Senin, 01 Oktober 2012



BAB II
HUKUM ADAT SUKU DAYAK BANYUR
DAN SEPULUH FIRMAN DALAM KEL 20:1-17
A.    Suku Dayak Banyur dan Hukum Adat
1.      Karakteristik Suku Dayak Banyur
a.      Asal-usul Nama Banyur
Asal mula istilah “Banyur” digunakan sebagai nama suku, berawal dari nama sebuah sungai, yaitu sungai “Banyur”. Pada mulanya suku Dayak Banyur adalah gabungan dari suku “Remai Sebaruk”. Nama “Remai Sebaruk” ini diambil dari nama sebuah tempat. Penduduk Remai Sebaruk tumbuh dengan pesat sehingga kampung tersebut tidak memungkinkan lagi untuk dihuni oleh banyak orang. Oleh karena itu beberapa kelompok memutuskan untuk mencari tempat lain yang masih kosong dan belum berpenghuni. Setiap kelompok dipimpin oleh seorang  yang dipercaya yang mengetahui arah yang akan dituju. Dari sekian banyak kelompok yang mengadakan perjalan pindah tempat, salah satunya menuju sebuah tempat yang diketahui bahwa tempat tersebut dialiri sungai yang bernama sungai “Ketungau”. Kelompok yang menghuni tempat tersebut menamakan diri mereka suku “Ketungau”. Oleh karena itu, kemudian suku Dayak Banyur merupakan bagian atau sub suku dari Dayak Ketungau.[9]
Setelah berlangsung lama, terjadi peristiwa yang sama dengan sebelumnya, yaitu terjadinya pertumbuhan penduduk yang lumayan pesat. Situasi tersebut menyebabkan beberapa kelompok mecari tempat yang masih kosong untuk dihuni. Dari perpindahan kali ini, salah satu dari kelompok yang mengadakan perjalanan, menghuni sebuah tempat yang dialiri oleh sungai kecil, sungai kecil tersebut merupakan anak sungai Ketungau, kemudian sungai tersebut diberi nama sungai Banyur. Dari nama sungai tersebut, kemudian oleh penghuninya dijadikan sebagai nama yang menunjukkan identitas dan asal suku, oleh karena itu kelompok ini sering di sebut suku Banyur. Istilah “Banyur” menjadi nama yang definitif untuk menyebut suku ini, meskipun kemudian terjadi perpecahan dan berpindah-pindah, namun nama “Banyur” tidak diganti lagi. Begitu pula dengan suku-suku lainnya, nama sungai yang mengaliri daerah tempat tinggal menjadi tanda pengenal yang paling populer di jaman dahulu, karena mudah diketahui dan diingat oleh orang banyak.

b.      Letak Georgrafis
Masyarakat suku Dayak Banyur terletak di beberapa tempat yang terbagi dalam dua kabupaten, yaitu kabupaten Sekadau dan kabupaten Sintang. Di kabupaten Sekadau, suku Dayak Banyur berdomisili di desa Setalon kecamatan Nanga Belitang.   Luas wilayah desa Setalon  ± 20 km² dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
1)      Utara berbatasan dengan Kecamatan Belitang
2)      Selatan berbatasan dengan Sungai Maboh (Desa Padak)
3)      Timur berbatasan dengan Kecamatan Belitang Hilir
4)      Barat  berbatasan dengan Sungai Maboh (Desa Padak)
      Dalam hal ini penulis membatasi pembahasan pada satu wilayah (kampung), yaitu kampung Setalon Nanga Belitang. Alasan pemilihan kampung Setalon Nanga Belitang sebagai pusat pembahasan berdasarkan beberapa hal berikut ini:
1)      Kampung Setalon Nanga Belitang adalah tempat dimana kearifan-kearifan lokal masih dijaga dengan baik.
2)      Penduduk kampung Setalon Nanga Belitang merupakan suku asli Dayak Banyur yang masih memegang teguh hukum adat.
3)      Kampung Setalon Nanga Belitang merupakan tempat dimana terdapat tetua-tetua yang banyak mengerti dan memahami mengenai hukum adat.


c.       Penduduk
Jumlah penduduk suku Dayak Banyur yang berada di kampung Setalon Nanga Belitang berjumlah 60 kepala keluarga dengan jumlah jiwa ±375 jiwa.[10] Jumalah ini merupakan jumlah yang relatif besar, karena kampung Setalon Nanga Belitang merupakan tempat satu-satunya yang berpenduduk suku Dayak Banyur di Kabupaten Sekadau. Banyak dari penduduk asli yang ada, pergi merantau ke kampung-kampung lain yang tersebar di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau dan hal ini jugalah yang menyebabkan kurangnya angka pertumbuhan. Penduduk suku Dayak Banyur dipimpin oleh seoorang kepala kampung, namun sekarang karena pengaruh dari struktur dan birokrasi pemerintah, istilah kepala kampung diganti dengan kepala dusun. Meskipun demikian pengaruh tersebut tidak semerta-merta merubah sistem budaya dan adat-istiadat yang ada.
Penduduk suku Dayak Banyur, tidak mengenal sistem kasta pada masyarakatnya. Mereka hidup berdasarkan nilai kesamaan sosial  yang tinggi. Tidak ada orang yang dihargai atau dihormati karena mempunyai kasta. Pengharagaan dan penghormatan hanya dibedakan berdasarkan usia jabatan, (jabatan adat) dan orang tua menurut garis keturunan. Penduduk Suku Dayak Banyur juga tidak mengenal istilah marga, atau nama famili. Nama mereka bukan menjadi pengenal golongan atau ras. Mereka lebih senang menggunakan nama-nama yang bersifat umum dan populer.

d.      Bahasa
Masyarakat Dayak Banyur pada umumnya menggunakan bahasa Ketungau. Ketungau merupakan induk dari suku Dayak Banyur. Penggunaan bahasa Ketungau di setiap suku Banyur yang berbeda letak geografisnya mengalami sedikit perbedaan. Perbedaan tersebut dapat diketahui dari gaya bahasa dan dialegnya. Bahasa Ketungau menjadi alat komunikasi sosial antar pribadi, bahasa ini juga yang digunakan dalam pertemuan-pertemuan adat. Bahasa Ketungau cukup mudah dimengerti oleh suku lain. Oleh karena itu komunikasi sosial antar suku di dalam satu kecamatan bahkan kabupaten tidak begitu sulit.

e.       Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama suku Dayak Banyur  adalah berladang.  Sistem yang digunakan dalam berladang masih tergolong sederhana dan tradisional. Suku Dayak Banyur berladang dengan cara membabat hutan lebat. Proses menjadi ladang memakan waktu yang cukup lama. Hutan yang telah ditebang ditunggu hingga kering, lalu kemudian dibakar. Lahan yang telah dibakar didiamkan untuk beberapa hari sampai api benar-benar padam dan tanah menjadi dingin. Setelah itu, barulah kemudian ditanami padi. Kegiatan menanam padi di ladang disebut dengan “nugal”. “Nugal” berarti menancapkan tongkat kayu di permukaan tanah yang biasanya dilakukan oleh lebih dari sepuluh orang. Lubang-lubang dari tancapan tongkat kayu itulah yang kemudian diisi dengan benih padi. Waktu yang digunakan dari mulai membuka lahan sampai panen biasanya satu tahun penuh.
Selain berladang, penduduk suku Dayak Banyur juga bekerja sebagai petani di kebun karet. Hampir setiap penduduk mempunyai lahan kebun karet yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyang. Penghasilan dari menyadap karet terutama untuk memenuhi kebutuhan, seperti garam, micin, gula dan kopi.  Penghasilan dari menyadap karet dapat dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena penduduk bisanya tidak direpotkan lagi untuk membeli beras, beras dihasilkan melalui berladang. Bagi penduduk yang mempunyai kebun karet yang luas dan dimbangi dengan ketekunan, hasil yang didapatkan lebih dari cukup, selain untuk memenuhi kebutuhan pokok juga ditabung untuk membiayai pendidikan anak-anak mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa generasi-generasi suku Dayak Banyur banyak yang sudah mengecap pendidikan tinggi, dari sekolah menengah sampai perguruan tinggi.

2.      Hukum Adat Suku Dayak Banyur
a.      Asal-usul dan Pengertian Hukum Adat Suku Dayak Banyur
1)      Asal-usul Hukum Adat
Asal-usul hukum adat suku Banyur tidak dapat  dilepaskan dari tradisi lisan nenek moyang. Menurut suku Dayak Banyur hukum adat merupakan warisan turun temurun. Sejak dahulu kala nenek moyang sudah menerapkan adat sebagai suatu tata norma yang mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suku Dayak Banyur. Para leluhur sudah hidup dengan sebuah sistem yang mereka bangun bersama berdasarkan kepercayaan akan akibat-akibat alami jika tidak diikuti. Dari ceritera dan sikap hidup nenek moyang, membentuk persepsi yang beragam  mengenai asal mula hukum adat. Ceritera tentunya mengandung nilai-nilai positif yang ingin disampaikan, oleh karena itu ceritera cenderung bersifat tidak tetap. Dari generasi ke generasi ceritera selalu berkembang dan disesuaikan dengan maksud yang ingin disampaikan kepada pendengar atau anak cucu. Ceritera mengenai hukum adat dari nenek moyang merupakan bagian ingatan dari peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau, yang menampilkan akibat-akibat dari ketidaksetiaan terhadap hukum adat.  Oleh karena itu, menurut ceritera, hukum adat adalah suatu produk hukum yang dilahirkan melalui kepercayaan akan hal-hal mistik karena terjadi pengasingan di luar kekuatan manusia terhadap masyarakatnya yang tidak setia. Hukum adat dianggap sebuah transformasi dari kekuatan yang mengatasi manusia dan yang menginginkan agar manusia hidup sesuai dengan tata norma yang baik. Hukum adat adalah sebuah hasil yang dibentuk berdasarkan perasaan menolak terhadap perbuatan-perbuatan melanggar norma, maka hukum adat erat sekali kaitannya dengan kehendak dari kekuatan yang mengatasi manusia. Membuat suatu pelanggaran terhadap nilai-nilai norma yang telah ada berarti menolak untuk dibimbing oleh kekuatan yang menurunkan hukum adat tersebut.
Di lain pihak, hukum adat dapat diketahui dan disaksikan melalui sikap hidup masyarakat suku Dayak Banyur sendiri. Hukum adat sungguh-sungguh dimengerti apabila telah digunakan oleh suku Dayak Banyur dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Sikap hidup para leluhur menunjukkan bahwa hukum adat merupakan sebuah ketentuan yang telah disepakati bersama untuk kepentingan ketentraman dan kenyamanan. Hukum adat secara utuh dipahami sebagai suatu media yang mampu menjamin kemanan dan ketentraman hidup bersama.
