” artinya menggunakan nama Tuhan dengan kejahatan,
kenakalan, tujuan remeh atau kepentingan diri sendiri. Firman ini melarang orang
Israel menggunakan Tuhan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan sifat atau
maksud-Nya. Secara detail dapat dilihat demikian. Dalam lingkungan budaya
Israel, nama mempunyai arti yang mendalam, nama mewakili hakekat dan sifat khas
pribadi yang mempunyai nama. Nama diberikan melalui situasi khusus (bdk Kej
25:25-26). Mengetahui nama dapat berarti
kuasa atas pribadi, maka nama dirahasiakan (bdk Kej 32:30). Nama Yahwe (Kel
3:14), dari kata kerja Ibrani “hjh” dan dengan demikian dijelaskan dengan isi
penuh Allah yang ada kuasa tidak dapat dikuasai, menyertai umat-Nya.[87]
Larangan menggunakan nama Allah dapat ditafsirkan dalam berbagai arti menurut
situasi dan kondisi tertentu. Sebagai praktek magis berarti larangan mengenai
menyembah dewa-dewi lain, sumpah palsu, sumpah dengan menggunakan nama Allah,
berkaitan dengan larangan bersaksi palsu. Gagasan pokok dari larangan ini
sebenarnya ialah berkaitan dengan menguduskan nama Allah. Nama Allah harus
dihormati dan digunakan sesuai dengan hakekat dan sifat Allah sendiri (bdk Im
9:12). “Memandang bersalah” berarti
tidak membiarkan tidak terhukum.[88]
Berdasarkan arti ini, jelas bahwa ada hukuman bagi yang tidak mematuhi firman
ini, namun tidak ada data pasti mengenai sanksi tersebut. Penjelasan iksthiar
mengenai firman ini adalah bahwa, nama Tuhan dinyatakan agar orang dapat memuji
Dia dan berseru dalam doa yang benar, sesuai maksud Allah sendiri. Selain dari
pada itu, firman ini juga mengandung makna kekudusan Tuhan yang bertindak
dengan penuh kuasa melepaskan bangsa Israel dari perbudakan. Tindakan berdusta
atau sumpah palsu dengan menggunakan nama Allah dinyatakan bersalah karena
memakai nama Allah untuk tujuan jahat, bahkan demi keuntungannya sendiri.
Sanksi dari perbuatan pelanggaran firman ini tidak dijelaskan. Tidak ada
rincian yang dapat menjadi bukti apa saja bentuk hukuman firman ini. Namun yang
jelas, sesuai dengan pengertian kalimat “memandang bersalah”, bahwa Allah tidak
membiarkan begitu saja orang yang menggunakan nama-Nya dengan sembarangan.
Dapat saja dimengerti kemudian bahwa terhadap pelanggaran firman ini pasti akan
mendapat hukuman.
3) “Ingatlah dan
kuduskanlah hari sabat” (Kel 20:8). “Ingatlah”
dalam bahasa Ibrani “Zakor”. Kata
“ingatlah” bukan merupakan perintah baru, perintah ini berasal dari Kej 2:1-3.