Dari sikap-sikap leluluhur suku Dayak Banyur, secara tidak langsung menjelaskan bahwa hukum adat berasal dari kepentingan masyarakatnya yang saling bertemu. Pertemuan antar kepentingan dalam masyarakat suku Dayak Banyur tidak jarang menimbulkan pergesekan atau perselisihan. Perselisihan yang ada bisa berakibat fatal bila tidak ada sebuah sarana untuk mendamaikannya. Perlu suatu media dan fasilitator untuk mempertemukan dua buah kepentingan yang bergesekan tersebut. Tujuannya agar manusia yang saling bersengketa sama-sama memperoleh keadilan. Dari kenyataan ini membuat masyarakat suku Dayak Banyur mulai berpikir secara rasional, terbukti kemudian mereka mengangkat pemangku adat (mentri adat; dalam bahasa Dayak Bayur) yang mempunyai kelebihan tertentu untuk “menjembatani” berbagai persoalan yang ada. Berdasarkan kondisi ini, menteri adat yang telah dipercaya mulai menyusun pola kebijakan atau panduan yang didasarkan pada pengetahuan akan ceritera nenek moyang. Panduan tersebut berisakan sejumlah aturan dan larangan serta bentuk-bentuk perjanjian lain yang telah dispakati bersama. Panduan yang disusun merupakan terjemahan dari warisan nenek moyang yang juga dianggap memiliki unsur-unsur kekuatan tertentu. Proses inilah yang kemudian oleh generasi-generasi mereka dipahami sebagai salah satu asal-usul lahirnya hukum adat. Oleh karena itu hukum adat selalu berkembang dan senantiasa menyesuaikan diri dengan kondisi jaman. 
Dari paparan di atas, asal-usul hukum adat pertama, ditinjau dari segi tradisi lisan nenek moyang. Dilihat dari segi  ini, hukum adat Dayak Banyur merupakan sebuah warisan yang wajib diteruskan karena menyangkut nilai-nilai adat dan pandangan hidup mereka. Pandangan hidup ini berisi hal-hal yang kompleks, menyangkut seluruh proses bagaimana nenek moyang mendapatkan ilham sehingga terjadinya hukum adat. Secara gamblang memang sulit untuk dijelaskan, karena nilai historis dari ceritera tersebut tidak mampu diselidiki dengan analisa dan akal pikiran, namun masyarakat suku Dayak Banyur yakin bahwa ceritera tersebut sungguh-sungguh ada dan benar terjadi. Keyakinan ini mengalahkan keingintahuan bagaimana sesungguhnya proses para leluhur meneriama hukum adat itu dari sesuatu yang dianggap keramat. Bagaimana proses tersebut terjadi tidak menjadi persoalan bagi mereka, namun nilai apa yang ada dalam hukum adat tersebut menjadi sesuatu yang penting untuk dilestarikan dan diteruskan.
Kedua, ditinjau dari segi sikap-sikap nyata yang dapat disaksikan hingga sekarang ini. Asal-usul hukum adat merupakan bagian dari kepentingan masyarakatnya. Hukum adat digagas dan disempurnakan dari aslinya (warisan nenek moyang) sedemikian rupa karena kesadaran akan kehidupan sosial antara masyarakatnya. Kehidupan sosial yang dimaksudkan adalah hubungan antara sesama masyarakatnya yang sudah tentu akan mengalami pergesekan atau perselisihan. Oleh karena itu kemudian hukum adat dijadikan sebuah sistem yang mempunyai kekuatan untuk mengatur seluruh gerak hidup mereka. Asal-usul ini berkaitan dengan keinginan untuk menjalankan hidup dalam suasana yang nyaman dan tenteram dalam komunitas suku Dayak Banyur.
Dari kedua asal-usul di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa hukum adat yang ada, memiliki dua dimensi menjadi satu kesatuan yang erat. Diantara keduanya tidak dapat dipisahkan. Hukum adat sebagai sebuah warisan dan hukum adat sebagai suatu kepentingan masyarakat di zamannya menjadi penting. Masyarakat suku Dayak Banyur tidak akan mengerti sebuah hukum adat jika tidak melalui warisan nenek moyang, begitu juga sebaliknya, hukum adat yang masih alami sebagai warisan, belum mampu menyentuh masyarakatnya dalam tingkatan generasi yang berbeda apabila tidak diselaraskan dan disesuaikan kembali dengan situasi yang ada. Generasi yang baru mendengar cerita dari orang tua mengenai asal-usul hukum adat, sekaligus dikuatkan dengan kenyataan yang ada yang mereka saksiakan sendiri. Dengan kata lain, kedua asal-usul mengenai hukum adat suku Dayak Banyur tersebut sama-sama memegang peranan penting dalam usaha mengerti dan memahami terjadinya hukum adat.

2)      Pengertian Hukum Adat
Hukum adat merupakan hukum tradisonal yang berasal dari kebiasaan suatu suku tertentu. Kebiasaan yang dimaksudkan adalah kebiasaan yang memiliki nilai hukum, kemudian dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya. Suatu kebiasaan adalah tindakan yang dilakukan berulang-ulang, sehingga tindakan tersebut menjadi tolak ukur bagi pola tingkah laku. Namun, kebiasaan yang mempunyai nilai hukum berbeda dengan kebiasaan dalam arti biasa, karena biasa belum tentu dilakukan berulang-ulang dan belum tentu pula menjadi tolak ukur dalam bertingkah laku.
Kata “hukum” pada adat merupakan kata yang dikembangkan kemudian. Artinya bahwa kata adat-lah yang sesungguhnya memberi makna hukum terhadap arti adat itu sendiri. Kata “hukum” pada adat muncul karena kata adat mempunyai dimensi peraturan yang kemudian merujuk pada sebab akibat yang muncul dari adat tersebut. Dilihat dari artinya “Adat adalah aturan perbuatan yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem”[11]. Dari arti kata adat tersebut jelas kemudian adat mempunyai aspek hukum, oleh karena itu adat yang mempunyai aspek hukum ini sering disebut dengan “hukum adat”. Kata hukum pada adat ingin mempertegas bahwa dalam adat terdapat suatu kebiasaan yang mempunyai nilai hukum.  Menurut Prof. Snuch Hurgronye, seorang ahli sastra timur dari Belanda, hukum adat itu adalah adat atau kebiasaan yang mempunyai akibat hukum[12].
Hukum adat adalah hukum yang diwariskan melalui cara dan kebiasaan. Cara meneruskan hukum adat dari generasi ke generasi tidak melalui tulisan atau dokumen. Dari generasi masa lampau, hukum adat bersifat lisan atau tidak tertulis. Namun demikian hukum adat tetap didukung dan ditaati karena didasarkan bahwa peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Melalui paparan di atas, tentunya erat kaitannya dengan bagaimana memahami arti hukum adat suku Dayak Banyur. Hukum adat suku Dayak banyur sebagai hukum adat yang mendasarkan diri pada nilai-nilai norma secara universal, dapat dikatakan mempunyai definisi dan makna yang sama dalam garis umum. Namun sedikit dapat dilihat secara khusus bahwa, hukum adat suku Dayak Banyur memiliki arti yang mendalam. Bukan sekedar butir-butir aturan dan larangan melainkan sebagai satu keseluruhan dari cara, gaya, pandangan hidup yang langsung berhubungan dengan semua aspek baik lahiriah maupun batiniah. Aspek lahiriah dapat dimengerti sebagai hukum adat yang mempunyai kekuatan dalam mengatur tata cara sekaligus merupakan sebuah sistem yang hidup, diakui dan ditaati berdasarkan nilai-nilai kesejahteraan dan ketentraman antar pribadi. Secara batiniah berarti, hukum adat dipandang sebagai pemenuhan nilai yang mendalam. Bukan sekedar hubungan antar pribadi melainkan panggilan dari hati nurani dan tuntutan jiwa raga yang berkaitan langsung dengan unsur misteri hidup termasuk juga merupakan bagian relasi dengan lingkungan dan alam semesta.

b.      Peranan Hukum Adat
Dari berbagai kesempatan dimana hukum adat diterapkan, jelas bahwa hukum adat menurut suku Dayak Banyur memiliki peranan yang amat penting bagi kehidupan mereka. Setiap persoalan selalu diselaikan melalui hukum adat. Hukum adat dipandang sebagai jalan utama dan terakhir untuk mendapat titik temu dari berbagai macam persoalan. Oleh karena itu, hukum adat menjadi suatu hukum yang sangat dihormati dan ditaati. Hukum adat tidak hanya menyentuh persoalan-persoalan antar pribadi, melainkan juga menyentuh persoalan pribadi dengan seluruh lingkungannya.
Suku Dayak Banyur meyakini bahwa hukum adat adalah hukum yang mampu memberikan rasa damai, tenang, nyaman dan adil. Rasa nyaman dan tenang erat kaitannya dengan kelegaan jiwa. Hukum adat tidak semata-mata menyelesaikan permasalahan yang bersifat fisik ataupun kesalahan yang dapat diberikan sanksi secara nyata, namun lebih pada penghapusan terhadap suatu kesalahan. Seorang yang bersalah dapat kembali diterima seperti sediakala apabila telah menyelesaikan urusan dengan hukum adat. Peranan hukum adat adalah untuk memebereskan sesuatu atau mengmbalikan (menyilih) sesuatu pada tempatnya.[13] Hukum adat mempunyai kekuatan melepaskan seseorang dari ikatan kesalahannya, bukan sekedar terlepas kerena telah memenuhi sanksi-sanksi yang diberikan, namun pemulihan diri pribadi yang bersalah. Dengan kata lain, hukum adat mengembalikan seseorang yang bersalah kepada situasi semula. Rasa adil, karena sanksi dari hukum adat dipandang setimpal dengan  kesalahan yang dilakukan. Sebagai pemberi keadilan hukum adat menjadi penengah dalam suatu masalah. Sanksi-sanksi yang diberikan sungguh didasarkan pada rasa keadilan. Adil bearti selalu melihat pada konteks dimana dan kapan sesuatu hal terjadi, maka  hukum adat berusaha menyesuaikan diri dengan situasi dan jaman. Hanya menyesuaikan diri, tidak merubahnya seratus persen.[14]
Fungsi hukum adat menurut suku Dayak Banyur cukup kompleks. Tidak hanya dilihat sebagai peraturan, namun memiliki peranan yang mendalam sebagai pemulihan kembali kepada situasi semula. Hukum adat sebagai pemberi rasa adil dalam masalah antar pribadi, juga sebagi pemulih hubungan pribadi dengan seluruh lingkungan sekitarnya.

c.       Sasaran Hukum Adat
Sasaran hukum adat suku Dayak Banyur tentu bagi seluruh masyarakatnya. Diwariskannya hukum adat tidak diperuntukkan bagi perorangan atau sekelompok orang saja. Hukum  adat bagi suku Dayak Banyur bersifat universal dalam komunitas mereka. Oleh karena itu tidak ada satupun masyarakat suku Dayak banyur dapat terhindar dari hukum adat. Hukum adat suku Dayak Banyur tidak memandang status atau kedudukan, siapapun yang berbuat melanggar adat maka akan mendapat hukum adat. Oleh suku Dayak Banyur, hukum adat menjadi pedoman hidup bagi semua masyarakatnya dan wajib ditaati sebagaimana yang berlaku. Suku Dayak Banyur selalu mengarahkan gaya hidup dan prilaku berdasarkan hukum adat yang ada.