Dalam firman ini kata tersebut diulang kembali. Dapat saja kemudian diartikan
bahwa perintah tersebut telah dilupakan oleh bangsa Israel sewaktu mereka di
Mesir. Tujuan dari “mengingat” ialah merayakan hari sabat yang hendaknya
diteruskan turun-temurun.”Kuduskanlah”, menganggap hari tersebut sebagai hari
khusus yang dikuduskan atau disucikan. Menguduskan berarti menyisihkan,
menyendirikan dari lingkungan profan dengan menghubungkannya dengan Tuhan. “Hari
sabat” berasal dari kata kerja Ibrani “sabat” yang berarti berhenti,
beristirahat. Namun tidak diketahui dari mana asal usul mengenai hari istirahat
ini. Ada kemungkinan sabat merupakan kebiasaan kuno sebelum zaman Musa. “Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan
melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari sabat TUHAN,
Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anak-anakmu
laki-laki, atau anak-anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu
perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang
di tempat kediamanmu” (Kel 20:9-10). Hari sabat juga megandung makna
pembebasan, yaitu pembebasan bangsa Israel. Pembebasan bekerja yang dibagi
menurut golongan, anak-anak laki-laki maupun perempuan, budak laki-laki maupun
perempuan, orang asing yang ada di tempat kediaman bahkan hewan ternak. “Sebab
enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan
Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari sabat dan
menguduskannya” (Kel 20:11). Kalimat ini menjelaskan kembali mengenai
peristiwa penciptaan, kemudian dijelaskan sebab hari tersebut harus
beristirahat yang dikaitkan dengan hari beristirahatnya Tuhan dari karya
penciptaan. Gagasan teologis mengenai hari sabat ini ialah pengudusan hari
Tuhan. Pada hari tersebut bangsa Israel dituntut untuk menyediakan waktu bagi
Tuhan dengan doa dan pujian. Sanksi mengenai pelanggaran firman ini terdapat
dalam bab-bab selanjutnya. Siapapun yang tidak menghormati hari sabat maka
pasti akan dihukum mati (Kel 31: 14). Makna firman ini sebenarnya mengingatkan
bangsa Israel akan perjalanan sejarah mereka. Dahulu bangsa Israel juga
mengalami perbudakan di tanah Mesir, mereka sudah mengalami menderitanya hidup
diperbudak, oleh karena itu firman ini membebaskan bukan hanya tuan rumah
melainkan juga semua anak-anak, budak dan hamba, orang asing bahkan hewan
ternak yang ada. Selain dari pada itu dijelaskan pula bahwa Tuhan juga
beristirahat, maka beristirahat pada hari sabat berarti mengikuti teladan Tuhan
sendiri.
4) “Hormatilah ayahmu dan
ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu”
(Kel 20:12). Kalimat pada firman ini mengacu
pada sasaran tertentu. “Hormatilah ayah dan ibumu” berarti untuk anak atau pemuda.
Firman ini mengajarkan sikap hormat terhadap orang tua. Dilanjutkan dengan
kalimat motivasi “supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan”, kalimat
ini merupakan alasan mengapa harus menghormati orang tua. Besar kemungkinan
orang tua yang dimaksudkan bukan hanya ayah atau ibu kandung, melainkan semua
orang tua yang pada dasarnya haruslah dihormati. Orang tua termasuk nenek,
kakek atau bebuyutan, termasuk juga mereka yang berasal dari kaum lemah.
Menghormati berarti sekaligus melindungi mereka secara sosial. Ada kemungkinan
orang-orang tua kurang dianggap karena tidak lagi aktif atau berperan dalam
kehidupan sosial orang Israel, maka firman ini bermaksud menjaga hak-hak orang
yang lanjut usia dan tidak berdaya lagi. Dengan demikian hubungan dalam
keluarga serta hubungan antar generasi dijaga dan tetap baik. Jika firman ini
ditaati, bukan hanya keluarga tetapi masyarakat juga akan menjadi lebih aman dan
stabil. Sanksi terhadap pelanggaran ini tidak dijelaskan dalam ayat tersebut,
tetapi apabia firman ini mengandung makna perlindungan terhadap kaum lemah dan
orang yang tak berdaya maka implikasinya dapat dilihat sebagai tindakan yang
tidak menghargai hak orang lain terutama kaum lemah dan para lanjut usia. Hal
ini dinyatakan dalam bab selanjutnya, “Siapa
yang memukul ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati”; siapa yang
mengutuki ayahnya atau ibunya, ia pasti dihukum mati” (Kel 21:15, 17). Inilah
hukuman bagi tindakan melawan firman ini. “memukul” menunjuk pada orang yang
memukul orang tuanya, bukan membunuh, sedangkan “mengutuki” mengandung makna
bahwa kata tersebut mempunyai kuasa dan dapat menyebabkan kerugian, orang tua
tidak bisa diperlakukan remeh atau tidak penting. Inti dari firman ini yaitu,
Allah bermaksud agar kehidupan berkomunitas bagsa Israel berlangsung dengan
baik, karena dengan sikap hormat terhadap orang lain, hubungan antar sesama
individu dalam komunitas sosial tetap terjaga, dan lebih dari pada itu ialah
terutama sikap hormat terhadap apa yang difirmankan Tuhan. Firman ini merupakan
firman pertama yang langsung berkaitan dengan sesama manusia. Jika dilihat dari
firman pertama, yaitu perintah agar menghormati dan mengakui Allah sebagai
Allah yang satu dan berkuasa, maka firman keempat atau pertama mengenai
hubungan sesama manusia yang dibuka dengan perintah hormat kepada orang tua,
terlihat kesinambungan bahwa selalu dimulai dari yang tertinggi. Terkait dengan
hukum ini adalah tugas orang tua untuk mengasihi anak-anak mereka dan membina
mereka untuk takut akan Allah serta mengajarkan jalan-jalan-Nya kepada mereka.