Bagi semua suku Dayak Banyur (kategorial) maupun teritorial, hukum adat berlaku sama, hanya saja dibatasi pada  sistem administrasi kepegurusan  yang berlaku. Dalam pepatah “Dimana bumi dipijak, di situ lagit dijunjung”. Suku Dayak Banyur yang berstatus pendatang karena berbeda asal kampung dan berbuat suatu pelanggaran adat di wilayah suku Dayak Banyur di mana ia tinggal, menjadi sasaran hukum adat dalam batas wilayah. Artinya wajib mengikuti dan mematuhi apa yang menjadi keputusan mentri adat setempat. Pemangku adat di mana ia bersal tidak mempunyai hak untuk ikut campur dalam menetukan dan memutuskan hukum adat. Dapat terlibat apabila diminta atau diberi hak atau pula dilimpahkan kepada mentri adat dimana ia berasal. Namun hal itu jarang terjadi, karena hukum adat berkaitan dengan kesucian atau kesakralan lingkungan dan alam semesta dimana terjadi pelanggaran adat. Jadi urusan adat wajib diselesaikan berdasarkan tempat terjadinya pelanggaran adat.    
Selain diperuntukkan bagi masyarakat asli suku Dayak Banyur, hukum adat juga berlaku terhadap siapa saja yang berada dalam wilayah dimana hukum adat itu berlaku. Artinya bahwa, sasaran hukum adat  berlaku bagi orang yang bukan suku Dayak Banyur tetapi tinggal dalam wilayah teritorial atau dalam hal ini secara geografis termasuk berada di kampung Setalon Nanga Belitang. Warga masyarakat yang dimaksudkan adalah para pendatang. Para pendatang dapat dikategorikan  sebagai berikut, pertama, suku lain atau bukan termasuk suku Dayak Banyur dan tidak memiliki hubungan keluarga dengan salah satu masyarakat suku Dayak Banyur tetapi menetap atau tinggal sementara di wilayah teritorial suku Dayak Banyur. Kedua, suku lain atau bukan suku Dayak Banyur tetapi tinggal menetap atau sementara dan memiliki hubungan keluarga dengan salah satu masyarakat suku Dayak Banyur, misalnya melalui hubungan pernikahan. Baik tinggal menetap ataupun sementara keduanya mempunyai tanggung jawab yang sama yaitu wajib mentaati hukum adat yang berlaku. Dikatakan tinggal menetap apabila pendatang tersebut secara administrasi tercatat sebagai warga masyarakat dalam batas wilayah dimana hukum adat suku Dayak Banyur berlaku. Sebaliknya, dikatakan tinggal sementara apabila pendatang tersebut tidak bermaksud menetap atau hanya berkunjung, serta belum tercatat secara adminstrasi sebagai warga masyarkat dalam wilayah dimana hukum adat itu berlaku, meskipun memiliki hubungan keluarga.  Apabila terhadap para pendatang dengan kedua kategori ini melakukan suatu kesalahan yang melanggar adat, maka diberlakukan sama dengan penduduk asli suku Dayak Banyur.   

d.      Maksud dan Tujuan Hukum Adat
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Nazarius Japri sebagai tokoh adat suku Dayak Banyur di Setalon Nanga Belitang, pada dasarnya tujuan dari hukum adat suku Dayak Banyur  ada empat, sebagai berikut[15]:
1)      Menjaga, melestarikan dan memelihara kearifan warisan  sebagai tanda penghormatan  terhadap Petara. Apabila manusia dengan penuh kesadaran menjaga dan melestarikan hukum adat sebagai rasa penghormatan kepada Petara serta melaksanakannya dengan baik dan penuh tanggung jawab, maka hidup manusia akan dipenuhi rasa suka cita baik lahir maupun batin. Namun sebaliknya, apabila manusia dengan sadar pula tidak berkeinginan menjaga dan melaksanakan hukum adat, sekaligus tidak menganggap hukum adat sebagai hukum yang diilhamkan dari Petara, maka hidup manusia akan sengsara. Pepatah suku Dayak  Banyur mengatakan bahwa hukum adat adalah “Basa lamá adat keliá”  artinya, hukum adat adalah cara yang lama. Cara lama bearti tata cara yang memang sejak dahulu kala telah ada, yang diberikan oleh Petara kepada manusia. Adat keliá adalah adat atau aturan yang dari Petara diberikan kepada nenek moyang dan kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya, maka generasi baru menyebutnya dengan kata keliá (dahulu/lampau). Melestarikan dan menjaga hukum adat, sekaligus sebagai tanda penghormatan terhadap Petara bearti hidup seturut dengan nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Hal ini juga menyangkut hidup spritualitas manusia. Tanda bahwa manusia mempunyai kearifan spritualitas dan kematangan rohani adalah dengan sikap hormat dan taat kepada ketentuan warisan nenek  moyang.
2)      Menjaga keseimbangan dan kesucian alam dari perbuatan tercela. Menurut suku Dayak Banyur, alam dan segala isinya adalah sakral. Pada mula alam  ini diciptakan oleh Petara, tidak ada satu pun yang cacat dan tercela, maka kesucian itu harus dijaga dan pelihara. Hukum adat bertujuan untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Oleh karena itu hukum adat melarang perbuatan-perbuatan tercela yang dapat mengakibatkan kerusakan alam. Keseimbangan alam dapat rusak apabila manusia tidak hidup dalam tatanan hukum adat yang berlaku.  Apabila terjadi perbuatan tercela oleh masyarakat suku Dayak Banyur, misalnya melakukan tindakan perzinahan atau tindakan terlarang lainnya, yang dianggap melawan kesucian, maka tidakan tersebut dapat dikatan tindakan yang terkutuk. Alam semesta sebagai ciptaan Petara, kesuciannya akan tercemar. Pelaku pelanggaran tersebut harus melakukan ritual adat yang dipimpin oleh pengurus adat dan diikuti oleh semua masyarakat yang sudah dewasa, dengan mengorbankan binatang seperti babi. Daging babi harus dibagikan kesemua penduduk kampung kemudian ada sesajian yang diberikan kepada Petara. Dengan melakukan ritual demikian  dimaksudkan, pelaku sungguh-sungguh menyesali perbuatannya, Petara dan alam ciptaan menghapuskan kesalahan dan dosanya, maka hubungan dengan alam dan sesama pun dipulihkan kembali.
3)      Memelihara nilai-nilai norma moral dalam berprilaku (sopan satun dan tata kerama). Hukum adat dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai luhur dalam kaitannya dengan moral. Seluruh tindak tanduk, gaya hidup dan tata kerama suku Dayak Banyur mengacu pada hukum adat. Hukum adat menjadi ukuran pertama dan utama bagi pola tingkah laku masyarakatnya. Hukum adat adalah upaya mewujudkan pribadi yang santun dan bermartabat. Suku Dayak Banyur selalu mengukur prilaku manusia dengan adat, oleh karena itu, ada istilah yang mengatakan manusia “beradat”. Manusia yang “beradat” bearti manusia yang tahu bagaimana bertingkah laku, mengerti aturan sopan santun, piawai dalam bergaul, menempatkan diri sebagai manusia yang bisa dihargai dan menghargai orang lain. Manusia yang ”beradat” bearti mampu menampilkan citra diri yang berbudi luhur, bersikap penuh kasih sayang dan menjaga nilali-nilai moral yang mendalam. Pribadi manusia “beradat” muncul dari dasar hati yang mendalam, segala bentuk dan cara yang ditampilkan sungguh-sungguh merupakan cetusan dari jiwa raganya sendiri. Sejak kecil masyarakat suku Dayak Banyur dididik dan dibimbing agar mengerti dan memahami serta mampu bersikap sesuai ketentuan-ketentuan adat. Oleh orang tua anak-anak diarahkan untuk selalu menghormati hukm adat supaya kelak ketika dewasa juga bisa menampilkan sikap hidup yang dapat dicontoh oleh generasi-genari berikutnya. Hal-hal demikianlah yang menjadi tujuan dan cita-cita hukum adat.
4)      Menjaga ketertiban, keamanan dan kenyamanan hubungan antar pribadi dalam kampung. Dengan adanya hukum adat, dipandang sebagai sebuah upaya meminimalisir pergesekan-pergesakan antar pribadi. Jika pun terjadi maka hukum adat “menjembatani” pergesekan tersebut. Realitas hidup bersama memang sering menimbulkan konflik antar kepentingan, maka hukum adat disepakati bersama demi penghormatan dan pengharagaan terhadap hak-hak masyarakatnya. Dengan adanya hukum adat, segala macam persoalan diharapkan dapat menemukan jalan keluar. Ketertiban dan kemanan kampung selalu berhubungan dengan sikap puas. Jika diantara masyarakat suku Dayak Banyur tidak merasa puas terhadap situasi dan kondisi yang ada, maka keamanan yang dicitakan sukar untuk tercapai. Untuk itulah hukum adat ada. Hukum adat dalam menciptakan kedamaian tentu mendasarkan diri pada nilai-nilai keadilan. Keputusan hukum adat menjamin keamanan apabila mengutamakan rasa adil terhadap masyarakat suku Dayak Banyur, maka keputusan hukum adat selalu mempertimbangkan dua dasar jiwa hukum adat, yaitu  menanyakan apakah perkara yang sama pernah terjadi sebelumnya, dan kedua, berusaha agar hukum adat yang dijatuhkan berdasarkan rasa keadilan.[16] Apabila suatu perkara atau pergesekan yang diselesaikan pernah terjadi dimasa yang lampau, maka keputusan hukum adat mengacu pada keputusan yang pernah diberikan dan disesuaikan kembali dengan konteksnya. Dengan demikian pelaku pelanggaran hukum adat yang dahulu dan yang sedang diselesaikan, diberlakukan sama. Berpedoman dua dasar tersebut hukum adat  suku Dayak Banyur selalu berupaya mewakili setiap kepentigan dan perasaan masyarakatnya. Apabila pelaku pelanggaran hukum adat sudah diurus secara hukum adat namun tidak mengindahkan apa yang menjadi keputusan menteri adat, maka dengan sendirinya akan dikucilkan oleh masyarakat lainnya, karena sikapnya itu akan mengusik rasa adil bagi orang lain. Kepentingan orang banyak lebih utama, tidak heran jika keputusan adat pun memihak pada rasa keadilan orang banyak. Nasib orang itu buruk sekali, karena sejak itu ia tidak lagi berada dalam perlindungan adat.[17]
e.       Tokoh Dalam Hukum Adat
   Pada dasarnya, tokoh yang utama dan pertama dalam hukum adat suku Dayak banyur adalah  Petara. Petara-lah yang memegang puncak kekuasaan terhadap hukum adat.[18] Suku Dayak Banyur meyakini bahwa Petara  merupakan  tokoh prakarsa yang memeberikan ilham kepada nenek moyang dalam proses pembentukan hukum adat. Oleh karena itu, hukum adat  yang telah ada  bukan hukum yang semata-mata diciptakan oleh manusia. Hal inilah yang membuat hukum adat diangggap begitu luhur dan mulia bagi masyarakat Suku Dayak Banyur. Apabila sesuatu pelanggaran tidak dapat diselesaikan melalui hukum adat karena alasan tertentu, misalnya perbuatan pelanggaran tersebut sulit untuk dibuktikan, atau perbuatan tersebut di luar jangkauan sanksi-sanksi yang dapat diberikan, maka Petara-lah yang mempunyai hak untuk memberikan sanksi lewat tanda-tanda alam semesta bahkan terhadap pelakunya sendiri.