5) “Jangan membunuh” (Kel 20:13). Ada beberapa kata untuk “membunuh”
dalam bahasa Ibrani. Kata ini mempunyai kekecualian, yaitu tidak digunakan
untuk membunuh musuh dalam perang. Kata “membunuh” dalam firman ini menunjuk
kepada semua bentuk pembunuhan yang mengganggu atau merugikan orang lain baik
individu maupun dalam kelompok yang lebih besar. Dapat juga dimengerti sebagai
tindakan kecelakaan yang disebabkan karena kelalaian dan kurang berhati-hati.
Dalam firman ini sama sekali tidak dijelaskan mengenai akibat jika dilanggar,
namun dapat dibandingkan dengan bab dan ayat berikutnya yang begitu merinci
perbuatan membunuh sedemikian rupa. Perbuatan membunuh dan akibatnya
diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu membunuh dengan sengaja dan membunuh
dengan tidak segaja. Membunuh dengan sengaja dijelaskan sebagai berikut “Siapa yang memukul seseorang, sehingga
mati, pasti ia dihukum mati” (Kel 21:12), “Siapa yang menumpahkan darah
manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu
menurut gambar-Nya sendiri” (Kej 9:6). Tindakan dalam ayat tersebut adalah
tindakan pembunuhan dengan disengaja, maka hukumannya adalah mati yang
sebenarnya sudah dijelaskan dalam kisah kejadian mengenai perjanjian Allah
dengan Nuh. Dalam kitab Kejadian dijelaskan mengenai sebab membunuh itu
dilarang, yaitu dikaitkan dengan hakekat manusia sebagai citra Allah. Sedangkan
membunuh dengan tidak sengaja dijelaskan ayat berikutnya dalam kitab Keluaran, “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja,
melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku menunjukkan
sesuatu tempat, kemana ia dapat lari” (Kel 21:13). Kalimat dalam ayat ini
secara harafiah dapat diartikan bahwa “Allah membiarkan dia (korban) jatuh
dalam tangannya“, yaitu pembunuhan itu terjadi sebagai akibat kecelakaan bukan
sebagai hasil kesalahan pembunuh. “Tempat ke mana ia dapat lari” (bdk Ul
4:41-43; 19: 1-10 Bil 35:9-34), mengenai kota perlindungan bagi orang-orang
yang membunuh dengan tidak sengaja. Namun besar kemungkinan bahwa mereka
berlindung di mezbah setempat, menunggu hingga keputusan dibuat. Penjelasan
selanjutnya lebih terperinci mengenai hak budak yang dipukuli hingga mati dan
apabila masih hidup (bdk Kel 21:20). Dengan demikian jelas bahwa tindakan
membunuh tidak diseragamkan menjadi satu jenis saja, hal ini menunjukkan ada
pertimbangan akan rasa keadilan. Dapat juga dimengerti bahwa perbuatan
kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja mendapat perlindungan Tuhan,
sedangkan yang dilakukan dengan sengaja atau dengan kesadaran menolak untuk
taat pada firman Allah, maka hukumannya adalah mati. Firman ini juga
berdasarkan keyakinan bahwa nyawa seorang dimiliki oleh Allah sehingga harus
dijaga dan dihormati. Tidak ada yang berhak mencabut nyawa orang lain selain
dari Allah sendiri yang telah menganugerahkan hidup kepada manusia.