   Selain dari pada itu, atas kehendak Petara juga, hukum adat diteruskan oleh para leluhur.  Demi kelanggengan dan terpeliharanya hukum adat, serta demi keangungannya, maka dipilihlah tokoh-tokoh yang dianggap mampu mengemban amanah dari Sang Petara. Dengan demikian maka, suku Dayak Banyur membuat suatu kesepakatan musyawarah, dimana dalam kesepakatan tersebut mereka memilih para tetua yang mempunyai kelebihan-kelebihan dan kecakapan untuk memegang tampuk hukum adat. 
   Berdasarkan hasil wawancara bersama bapak Nazarius Japri sebagai tokoh adat  suku Dayak Banyur di kampung Setalon Nanga Belitang,  menurut beliau tokoh-tokoh yang memangku hukum  adat tersusun secara struktural.[19] Suku Dayak Banyur mempercayakan kepengurusan hukum adat kepada orang-orang yang dianggap mempunyai kemampuan dan kecakapan mengenai hukum adat. Mereka tentunya orang-orang yang dituakan yang mengerti secara mendalam tentag hukum adat. Mereka dipilih berdsasarkan kesepakatan bersama dalam kampung, oleh karena itu keputusan terhadap terpilihnya pemangku adat ini tidak dapat diganngu gugat oleh siapapun. Suku Dayak Banyur menganggap orang-orang yang telah dipilih bersama adalah orang-orang yang dapat mewakili keinginan atau aspirasi masrakatnya. Asprisasi yang dimaksudkan tentu dalam kaitannya mengenai kelanggengan hukum adat. Oleh karena itu para  pemangku adat terpilih adalah orang-orang yang mampu memberi komando kepada seluruh masyarakat suku Dayak Banyur untuk turut menjaga, memelihara dan meneruskan warisan nenek moyang tersebut.
   Jika diurutkan secara struktural maka tokoh-tokoh hukum adat dapat dilihat sebagai berikut:
1)   Patih. Patih adalah gelar yang diberikan kepada seorang pemangku adat dengan tingkatan paling tinggi.[20] Patih membawahi beberapa temenggung. Jika dilihat secara hirarki pemerintahan, maka patih berkedudukan di kabupaten. Patih juga merangkap sebagai dewan adat. Sekarang ini patih sejajar dengan perangkat kabupaten, hanya saja patih bergerak dalam bidang adat. Patih adalah orang yang sangat menguasai hukum adat, tidak hanya hukum adat satu suku saja melainkan beberapa suku, tergantung banyaknya sub suku Dayak yang masuk dalam wilayahnya. Dalam beberapa ketemenggungan biasanya terdiri dari tiga sampai empat sub suku Dayak. Kepada patih-lah para tumenggung bertanya guna memperoleh pengetahuan menyangkut kearifan-kearifan hukum adat apabila menghadapi suatu perkara di luar kemampuannya.
2)   Tumenggung. Tumenggung berada satu tingkat di bawah patih. Tumenggung membawahi petinggi.[21] Jika dilihat dari sudut pemerintahan, tumenggung  berkedudukan di wilayah kecamatan dan membawahi beberapa desa. Tumenggung juga dianggap menguasai hukum adat dari beberapa sub suku Dayak yang ada di bawahnya.
3)   Petinggi. Petinggi adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang yang dianggap senior dalam hal adat, namun masih dalam  satu wilayah.[22] Petinggi sebenarnya tidak mempunyai daerah administratif sendiri, ia berada dan berkedudukan sama dengan menteri adat. Namun dianggap lebih senior daripada menteri adat. Di sisi lain petinggi adalah sebutan untuk orang yang akan dicalonkan menjadi tumenggung. Dengan kata lain, posisi petinggi masih dipersiapkan untuk dicalonkan menjadi tumenggung.[23] Jika ada suatu perkara dalam wilayah yang terdapat petinggi, maka diurus dan diselesaikan sepenuhnya oleh menteri adat, kecuali dalam situasi tertentu yang membutuhkan bantuan seorang petingggi. 
4)   Menteri. Seorang menteri sering disebut dengan menteri adat. Tidak begitu jelas apa alasan istilah menteri ditambahkan dengan kata adat. Dari hasil wawancara dengan bapak Nazarius Japri, tokoh adat kampung Setalon Nanga Belitang, yang juga merupakan seorang mantan menteri adat, mengatakan bahwa, istilah tersebut muncul begitu saja.[24] Tidak ada asal-usul yang jelas, secara spesifik ditegaskan bahwa istilah tersebut muncul dari kebiasaan sehari-hari, sehingga oleh orang banyak dan generasi baru istilah tersebut digunakan. Menteri adat, mempunyai kuasa hukum adat dalam satu kampung. Setiap perkara yang ada dalam suatu kampung dibawa dan diputuskan oleh menteri adat.
5)   Ketua adat. “Ketua ada” merupakan sebutan atau gelar untuk orang yang diberi kepercayaan mengurusi perkara dalam wilayah yang lebih kecil.[25] Ketua adat setingkat dibawah menteri adat karena ia mempunyai wilayah kuasa relatif lebih kecil. Wilayah kuasa ketua adat meliputi beberapa warga. Pembagian ini merupakan pecahan dari satu kampung. Dalam satu kampung terdiri dari beberapa persekutuan warga yang dibagi berdasarkan wilayah teritorial. Misalnya, dalam satu kampung ada tiga kelompok persekutuan warga, maka ketua adat-nya juga tiga orang. jika dilihat atau dibandingkan dengan administratif pemerintahan, maka persekutuan warga ini mirip dengan rukun warga (RW).  Jumlah warga yang dibawahi biasanya terdiri dari lima puluh sampai seratus kepala leluarga. Apabila ketua adat tidak dapat memutuskan suatu perkara karena keterbatasan pengetahuan atau pengalaman atau karena hal-hal  tertentu yang membutuhkan pengurus yang dipandang lebih mampu, maka perkara tersebut dilimpahkan kepa menteri adat.
   Bagi semua pemangku kekuasaan hukum adat yang dipercayakan secara umum  harus memiliki kecakapan dan kelebihan dibidang hukum adat, meskipun tidak semua kecakapan dan kelebihan tersebut dipenuhi namun paling tidak dipercaya mampu oleh masyarakatnya. Kecakapan-kecakapan yang ada pada diri orang yang memengang puncak kepengurusan hukum adat secara umum dapat dilihat sebagi berikut:
1)   Seorang laki-laki dewasa, yang sepuh (dituakan) dan berwibawa, memiliki kecakapan dalam mengingat peristiwa-peristiwa masa lampau yang berkaitan dengan hukum adat.[26] Kecakapan ini selalu berhubungan dengan kemampuannya menguraikan sejarah-sejarah mengenai hukum adat, baik secara asal-usul maupun jenisnya. Dalam hal ini dituntut kecerdasan untuk melafalkan jenis-jenis hukum adat, karena hukum adat tidak diwariskan secara tertulis.
2)   Seorang yang mempunyai visioner, gagah berani, tegas dan cekatan dalam urusan-urusan adat serta sanggup menghadapi segala tantangan apa saja. Seorang yang mempunyai pendirian dan tidak mudah digoyahkan serta mempunyai wawasan yang luas.[27] Tekun, ulet dan tidak mudah putus asa.
3)   Seorang yang jujur, adil dan bijaksana.[28] Rela berkorban, terutama berkorban waktu dan tenaga bagi kepentingan orang banyak. Bersifat dermawan atau suka berbagi, teladan dalam berprilaku. Mampu mengayomi, melindungi dan perhatian kepada masyarakatnya.

f.       Jenis dan Sanksi Hukum Adat
        Hukum adat suku Dayak Banyur secara rinci terdapat berbagai jenis hukum. Namun hukum-hukum tersebut dibedakan menjadi dua macam sifat, yaitu pertama, hukum adat yang tidak memiliki delik hukum, namun merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan nenek moyang. Jenis hukum adat ini memberi perhatian khusus pada keutamaan-keutamaan religius dan rohani. Secara mendasar hukum adat jenis ini tidak memiliki kekuatan sanksi dari manusia, artinya adalah bahwa prilaku mereka dalam mentaati hukum ini didasarkan pada rasa penghormatan kepada Petara dan keyakinan akan keselamatan. Hukum adat inilah yang dimengerti sebagai hukum kebiasaan. Akibat hukum pada kebiasaan jenis ini  erat kaitannya dengan keselamatan dan kesempurnaan hidup. Keselamatan berarti memperoleh restu dari Petara terhadap apa yang dilakukan oleh manusia. Apabila terjadi perbuatan di luar kebiasaan yang berlaku, maka perbuatan tersebut mempunyai dampak, namun dampak tersebut terjadi secara tak lansung pada hidup seseorang, hal ini dapat diketahui melalui keadaan hidup si pelanggar, menyangkut usaha, pekerjaan, keharmonisan keluarga, tarmasuk juga kesehatannya. Dampak tidak langsung ini dipandang sebagai hukuman dari Petara atas kelalaian suatu perbuatan manusia.
        Kedua ialah, hukum adat yang bersifat delik hukum. Sifat hukum adat ini mengacu pada perbuatan yang dapat dikenakan hukum karena merupakan pelanggaran. Hukum adat yang dilanggar mendapat sanksi sesuai degan jenis pelanggarannya. Hukum adat jenis ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang cukup mendalam. Saksi hukum diberikan dengan melihat berbagai aspek dasar yang memicu pelanggaran tersebut. Lain dari pada itu, hukum adat ini mempertimbangkan pula bagaimana terjadinya dan apa akibatnya dari pelanggaran yang dilakukan. Oleh karena itu masing-masing perbuatan pelanggaran memiliki acuan tersendiri untuk menetapkan saksi yang diberikan.