6) “Jangan berzinah” (Kel 21:14). Kemurnian status perkawinan adalah
dasar lain kehidupan sosial dan haruslah dipertahankan. Dalam budaya Israel
status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki karena itu ia dituntut setia
kepada suaminya. Berzinah dalam budaya Israel dapat diklasifikasikan sebagai
berikut. Jika seorang laki-laki berhubungan seks dengan istri orang lain, maka
ia telah melanggar hak suami perempuan itu. Namun apabila seorang perempuan
berhubungan seks dengan suami orang lain maka ia melanggar hak suaminya
sendiri. Jelaslah bahwa kemudian kedudukan laki-laki ternyata lebih tinggi dari
perempuan. Laki-laki dapat dikatakan berzinah apabila melanggar perkawinan
laki-laki yang lain, sedangkan perempuan berzinah melanggar perkawinannya
sendiri. Firman ini bukan mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
belum kawin atau bertungan.[89]
Hukuman terhadap perbuatan zinah tergantung dari jenis perzinahan yang
dilakukan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Imamat, (bdk Im 20:10; Ul 22:22). Jenis-jenis zinah dapat dibedakan sebagai
berikut. Seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain keduanya dihukum
mati (bdk Im 20:10). Seorang yang kedapatan tidur dengan perempuan yang
bersuami haruslah keduanya dibunuh mati (Ul 22:22). Firman ini juga didasarkan
pada kisah penciptaan. Semua ciptaan Allah yang ada di dunia ini dan dengan
seorang manusia yaitu Adam dirasakan tidak cukup, Adam harus mempunyai teman
yang sepadan dengannya, maka kemudian diciptakan perempuan. Inilah maksud dari
firman ini, bahwa pada hakekatnya Allah
menghendaki manusia bersatu untuk saling melengkapi bukan untuk saling menodai.
Tujuan dari firman ini adalah melindungi status perkawinan serta perempuan yang
dianggap kelas bawah.
7) “Jangan mencuri” (Kel 20:15). Larangan jangan mencuri terdapat dua
macam, yaitu “mencuri” yang dalam Alkitab sering juga obyeknya adalah manusia,
maka diterjemahkan dengan kata “menculik” dan “diculik, dicuri”. Mencuri
berarti merugikan orang lain atas hak miliknya. Firman ini ditujukan untuk
melindungi kemerdekaan orang, sebab orang yang merdeka tidak lagi dianggap
sebagai orang yang remeh, yang dapat dirampas haknya dengan semena-mena. “Jangan
mencuri”, merupakan ungkapan jelas akan keadilan bagi bangsa nomaden dan
penggembala ternak seperti Israel. Firman ini mengandaikan adanya sistem
kepemilikan dikalangan bagsa Israel. Barangkali mereka sudah mempunyai hak
milik yang dapat di sahkan sebagai milik pribadi. Akibat-akibat firman ini
sangat jelas, hak milik berarti sesuatu yang sudah menjadi milik seseorang,
maka apabila dilanggar tentu saja mempunyai akibat tersendiri. Akibat-akibat
pelanggaran firman ini terdapat dalam penjelasan bab-bab berikutnya. “Siapa yang menculik seorang manusia, baik
ia telah menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti dihukum
mati” (Kel 21:16). “Menculik” mencuri manusia yang adalah hak milik orang lain.
“baik ia telah menjualnya”, yaitu kepada orang asing (bdk Ul 24:7). “Baik orang
itu masih terdapat padanya”, yaitu maupun orang yang diculik itu belum dijual
atau masih ada pada si penculik. Hukuman bagi pelaku pelanggaran firman dengan
jenis menculik seperti ini adalah mati. “Apabila
seorang mencuri seekor lembu atau seekor domba dan membantainya atau
menjualnya, maka ia harus membayar gantinya, yakni lima ekor lembu ganti lembu
itu dan empat ekor domba ganti domba itu” (Kel 22:1). Ada perbedaan tingkatan
nilai, yaitu menculik manusia hukumannya mati, namun pada binatang maka diganti
rugi. Kemudian ada penjelasan berikutnya pada ayat 2-4, jika seorang pencuri
ditangkap basah dan dipukuli orang sampai mati, maka yang memukul tidak
berhutang darah, apabila pembunuhan itu setelah matahari terbit, berarti siang
hari dimana sudah ada cahaya matahari, maka pembunuhnya berhutang darah.