        Selain dari pada itu, hukum adat yang bersifat delik hukum ini juga memiliki dimensi religius. Hukum adat yang berdimensi religius ini mengacu perbuatan-perbuatan yang melanggar susila. Setiap pelanggaran yang dilakukan memang akan diberikan sanksi berupa benda atau materi, namun tidak semua pelanggaran dapat selesai hanya dengan memenuhi sanksi tersebut. Hukum adat menuntut pemulihan suatu kesalahan. Ada berbagai jenis pelanggaran hukum adat yang diberikan saksi (denda) materi atau benda sekaligus menuntut penyelesaian melalui ritual-ritual kepercayaan. Hal tersebut dilakukan guna memulihkan suatu pelanggaran kembali seperti semula. Pemulihan yang dilakukan melalui ritual-ritual khusus ini ditujukan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan Petara dan sekaligus menjaga kesucian alam semesta. Perbuatan-perbuatan ini menyangkut perbuatan a-moral yang dipandang terkutuk, kotor dan najis. Hal ini juga dapat mengganggu ketenangan penduduk yang lain, karena kepercayaan mereka terhadap akibat-akibat dari pelanggaran tersebut dapat berefek pada diri mereka, misalnya bencana alam (guntur, petir, hujan, banjir, kemarau panjang dan malapetaka lainya), maka segeralah pelanggaran tersebut dibereskan baik melalui hukum maupun upacara-upacara adat.
        Dari paparan di atas, maka dapat dibedakan secara jelas dua hal yang berkaitan dengan sanksi hukum adat yang bersifat delik hukum  yaitu, pertama pelanggaran yang berkaitan langsung dengan Petara, atau pelanggaran yang berkenaan dengan keutamaan-keutaman religius.  Pelanggaran ini tidak dapat diberikan sanksi oleh hukum adat, sanksi datang dari Petara,  namun berdasarkan kepercayaan dan kearifan religius suku Dayak  Banyur sanksi dari Petara dapat dicegah melalui ritual adat. Hanya mencegah tidak memberikan sanksi kepada si pelanggar dan tidak membatalkan sanksi dari Petara. Mencegah tidak bearti memerintah Petara membatalkan niatnya untuk memeberikan sanksi, apabila Petara tetap tidak berkenan maka sanksi dari Petara tidak dapat dibatalkan oleh manusia. Upacara adat sebagai pemulihan, sesungguhnya bukan keinginan dan ketentuan yang ada dalam hukum adat, melainkan suatu kewajiban yang harus dilakuan berdasarkan nilai-nilai religius dan moral. Melakukan ritual berarti memohon kepada Petara agar dengan penuh kasih sayang, memberikan ampunan terhadap perbuatan yang telah dialakukan, maka dalam upacara adat tersebut diberi sesajian dan doa-doa khusus yang berisi permohonan maaf serta penyesalan batin yang mendalam.
        Kedua, pelanggaran hukum adat yang murni dapat diberikan sanksi oleh manusia. Sifat sanksi ini berkenaan dengan hubungan sosial (sesama). Setelah diselesaikan secara ritual adat, si pelanggar tetap harus mengganti rugi kesalahannya dengan denda. Denda yang diberikan juga melihat tingkat kesalahannya. Denda terhadap suatu pelanggaran, oleh hukum adat dituntut untuk membayar dalam bentuk benda keramik dan binatang. Benda keramik seperti tempayan, mangkok, piring dan cangkir,  sedangkan binatang seperti, (ayam dan babi).
        Hukum adat Suku Dayak Banyur pada dasarnya secara eksplisit tidak bersifat kalimat perintah atau larangan. Kata yang digunakan dalam menyebut jenis hukum adat berupa kata yang langsung merujuk pada perbuatan. Namun demikian, di dalam kalimat tersebut mengandung suatu larangan agar tidak dilakukan perbuatan tersebut. Kata atau kalimat hukum adat biasanya berkonotasi negatif karena hukum-hukum tersebut menyebutkan tindakan-tindakan  yang tidak boleh dilakukan. Misalnya, adat bezinah, adat encuri, jenis hukum adat ini berarti mengandung makna larangan untuk melakukan perbuatan zinah atau mencuri, maka untuk menyebutkan jenis hukum adat tertentu, biasanya disertai dengan kata “adat” di depan kalimat hukum adat yang dimaksudkan, kata adat itulah yang secara tidak langsung dipahami mempunyai makna larangan atau dapat juga dipahami sebagai kebiasaan yang dilarang. Namun tidak semua kalimat atau kata jenis hukum adat berkonotasi negif, ada pula yang mengandung makna positif. Pada makna positif inilah terkandung makna perintah agar dilakukan. Misalnya, adat kesupan, adat kesupan, artinya adat kesopanan. Maka sudah jelas mengandung makna perintah, yaitu perintah agar berlaku sopan.
        Selain dari pada itu, hukum adat suku Dayak Banyur tidak memiliki urutan yang baku dan definitif dalam penempatannya, hal ini karena hukum adat tersebut tidak didokumentasikan secara tertulis. Kalaupun sudah ada yang dirumuskan secara tertulis, namun belum mampu dan lengkap mewakili seluruh jenis hukum adat yang ada.  Dari pernyataan tersebut nampak bahwa suku Dayak Banyur belum memikirkan pembedaan hukum adat berdasarkan sifat penting atau kurang penting. Namun yang jelas, setiap jenis hukum adat mendasarkan diri pada kearifan-kearifan sukunya. Kearifan tersebut meyangkut seluruh nilai hidup, baik dimensi religius maupun sosial. Hukum adat suku Dayak Banyur tertanam dalam hati masyarakatnya tanpa ada proses formal, namun berdasarkan pengalaman hidup yang membawa mereka pada suatu pemahaman menyangkut nilai-nilai hukum adat itu sendiri. Oleh karena itu kewibawaan dan kepentingan suatu jenis hukum adat tidak dapat dinilai secara dangkal dan rasional berdasarkan ilmu-ilmu baru.
        Jenis-jenis hukum adat suku Dayak Banyur adalah sebagai berikut:
        Jenis hukum adat yang murni bersifat religius, yang lahir berdasarkan kepercayaan kepada Petara dan tidak bersifat delik hukum.
1)     Bediau keranang.[29]
     Bediau keranang adalah adat yang mengandung perintah agar dilakukan. Bediau artinya; berdiam, tinggal, tidak beraktivitas, sedangkan ranang artinya bulan. Bediau kerang berarti tidak melakukan aktivitas pada tanda-tanda bulan tertentu. Menurut suku Dayak Banyur bediau keranag erat kaitannya dengan waktu yang disediakan untuk Petara. tanda-tanda dari alam seperti bulan adalah isyarat dari Petara supaya manusia tidak melakukan aktivitas apapun di hari tersebut. Bediau keranang sangat kental dengan kehidupan rohani, di hari tersebutlah mereka menghormati Petara dengan tinggal di rumah tanpa melakukan pekerjaan. Menurut suku Dayak Banyur, Petara telah memberikan waktu yang cukup panjang untuk bekerja, maka pada hari-hari tertentu mereka beristrahat. Istrahat dari pekerjaan dipandang sebagai suatu sikap pengungkapkan rasa syukur kepada Petara atas seluruh usaha dan karya yang telah mereka lakukan. Dalam satu bulan terhitung empat kali mereka tidak melakukan aktivitas, dan setiap kalinya diisi dengan jumlah hari yang berbeda. Bediau keranang tidak hanya dimaknai sebagai hari libur dari pekerjaan, namun lebih daripada itu, bediau keranang berarti menghentikan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Saat bediau keranang, dipandang sebagai proses evaluasi diri, memeriksa semua sikap dan tindakan yang telah dilakukan dihari-hari sebelumnya. Memeriksa diri berarti membangun sebuah sikap baru yang lebih baik serta meminta penyertaan Petara untuk hari-hari berikutnya. Bediau keranang dipandang sebagai hari yang sakral, pada hari tersebut semua orang (masyarakat suku Dayak Banyur) mengagungkan karya Petara dalam hidup mereka. Tidak ada sanksi hukum dalam adat ini, mereka melakukannya dengan kesadaran hati yang mendalam, tanpa ada paksaan atau dorongan dari pihak lain. Mereka mengerti dengan baik makna apa yang terkandung dalam bediau keranang, oleh sebab itu melakukan tindakan tersebut adalah suatu cara mereka mengeskperikan iman mereka. Kehidupan beriman dipandang sebagai urusan yang paling pribadi dari seseorang, hal-hal yang menyangkut penghayatan iman pun dilakuakan dengan kesadaran yang penuh atas dasar hati nurani. Mereka yakin, apabila kearifan-kearifan yang diwariskan dari nenek moyang, yang juga dipercaya dari Petara dilakukan, mereka memperoleh berkat. Berkat menyangkut seluruh dimensi hidup. Petara memperhatikan orang yang dengan sungguh-sungguh melaksanakan apa yang menjadi tanda dan upaya dalam menghormatinya. Dengan menjalankan apa yang dianggap kehendak-kehendak Petara, kehidupan mereka pun diliputi suka cita yang melimpah. Bediau keranang dibedakan empat jenis sebagai berikut:
·      Bediau keranang tumuh.[30]
Bediau keranang tumuh adalah hari dimana masyarakat suku Dayak Banyur tidak melakukan aktivitas karena tanda bulan yang pertama. Bediau keranang tumuh artinya, tidak beraktivitas pada saat bulan tumbuh. Tumuh dalam bahasa Dayak Banyur berarti tumbuh. Kata tumuh dapat diartikan dengan kata muncul. Berarti, dalam satu bulan, pada saat bulan pertama kali muncul mereka tidak melakukan aktivitas. Pada saat bediau keranang tumuh, masyarakat suku Dayak Banyur tidak beraktivitas selama satu hari.


·      Bediau keranang segala.[31]
Setelah bediau keranang tumuh, berikutnya adalah bediau keranang segala. Bediau keranang segala artinya adalah tidak beraktivitas pada saat bulan penuh. Segala artinya penuh. Penuh yang dimaksudkan adalah bulan purnama, dimana bentuk bulan terlihat bundar. Pada saat bediau keranang segala masyarakat suku Dayak Banyur tidak beraktivitas selama tujuh hari.
·      Bediau keranag lerak.[32]
Berikutnya bediau keranang lerak. Bediau keranang lerak artinya tidak beraktivitas apabila bulan mulai terlihat separuh. Lerak artinya terpisah, terlihat separuh. Pada saat bediau keranang lerak, masyarakat suku Dayak Banyur tidak beraktivitas selama tujuh hari.
·      Bediau keranang padam.[33]
Hari tidak beraktivitas yang terakhir adalah pada saat bediau keranang padam. Padam artinya mati, hilang, tidak kelihatan lagi. Pada saat tersebut bulan tidak kelihatan lagi dipermukaan langit. Pada saat bediau keranang padam, masyarakat suku Dayak Banyur tidak beraktivitas selama tiga hari.  