Apabila benda atau barang yang dicuri masih ada pada orang yang mencuri dan
masih hidup maka pencuri tersebut membayar kerugian dua kali lipat. Ayat-ayat
berikutnya merupakan peraturan tentang jaminan harta sesamanya. Inti pokok
gagasan firman ini ialah melindungi hak orang lain. Mencuri adalah tindakan
merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut mendapat ganjaran. Namun dapat dibedakan
bahwa mencuri, menculik manusia hukumannya lebih besar dari pada mencuri
binatang atau benda lainnya. Berdasarkan gagasan ini nampak bahwa Allah lebih
mementingkan nyawa manusia dari pada harta benda yang ada di dunia ini.
8) “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel
20:16). Firman
ini melarang saksi dusta khususnya dalam suatu pengadilan perkara dan pada
penistaan watak seseorang. “Sesamamu”, secara harafiah berarti “tetanggamu”
atau “sesamamu Israel”. Firman ini menunjuk semua orang, termasuk orang asing
yang ada kontak atau hubungan sehari-hari dengan mereka. Satu hukum saja akan
berlaku untuk semua orang (bdk Kel 12:49), oleh karena itu firman ini tidak
terbatas pada hubungan sesama orang Israel saja. Hukum-hukum firman ini
diberikan dalam kitab Ulangan 19:16-21. Dalam ayat 16-21 dijelaskan mengenai
bagaimana proses pengadilan suatu perkara berlangsung dan bagaimana hakim-hakim
hendaknya memeriksa kedua orang yang mempunyai perkara. Hal ini telah dibuka
pada ayat 15 yaitu, bahwa proses pengadilan apabila memutuskan suatu perkara
harus berdasarkan keterangan dua atau tiga saksi. Intinya bahwa apabila tidak
ditemukan bukti dan diketahui saksi yang meberikan keterangan telah berdusta,
maka orang yang bersaksi dusta harus diberlakukan seperti maksud dan alasannya
bersaksi dusta (bdk Ul 19:19). Barangkali maksud dari orang yang bersaksi dusta
adalah mencelakan nyawa seorang yang tertuduh, maka maksud itulah yang
dibalaskan padanya, karena seseorang yang tertuduh terbukti bersalah pasti akan
dihukum, bahkan dihukum mati. Dengan demikian saksi dusta dapat mengancam nyawa
seorang yang tertuduh, sebab dengan saksi palsu ia dibinasakan. Firman ini
tentunya menuntut kejujuran dari bangsa Israel, oleh karena itu firman ini
tidak hanya dilihat sebatas peraturan namun lebih menyoroti hati dan pikiran
manusia. Kejujuran susah untuk diketahui karena hal itu ada dalam hati
masing-masing manusia, namun Allah sudah mengantisipasi hal ini, bukan karena
Ia tidak tahu melainkan untuk menjaga hak-hak bangsa Israel yang lemah dan
selalu diberlakukan dengan tidak adil.
9) “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini
isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya,
atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu” (Kel 20:17). “Mengingini”. Kata ini tidak hanya
menunjuk kepada motivasi batin, tetapi juga pada perbutan, yaitu usaha untuk
memperoleh. Mengingini rumah sesamanya berarti berusaha mempunyai motivasi
batin dan berusaha memperolehnya. Dapat juga dimengerti sebagai motivasi atau
berusaha memperoleh apa yang ada di dalam rumah atau sesuatu dari yang dimiliki
rumah tersebut (bdk Kel 34:24). Firman ini sebetulnya mempunyai tujuan yang
hampir mirip dengan firman tentang larangan mencuri. Prisnsip umumnya adalah
perlindungan hak-hak orang lain seperti larangan jangan mencuri. Oleh karena
itu penjelasan mengenai hukum-hukum atau sanksi dari pelanggaran firman ini
juga dapat dilihat sebagai hukum atau sanksi tindak pencurian.