Dalam menentukan jumlah hari dimana tidak melakukan aktivitas, memang susah ditelusuri. Tidak ada alasan yang tepat dan mendukung menyangkut jumlah hari tersebut. Lain dari pada itu, secara historis tidak ditemukan apakah setiap bediau keranang mempunyai nilai atau kepentingan yang berbeda sehingga dibedakan jumlah harinya. Namun demikian, hal itu tidak menjadi penghalang untuk melakukan apa yang telah menjadi kepercayaan mereka. Menurut Suku Dayak Banyur, apa yang mereka lakukan merupakan bentuk atau ungkapan kepercayaan mereka kepada Petara. Tidak ada penjelasan yang mampu mewakili sikap dan pandangan hidup mereka terhadap apa yang mereka imani. Peristiwa-peristiwa religius mereka pandang sebagai kehendak Petara, oleh karana itu sebagai manusia yang lemah dan terbatas, mereka percaya tanpa harus mampu memberikan penjelasan yang dapat dimengerti dan dipahami oleh orang lain.
Jenis hukum adat yang bersifat delik hukum dan dapat diberikan sanksi namun sekaligus bersifat religius.
2)     Adat kesupan.[34]
Adat kesupan adalah jenis hukum adat yang berupa perintah utuk dilakukan. Kesupan artinya sopan; santun; bertingkah laku sopan; hormat. Adat kesupan ini dikhususkan pada tidakan sopan, santun, horamat kepada orang yang lebih tua atau yang dituakan. Suku Dayak Banyur sangat menghormati orang yang lebih tua, baik tua menurut usia maupun tua karena ia dipandang dan dituakan, atau orang tua menurut garis keturunan. Secara khusus hukum adat ini mengatur hubungan antara anak dengan orang tuanya. Sikap hormat kepada orang tua, ayah dan ibu, merupakan sikap nyata yang kemudian diwujudkan di tengah masyarakat. Hukum adat ini tidak dapat dilihat sekedar hormat kepada orang tua (ayah dan ibu), namun mempunyai arti yang lebih luas. Diri pribadi orang terbentuk dalam suatu keluarga dimana di dalamnya anak-anak diajarkan untuk menghormati dan menghargai orang tuanya. Keluarga merupakan dasar dari masyarakat, maka sikap yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya di dalam keluarga juga dimaksudkan supaya diterapkan di tengah masyarakat. Selain dari pada itu adat kesupan ini juga dapat dimaknai sebagai adat yang menjaga hubungan antara individu di dalam komunitas mereka, karena dengan menghormati orang lain, seperti menghormati orang tua, akan menciptakan suatu suasana yang harmonis, damai dan tenteram. Hormat kepada orang tua dalam sikap hidup sehari-hari menunjukkan suatu komunitas masyarakat yang tahu menempatkan diri secara baik bagi orang lain. Bagi suku Dayak Banyur, menghormati orang lain dengan sikap dan cara hormat terhadap orang tua, mampu membangun relasi yang hangat, akrab dan rasa kekeluargaan yang kental. Hal-hal inilah yag menjadi inti dari adat kesupan, bukan sekedar hormat kepada orang tua dalam arti dan ruang lingkup yang kecil namun juga dalam arti dan ruang lingkup yang lebih besar. Suku Dayak Banyur juga meyakini sikap hormat kepada orang tua juga merupakan wujud dari kesadaran manusia melakukan apa yang dikendaki oleh Petara. Nilai-nilai hidup yang seperti ini dianggap sebagai pemenuhan dari apa yang diinginkan oleh Petara. Oleh sebab itu, jika seseorang bersikap dan bertingkah laku dengan tidak menujukkan rasa hormat kepada orang tua dan orang lain yang lebih tua, dianggap tidak mempunyai kesadaran akan keutamaan-keutamaan religius. Tindakan tidak sopan kepada orang tua atau yang dituakan dibedakan sebagai berikut:
·           Tidak sopan dengan tindakan fisik, misalnya melakukan pemukulan. Tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi hukum adat.
·           Tidak sopan dengan kata-kata, misalnya mencaci-maki, menghina atau mengata-ngatai. Tindakan tersebut dapat dikenakan sanksi hukum adat.
·           Tidak sopan karena tidak mengikuti keputusan orang yang dituakan. Dalam hal ini apabila pelaku sebelumnya meminta orang tua (yang dituakan/pengurus adat) menyelesaikan perkara yang sedang dihadapinya, namun setelah diputuskan dan diberi solusi pelaku tidak mengindahkan, dan memilih orang yang dianggap lebih mampu atau ke tingkat yang lebih tinggi, dan ternyata diberikan solusi serta keputusan yang sama, dan pelaku kemudian menerima, maka pelaku dapat dikenakan sanksi hukum adat.
§  Sanksi hukum adat (dimensi sosial).
-       Apabila terjadi jenis pelanggaran pertama, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 6 tael pun tepayan.
-       Apabila terjadi jenis pelanggaran kedua, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat 3 tael pun tepayan.
-       Apabila terjadi jenis pelanggaran ketiga, maka pelaku dikenakan 12 tael pun manuh.
-       Sanksi hukum adat yang telah dibayar diberikan kepada pihak yang dirugikan.
§    Dimensi religius.
Apabila terjadi, baik pelanggaran jenis pertama, kedua dan ketiga, maka pelaku dengan kesadaran religius meyerahkan manuk sikuk mangkok singkap kepada pengurus adat sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
3)      Adat encuri.[35]
Adat encuri adalah hukum adat yang melarang seseorang atau masyaraktnya untuk mengambil hak milik orang lain. Encuri dalam bahasa Dayak Banyur berarti mencuri. Mencuri adalah perbuatan yang melanggar hak orang lain, maka menurut suku Dayak Banyur mencuri baik sifatnya ringan maupun berat tetap dilarang. Mencuri dipandang perbuatan yang bukan hanya merugikan orang lain secara materi saja, melainkan perbuatan yang merusak hubungan si pelaku dengan Petara, karena dengan mencuri seseorang telah melawan nilai-nilai hidup yang diajarkan oleh Petara. Jika ditelusuri lebih mendalam, mencuri menurut suku Dayak adalah tindakan seseorang yang tidak taat kepada hukum-hukum Petara, maka Petara melihatnya sebagai orang yang membangkang. Oleh sebab itu, perbuatan mencuri hendaknya diselesaikan melalui dua jalur, yaitu melalui hukum adat dan melalui pemberesan kesalahan terhadap Petara, maka pelaku pencurian harus memenuhi kedua jalur ini. Adat encuri dibagi menjadi dua jenis encuri, yaitu dilihat dari besar kecilnya benda yang dicuri.
·           Mencuri yang bersifat ringan yaitu, encuri benda pekarang atau uleh pekarang urang: mencuri benda/barang yang berada di luar rumah. Uleh pekarang urang: hasil usaha orang lain, seperti binatang peliharaan (kecuali babi karena babi dianggap peliharaan berharga), hasil jerat baik di darat maupun di sungai, tumbuh-tumbuhan di ladang (sayur-sayuran/apa saja yang tumbuh di ladang) dan buah-buahan. Dengan kata lain encuri benda uleh pekarang urang, adalah semua benda/barang baik benda hidup maupun benda mati yang menjadi milik orang lain diambil secara diam-diam atau tanpa memberi tahu kepada si pemilik baik sengaja maupun tidak, maka pelaku diklasifikasikan sebagai pencuri/mengambil hak orang lain tanpa permisi.
·           Mencuri yang bersifat berat yaitu, encuri barang beraga.  Encuri barang beraga adalah mencuri barang yang nilai harganya tinggi. Barang beraga seperti, emas dan babi. Babi dipandang barang atau binatang yang berharga bagi suku Dayak banyur. Apabila benda yang dicuri adalah binatang babi, maka termasuk perbuatan mencuri barang berharga.
§   Sangksi hukum adat (dimensi sosial).
Encuri benda pekarang atau uleh pekarang urang.
Apabila terjadi tindak pencurian baik disengaja maupun tidak sengaja (karena pelaku tidak mengetahui siapa yang punya, namun tetap mengambil barang tersebut), dan tidak memiliki kesadaran untuk mengembalikannya atau meminta maaf kepada pemiliknya, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat:
-       Pelaku dikenakan sanksi membayar hukum adat: 3 tael pun tepayan.
-       Barang yang dicuri harus dikembalikan kepada pemiliknya. Apabila barang yang dicuri berupa barang yang tidak bertahan lama, atau telah digunakan sendiri oleh pelaku, ataupun telah dijual, maka pelaku diwajibkan mengembalikan dengan uang atau benda lain yang senilai (seharga) dengan benda yang telah dicurinya.
Encuri barang beraga.
Apabila terjadi  pencurian dengan jenis encuri barang beraga, maka pelaku pencurian dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 6 tael pun manuh.
§   Dimensi religius
Setelah semua urusan beres, baik pihak yang merugikan atau yang dirugikan, maka pelaku membereskan persoalannya secara religius.
Encuri benda pekarang atau uleh pekarang urang dan encuri barang beraga
               Baik mencuri yang bersifat ringan maupun berat, pelaku dengan kesadaran religius menyerahkan kepada pihak yang dirugikan: manuk sikuk, mangkok singkap sebagai persebahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
4)     Adat bezinah.[36]
Adat bezinah adalah adat berzinah, hanya dalam ucapan suku Dayak Banyur “r” dihilangkan. Menurut suku Dayak Banyur, berzinah diklasifikasikan sebagai tindakan cabul dan hina. Seorang yang berzinah dianggap kotor dan najis. Berzinah sangat dilarang oleh hukum adat karena selain tindakan berdosa juga merusak nama baik kampung dan suku. Pelaku perzinahan dianggap melawan nilai-nilai moral dan religius. Menurut suku Dayak Banyur Petara sangat tidak menghendaki perbuatan ini. Apabila terjadi tindakan perzinahan maka seluruh isi kampung akan sunyi sepi, suasana seperti mencekam, hal ini karena seluruh penduduk kampung (suku Dayak Banyur) takut terjadi malapetaka, bencana yang juga dapat mengenai seluruh isi kampung. Mereka memilih tinggal dirumah sampai perkara tersebut benar-benar beres. Anak-anak dilarang keluar rumah karena dipercaya ada aura-aura jahat yang sedang berkeliaran dan bersenang-senag. Menurut suku Dayak Banyur Petara murka terhadap tindakan tersebut, dan bisa saja Ia menurunkan murka-Nya secara tiba-tiba. Dilihat dari dimensi sosial, pelaku perzinahan akan mengalami nasib buruk, karena ia akan dikucilkan dan dijauhi serta pula menjadi bahan pembicaraan orang dimana-mana. Sejauh perbuatan zinah tersebut dapat dibuktikan dan terbongkar di depan umum maka diberlakukan hukum adat bagi pelakunya. Hukum adat dimaksudkan untuk membereskan hubungannya dengan sesama, karena atas tindakan tersebut ketenangan seluruh isi kampung terganggu serta nama baik kampung dan suku pun tercemarkan. Selain dari pada itu juga mengakibatkan rusaknya hubungan manusia dengan Petara khususnya bagi individu si pelaku, kesucian alam juga turut dinodai. Untuk mengembalikan situasi seperti semula, maka pelaku dituntut hukum adat, juga membereskan perkara terkutuk tersebut dengan Petara dan alam semesta. Apabila tindakan perzinahan tersebut bersifat rahasia, tidak diketahui oleh orang banyak karena tidak ada bukti, maka hukuman sepenuhnya dari Petara. Petara maha tahu akan perbuatan-perbuatan yang disembunyikan oleh manusia. Menurut suku Dayak Banyur perbuatan zinah ini dapat dibendakan sebagai berikut.