“Mengingini isterinya atau hambanya
laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apapun
yang dipunyai sesamamu”. Kalimat ini merupakan definisi dari “rumah”. Atau dengan
kata lain menjelaskan maksud dari “mengingini rumah”. “Isiteri” bagi orang
Israel adalah kepunyaan atau milik, maka isteri juga termasuk kepunyaan dari
pemilik rumah. Implikasi dari kata-kata “mengingini isterinya” adalah merupakan
dasar dari perbuatan zinah seperti pada firman sebelumnya, maka hukum-hukum
atau sanksi juga didasarkan pada hukum-hukum berzinah, meskipun pada dasarnya
kata mengingini menunjukkan bahwa hal tersebut belum terjadi, tetapi pasti mengarah
pada suatu tindakan. Dengan demikian kata “mengingini isterinya” pada firman
ini mengantisipasi pada perbuatan. “Atau hambanya laki-laki ……. atau apapun yang
dipunyai sesamamu”, merupakan rincian mengenai jenis benda atau barang yang
dimiliki oleh si pemilik rumah. Lebih jelas lagi dengan kata-kata “atau apapun
yang dipunyai sesamamu”, kata-kata tersebut memperjelas kalimat-kalimat
sebelumnya, sekaligus bersifat umum sekali. Lebih jelas karena rincian benda
yang disebutkan sebelumnya hanyalah contoh yang mempunyai makna bahwa semua
barang atau benda termasuk yang telah disebutkan. Menjadi bersifat umum karena
mengandung makna bahwa firman ini tidak terbatas hanya pada orang Israel saja,
sebab semua apa yang dipunyainya, termasuk orang asing yang tinggal atau
menjadi budaknya.
Jika
mengikuti teori mengenai susunan dan pembagian sepuluh firman, yaitu pada teori
yang kedua pada penjelasan di bagian asal-usul sepuluh firman hal 88, maka
firman pada ayat 17 ini terdiri atas dua firman yaitu “jangan mengingini rumah sesamamu” dan “jangan mengingini istri
sesamamu”.
g. Nilai-nilai Sepuluh
Firman
1) Sepuluh Firman Sebagai
Pedoman Hidup
Bagi
bangsa Israel sepuluh firman tersebut merupakan pedoman hidup bagi mereka,
karena dalam sepuluh firman itu terkandung pranata-pranata yang mengatur
kestabilan dan keberlangsungan hidup. Israel kemudian mentaati hukum tersebut juga
demi terciptanya sistem kehidupan yang baik. Melalui sepuluh firman tersebut
bangsa Israel kemudian mampu menghargai hak-hak orang lain (sesamanya). Mereka
sadar bahwa hak-hak sesamanya manusia harus dilindungi. Mereka mengajarkan
sepuluh firman ini kepada anak cucu mereka dengan maksud suapaya mempunyai hikmat
yang sama dengan mereka. Pandangan hidup mereka terarah pada sepuluh firman,
tingkah laku dan perbuatan mereka selalu dilihat dalam kaitannya dengan sepuluh
firman tersebut.
Sebagai
pedoman hidup, sepuluh firman mengajarkan berbagai macam peraturan yang sangat
praktis sehingga mudah untuk dipahami. Segala macam tindakan manusia ada di
dalamnya. Tidak heran bahwa Israel sungguh-sungguh mempunyai sistem yang kuat
yang mereka pegang bersama. Pola dan gaya bahkan budaya hidup mereka
diselaraskan dengan sepuluh firman tersebut, maka kemudian cerminan mereka
sebagai individu dan bangsa adalah hasil dari penyerapan hukum yang mereka
terima. Dengan demikian sepuluh firman ini jelaslah bukan hanya wahyu yang yang
abstrak. Sepuluh firman ini menyentuh segala persolan manusiawi. Penerapannya
dengan jelas dirincikan secara praktis, bahkan lengkap dengan hukum-hukumnya
apabila dilanggar. Jika mereka berbicara sepuluh firman mereka tidak dibatasi
dengan pengetahuan yang samar, hal ini didasari bahwa firman itu adalah fakta
yang dapat mereka lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Firman-firman
tersebut terbukti dan dari bukti-bukti yang ada mereka belajar untuk menerapkan
dan menghayati.