·           Adat Butang.[37] Butang adalah perbuatan asusila antara kedua orang yang sudah memiliki istri atau suami. Baik pria maupun wanita sama-sama sudah terikat pernikahan. Klasifikasi perbuatan butang adalah seorang perempuan yang sudah memiliki suami berhubungan khusus dengan seorang pria yang sudah memiliki istri, baik dalam hubungan tersebut sudah melakuan tindakan intim (seks) maupaun hanya sebatas saling suka tanpa berhubungan intim. Dakwaannya ialah bahwa kedua pihak tersebut dianggap telah merusak dan mengganggu rumah tangga orang lain dan juga merusak rumah tangganya sendiri serta melakukan hubungan yang terlarang karena terikat pernikahan sebelumnya. Butang tidak dibedakan antara perbuatan paksaan atau perbuatan sama-sama suka. Jika sudah terjadi butang, maka dianggap sama-sama menghendaki dan mendukung hubungan tersebut. Kata butang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut sudah terjadi dan tidak beralasan atas dasar paksaan dari salah satu pihak.
§    Sanksi (dimensi sisoal).
Apabila terjadi perbuatan butang, maka kedua belah pihak yang melakukan perbuatan tersebut dikenakan sanksi hukum adat sebagai berikut:
-       Kedua pelaku masing-masing wajib membayar 9 tael jumlahnya 18 tael.
-       Kedua pelaku wajib kembali kepada istri dan suami sebelumnya dan meminta maaf dengan rasa penyesalan.
-       Adat yang dibayar diberikan kepada kedua belah pihak yang telah dirugikan.
§   Dimensi religius
Setelah semua urusan beres baik pihak yang merugikan maupun yang dirugikan, maka pelaku membereskan persoalannya secara religius.
-       Pelaku dengan kesadaran religius menyerahkan kepada pihak yang dirugikan: manuk sikuk, mangkok singkap sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
·           Adat Ngampang.[38] Ngampang berarti hamil tanpa suami atau di luar pernikahan. Seseorang yang hamil tanpa suami dianggap telah melakukan tindak perzinahan. Perbuatan ini terjadi biasanya pada seorang gadis atau seorang janda. Untuk menentukan sanksi hukum adat yang diberikan maka perempuan yang hamil tersebut akan ditanya siapa yang menghamilinya. Apabila perempuan yang hamil tersebut tidak berkenan menyebutkan nama atau memberi isyarat mengenai laki-laki yang menghamilinya, dengan alasan atau pun tanpa alasan, maka sanksi hukum adat sepenuhnya dibebankan kepadanya. Sebaliknya, apabila perempuan yang hamil tersebut menyebutkan nama atau memberi isyarat mengenai laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki tersebut dipanggil oleh pengurus adat dan dimintai keterangan. Apabila laki-laki tersebut megakui perbuatannya maka dialah yang akan menganggung sanksi hukum adat. Sebaliknya apabila laki-laki tersebut tidak mengakui perbuatannya dan memberi keterangan bahwa tuduhan terhadapnya adalah fitnah, maka pengurus adat setempat akan mencari bukti terlebih dahulu untuk menguatkan hukum adat. Jika laki-laki tersebut tidak terbukti bersalah, sanksi hukum adat tetap dibebankan pada pihak perempuan dan laki-laki tersebut mempunyai hak untuk menuntut nama baiknya dipulihkan, atau sebaliknya memaafkan tuduhan perempuan. Namun, jika terbukti bersalah, laki-laki tersebut wajib menggung beban sanksi hukum adat.
     Apabila laki-laki terbukti, maka adat ngampang dibedakan menjadi dua jenis yaitu (1) ngampang dengan pasangan tumuk, yaitu ngampang dengan laki-laki yang boleh menikah menurut garis keturunan atau hubungan darah. Tumuk artinya boleh, dapat dilakukan, sesuai, serasi, tidak ada halangan. (2) ngampang dengan pasangan mali, yaitu dengan pasangan yang tidak boleh menikah menurut garis keturunan atau hubungan darah. Mali artinya tidak boleh, atau mengandung unsur penghalang karena alasan tertentu,  atau tidak halal. Misalnya, gadis yang hamil merupakan anak dari laki-laki yang adalah bapak menurut garis keturunan. Sebutan untuk anak bagi suku Dayak Banyur bukan hanya anak kandung, melainkan juga anak dari saudara-saudari, anak dari sepupu, dan anak garis keturunan yang lebih jauh. Begitu juga bapak atau ibu,  selain bapak atau ibu kandung, sebutan bapak atau ibu dilihat dari garis keturunan, atau dalam bahasa Dayak Banyur ayak: paman, dan ibÚ: bibi, atau sering disebut dengan istilah pernah anak dan pernah ketuan. Pernah anak : anak menurut garis keturunan dan pernah ketuan: ayak :paman atau ibÚ: bibi menurut garis keturunan. Selain itu ngampang dengan pasangan mali juga untuk pasangan yang memiliki hubungan darah sangat dekat, yaitu saudara kandung. Dalam bahasa suku Dayak Banyur ngampang mali menyadik, menyadik artinya kaka beradik atau saudara kandung.
§   Sanksi (dimensi sosial)
-       Laki-laki dapat dibuktikan bersalah
 Ngampang dengan pasangan tumuk:
Jika telah diketahui jenis ngampang yang dilakukan, berarti pelaku laki-lakinya juga telah diketahui. Maka dikenakan sanksi hukum adat. laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut wajib membayar 6 tael pun manuh.
Ngampang dengan pasangan mali pernah ketuan atau pernah anak.
-       Laki-laki yang menghamili perempuan tersebut dikenakan hukum adat dan wajib membayar 170 tael pun manuh
Ngampang dengan pasangan mali menyadik (saudara kandung).
Laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut dikenakan sanksi adat, wajib membayar 680 tael.
-       Jika pihak perempuan tidak menyebutkan nama, atau laki-laki yang disebutkan tidak dapat dibuktikan bersalah, maka perempuan yang hamil tersebut wajib menanggung semua sanksi dan membayar 6 tael pun manuh.
-       Sanksi hukum adat yang telah dibayar diberikan kepada orang tua atau wali (ahli waris) dari pelaku pelanggaran
§   Dimensi religius.
-       Ngampang dengan pasangan tumuk
Setelah semua urusan beres secara hukum adat, maka pelaku membereskan persoalannya secara religius.
Pelaku laki-laki dengan kesadaran religius menyerahkan 3 renti babi, manuk sikuk mangkok singkap kepada penduduk kampung sebagai persembahan kepada Petara yang merupakan ungkapan penyesalan batin yang mendalam.     
-       Ngampang dengan pasangan mali
Pelaku laki-laki dan perempuan dengan kesadaran religius menyerahkan babi kepada penduduk sebagai persembahan kepada Petara. Ada pembedaan ukuran babi yang diserahkan dari kedua belah pihak yang bersalah. Pembedaan tersebut pertama, dari pihak bapak atau ibu menurut garis keturunan atau pernah ketuan, mempersembahkan babi 5 renti. Sedangkan dari pihak anak atau pernah anak mempersembahkan babi 7 renti. Kemudian manuk sikuk mangkok singkap.
-       Ngampang dengan pasangan mali menyadik. (saudara-saudari kandung).
Keudanya dengan kesadaran religius, menyerahkan     masing-masing babi 7 renti, jumlahnya 14 renti  dan manuk sikuk mangkok singkap kepada penduduk sebagai persembahan kepada Petara yang merupakan ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
§   Babi tersebut akan disembelih dan diseret di sekitar halaman dan di tangga rumah pelaku perbuatan ngampang, dengan maksud agar darah babi yang telah disembelih, menyucikan rumah dan penghuninya kembali, melalui persetujuan Petara. Kemuadian dilakukan upacara adat sebagai bentuk permohonan maaf dan penyesalan batin yang mendalam. Daging babi dipersembahkan kepada Petara dan sisanya dibagikan kepada seluruh penduduk kampung.
·           Adat Perumun.[39] Adat perumun, adalah hukum adat yang melarang seorang pria tidur dengan seorang gadis tanpa status pernikahan. Perumun artinya tidur dengan anak dara atau gadis. Hukum adat perumun dapat dikenakan kepada seorang pria yang belum atau yang sudah beristri. Apabila diketahui seorang pria masih lajang atau sudah menikah, tidur dengan gadis perawan maka yang dikenakan sanksi hukum adat adalah pihak laki-laki. Orang tua si gadis menuntut laki-laki tersebut untuk diberi sanksi karena telah membuat malu keluarga.
§   Sanksi hukum adat (dimensi sosial)
-       Laki-laki pelaku pelanggaran perumun dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 6 tael pun manuh.
-       Apabila laki-laki tersebut belum menikah, maka ia dinikahkan dengan gadis yang ditidurinya.
-       Apabila laki-laki tersebut sudah menikah, maka ia harus kembali kepada istri yang sah.  
-       Denda yang telah dibayar oleh pihak laki-laki, diberikan kepada orang tua gadis.
§   Dimensi religius.
-       Laki-laki yang melanggar adat perumun dengan kesadaran religius menyerahkan babi 3 renti dan manuk sikuk magkok singkap kepada penduduk kampung sebagai persembahan kepada Petara dan juga merupakan ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
-       Babi dan ayam tersebut akan disembelih dan diseret di sekitar halaman dan di tangga rumah pelaku perbuatan perumun dengan maksud agar darah babi yang telah disembelih, menyucikan rumah dan penghuninya kembali, melalui persetujuan Petara. Kemuadian dilakukan upacara adat sebagai bentuk permohonan maaf dan penyesalan batin yang mendalam. Daging babi dipersembahkan kepada Petara dan sisanya dibagikan kepada seluruh penduduk kampung.
·           Adat Berangkat.[40] Berangkat merupakan bentuk pelanggaran antara laki-laki dan perempuan yang suka sama suka baik diantara keduanya sudah atau belum menikah. Berangkat berarti keduanya melakukan pelanggaran karena memiliki niat yang kuat untuk menikah. Hukum adat berangkat dibedakan menjadi dua macam, yaitu berangkat dengan pasangan tumuk dan berangkat dengan pasangan mali. (tumuk dan mali telah dijelaskan di atas).  Berangkat mali dibedakan menjadi dua yaitu, berangkat mali dengan pernah anak atau pernah ketuan. Berangkat mali tidak pernah terjadi diantara dua orang bersaudara. Karena berangkat adalah tindakan dimana kedua-duanya bersikeras untuk menikah, oleh karena itu, jika mereka bersaudara tetap tidak diijinkan untuk hidup bersama atau melangsungkan pernikahan. Apabila hal itu terjadi, maka di luar persetujuan hukum adat dan tidak diberikan sanksi, namun dipercayakan semuanya kepada Petara, sebagai sanksi sosial kedua pelaku tersebut diusir dari kampung. Berangkat juga sama dengan adat jadi mali. Jadi: menikah, mali : tidak halal. Jadi mali artinya kedua pasangan tersebut tidak halal untuk menikah, namun karena ketegaran hati, maka hal tersebut bisa terjadi.