2) Sepuluh Firman,
Relegius dan Moral
Sesuai
dengan namanya, yaitu sepuluh firman, berarti wahyu dari Allah. Sepuluh firman tidak
semata-mata merupakan peraturan manusiawi, Israel yakin bahwa Allah-lah yang
mempunyai prakarsa tersebut. Allah sendiri yang merencanakan hukum-hukum terbut
dalam hidup mereka. Oleh karena itu segala hukum itu merupakan sabda Allah dan
mempunyai kewibawaan dari Allah. Pemberian hukum tersebut bukan menunjukkan
bahwa Allah berkuasa atas mereka dan yang berhak memerintah mereka bukan juga
memaksa Israel untuk berlaku menurut peraturan yang diberikan kepada mereka
itu. Artinya bahwa, firman-firman tersebut juga mengandaikan kesadaran dan
keterbukaan terhadap apa yang diwahyukan Alah. Tidak bersifat paksa karena
Allah memberikan kebebasan kepada manusia, maka kesadaranlah yang utama. Sadar
bahwa peraturan itu bukan sebatas peraturan melainkan perwujudan dari cinta
kasih Allah, begitu pula pelaksanaannya. Allah menuntut respon yang keluar dari
hati nurani, respon yang menunjukkan bahwa peraturan itu berasal dari niat
untuk mengasihi mereka. Inilah nilai religius itu, bahwa ketaatan mereka
terhadap sepuluh firman merupakan wujud dari ketaatan mereka kepada Allah
sendiri. Tidak ada satupun tokoh-tokoh atau tuan mereka yang memaksakan mereka
untuk melakukan sepuluh firman tersebut, hanya Allahlah yang memotivasi mereka untuk
menuruti firman-firman tersebut. Artinya, apabila ada tokoh yang dipercaya itu
hanyalah kepanjangan tangan Allah sendiri dan ketaatan mereka bukan ketaatan
kepada tokoh-tokoh itu tetapi semata-mata kepada Allah.
Sebagai
firman dari Allah tentunya tidak lepas dari tuntutan mereka sebagai manusia
yang mempunyai moral, oleh karena itu firman-firman itu dapat disebut sebagai
peraturan yang bermakna moral bagi hidup Israel. Apa yang ada dalam
firman-firman tersebut sesungguhnya rumusan-rumusan moral hidup. Mengajarkan
mereka bagaimana cara bertingkah laku dan bertutur kata. Firman itu kaya dengan
nilai-nilai hidup yang harus dijaga. Perbuatan-perbuatan yang dilarang adalah
perbuatan-perbuatan yang melanggar susila sebagai manusia bermoral. Oleh karena
itu mentaati firman-firman ini jga merupakan ceriminan kualitas moral
seseorang. Hukum-hukum dalam firman ini hanyalah akibat dari pelanggaran, namun
lebih dari pada itu, keutamaan morallah yang penting. Bangsa Israel tidak
melakukan pelanggaran sepuluh firman juga merupakan akibat dari konsep moral
yang mereka miliki. Sesungguhnya konsep molar itu sudah ada sebelum firman itu
diberikan, artinya bahwa perbuatan-perbuatan asusila sudah merupakan dimensi
moral yang sudah ada jauh sebelum firman. Firman itu kembali menegaskan dan
mengingatkan serta memperjelas bagaimana prakteknya dan apa akibatnya jika
tidak ditaati. Inilah konsep sepuluh firman sebagai moral hidup. Firman
menegaskan dan memberikan kenyataan bahwa memang perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan diri sendiri dan orang lain mempunyai sebab akibatnya masing-masing.
Dengan demikian, kebiasaan praktek hidup bagsa Israel yang tidak teratur dan
penuh dengan dosa dibimbing dan dituntun oleh firman tersebut.