§   Sanksi hukum adat.
-       Berangkat tumuk
Apabila terjadi pelanggaran berangkat tumuk dan keduanya belum menikah, maka keduanya dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar  96 tael.
Apabila terjadi pelanggaran berangkat tumuk,  namun salah satu dari keduanya sudah menikah maka keduanya dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar masing-masing 96 tael, jumlahnya 192 tael.
-       Berangkat mali pernah ketuan dan pernah anak.
Apabila terjadi pelanggaran berangkat mali pernah ketuan atau pernah anak, maka keduanya dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 360 tael, dan apabila salah satu dari keduanya sudah menikah, maka keduanya dikenakan sanksi masing-masing membayar 360 tael, jumlahnya 720 tael.
-       Sanksi hukum adat yang telah dibayar diberikan pada pihak yang dirugikan. Apabila keduanya belum menikah, maka sanksi yang telah dibayar diberikan kepada orang tua kedua pihak, dan apabila salah satu sudah menikah maka diberikan suami atau istri yang dirugikan.
-       Kedua pelaku tersebut baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, dengan berat hati diijinkan untuk menikah karena ketegaran hati dari kedua belah pihak.
§   Dimensi religius
-       Berangkat tumuk bujang dara.
Setelah membereskan perkara hukum adat, maka dengan kesadaran religius keduanya menyerahkan babi 3 renti, manuk sikuk mangkok singkap,  kepada penduduk kampung sebagai persembahan kepada Petara. Kemudian diadakan ritual adat.
-       Berangkat tumuk udah belaki bebini.
Setelah membereskan perkara hukum adat, maka dengan kesadaran religius keduanya menyerahkan masing-masing babi 6 renti jumlahnya 12 renti, manuk sikuk mangkok singkap, kepada penduduk kampung sebagai persembahan kepada Petara. Kemudian diadakan ritual adat.
-       Berangkat mali pernah anak atau ketuan.
Pelaku laki-laki dan perempuan dengan kesadaran religius menyerahkan babi kepada penduduk sebagai persembahan kepada Petara. Ada pembedaan ukuran babi yang diserahkan dari kedua belah pihak yang bersalah. Permbedaan tersebut pertama, dari pihak bapak atau ibu menurut garis keturunan atau pernah ketuan, mempersembahkan babi 5 renti. Sedangkan dari pihak anak atau pernah anak mempersembahkan babi 7 renti. Kemudian manuk sikuk mangkok singkap.
-       Babi dan ayam tersebut akan disembelih dan diseret di sekitar halaman dan di tangga rumah pelaku perbuatan berangkat dengan maksud agar darah babi yang telah disembelih, menyucikan rumah dan penghuninya, melalui persetujuan Petara. Kemudian dilakukan upacara adat sebagai bentuk permohonan maaf dan penyesalan batin yang mendalam. Daging babi dipersembahkan kepada Petara dan sisanya dibagikan kepada seluruh penduduk kampung.
5)      Adat beramau (betaban lari laki bini urang).[41]
Adat beramau adalah hukum adat yang melarang seorang pria maupun wanita yang sudah menikah untuk mencuri atau melarikan istri atau suami orang lain. Betaban: saling membawa, lari: lari, pergi, melarikan, dilarikan. Laki, artinya suami, bini: istri.  Jadi, betaban lari laki bini urang, artinya salah satu pihak membawa lari, mencuri pasangan suami atau istri orang lain. Suku Dayak Banyur menyebut perbuatan ini dengan istilah beramau. Oleh hukum adat, perbuatan demikian dapat dikenakan sanksi hukum. Sebenarnya adat beramau ini hampir mirip dengan perbuatan zinah, namun dibedakan karena sifatnya membawa lari istri atau suami orang. Perbuatan beramau juga merupakan tindakan pencurian, atau dengan kata lain menculik. Suku Dayak Banyur membedakan adat encuri dengan beramau, karena adat encuri; mencuri merupakan larangan mencuri benda atau binatang, bukan manusia. Secara khusus, beramau digunakan untuk tindakan pencurian atau penculikan manusia, namun dengan maksud ingin menikahi atau menggaulinya. Adat beramau ini tidak dibedakan menurut jenis beramau tumuk atau beramau mali, seperti jenis hukum adat berzinah lainnya. Tidak ada alasan yang dapat digunakan sebagai argument mengapa tidak dibedakan demikian. Namun dapat dipahami apabila jenis pelanggaran tersebut belum pernah terjadi pada suku Dayak Banyur. Sama dengan  tindakan pelanggaran lainnya, selain dilarang oleh manusia karena bersifat merugikan atau merusak ketenraman orang lain, yang dapat berakibat pada sanksi hukum adat, juga dipandang perbuatan yang dilarang oleh Petara. Atas tindakan tersebut, menurut suku Dayak Banyur Petara tidak berkenan, dan apabila tidak dibereskan melalui jalur hukum adat serta upacara adat, maka Petara dapat memberikan kutukan kepada pelaku pelanggaran tersebut.
§   Sanksi hukum adat (dimensi sosial).
-       Apabila terjadi tindakan beramau, maka dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 6 tael pun manuh.
-       Sanksi hukum adat dikenakan pada pihak yang mebawa lari istri atau suami orang lain.
-       Apabila kedua-duanya lari atas dasar keinginan bersama, atau mempengaruhi, maka keduanya dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar masing-masing 6 tael, jumlahnya 12 tael.
-       Sanksi hukum adat yang telah dibayar diberikan kepada pihak yang dirugikan.
-       Keduanya diminta untuk kembali kepada istri atau suami masing-masing.
§   Dimensi religius.
-       Kedua pelaku yang melanggar adat beramau dengan kesadaran religius menyerahkan babi 3 renti dan manuk sikuk magkok singkap, kepada penduduk kampung sebagai persembahan kepada Petara dan juga merupakan ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
-       Babi dan ayam tersebut akan disembelih dan diseret di sekitar halaman dan di tangga rumah pelaku perbuatan beramau dengan maksud agar darah babi yang telah disembelih, menyucikan rumah dan penghuninya kembali, melalui persetujuan Petara. Kemudian dilakukan upacara adat sebagai bentuk permohonan maaf dan penyesalan batin yang mendalam. Daging babi dipersembahkan kepada Petara dan sisanya dibagikan kepada seluruh penduduk kampung.
6)      Adat nipu ngakal.[42]
Adat nipu ngakal, artinya hukum adat yang melarang untuk melakuan perbuatan penipuan. Nipu dalam bahasa suku Dayak Banyur sama dengan arti nipu dalam bahasa Indonesia. Sedangkan ngakal adalah penegasan dari kata nipu. Ngakal lebih khusus lagi berarti membohongi; berkata bohong. Istilah nipu ngakal ini dipahami sebagai perbuatan yang  melawan kebenaran. Perbuatan nipu ngakal merupakan perbuatan seorang yang memberikan kesaksian palsu kepada orang lain, baik dengan maksud tertentu maupun tidak. Atau dengan kata lain,  nipu ngakal  berarti bersaksi dusta; berbicara tidak sesuai dengan kebenaran yang ada. Seorang yang melakukan perbuatan nipu ngakal betarti seorang pembohong, ia telah memberikan kesaksian yang tidak benar. Misalnya, seorang yang dimintai keterangan karena dianggap mengetahui suatu perkara, tetapi dalam keterangannya, dia tidak berbicara sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi, maka ia melakukan perbuatan nipu ngakal. Nipu ngakal juga dimaksudkan pada perbuatan-perbuatan yang membuat orang lain kecewa, artinya bahwa seseorang yang telah mengucapkan sebuah janji dan ia sendiri tidak menepati janjinya tersebut. Selain itu, nipu ngakal juga dimaksudkan pada seseorang yang menuduh orang lain tanpa bukti yang benar. Karena perbuatannya tersebut orang lain menjadi korban. Contoh lain adalah tindakan mengadu domba, atau meyebabkan rusaknya hubungan orang lain, pengertian ini juga termasuk tindakan nipu ngakal. Adat nipu ngakal ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu, nipu ngakal yang bersifat ringan, dan nipu ngakal bersifat berat. Nipu ngakal bersifat ringan adalah tindakan penipuan atau berbohong kepada orang lain yang derajatnya sama. Derajat sama  yang dimaksudkan adalah sama atau setingkat baik umur, posisi (kedudukan) maupun derajat sama dilihat dari garis keturunan. Sedangkan nipu ngakal yang bersifat berat adalah tindakan penipuan atau berbohong kepada orang lain yang posisi (kedudukannya) lebih tinggi, atau lebih tinggi dilihat dari garis keturunan. Misalnya berbohong kepada orang yang mempunyai posisi tertentu dalam struktur masyarakat mereka (pengurus adat), atau orang yang usianya lebih tua, serta dianggap tua karena garis keturunan. Suku Dayak Banyur sangat menghormati orang yang lebih tua atau yang dituakan dan diberi posisi tertentu dalam struktur masyarakat mereka. Oleh karena itu tindakan nipu ngakal terhadap orang yang lebih tua, mempunyai kedudukan tertentu, dan orang tua karena garis keturunan diklasifikasikan adat nipu ngakal bersifat berat. Menurut suku Dayak Banyur tindakan berbohong adalah tindakan yang tidak terpuji. Seseorang yang melakukan kebohongan, maka ia sendiri menjatuhkan wibawa dan martabatnya sebagai manusia yang berbudi luhur. Suku Dyak Banyur memandang kebenaran merupakan nilai yang sangat penting, bukan sekedar benar karena tidak berbohong, melaikan lebih dari pada itu, yaitu kejujuran. Jujur memiliki arti yang lebih dalam dari pada sekedar tidak berbohong. Jujur berarti dengan kesadaran hati nurani tanpa ada unsur atau sebab lain yang memicu. Jujur berarti sikap yang lahir tanpa ada paksaan dan motivasi yang berkaitan dengan suatu kepentingan. Oleh sebab itu sikap jujur selalu ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anak mereka sejak dini. Jujur juga merupakan salah satu pemenuhan nilai hidup mereka. Seorang yang jujur adalah seorang yang tahu dan menlaksanakan kearifan-kearifan hidup yang ditanamkan sejak nenek moyang mereka. Itu artinya kejujuran adalah manifestasi dari seluruh dimensi hidup, baik religius maupun sosial. Seorang yang bersifat tidak jujur (nipu ngakal) dipandang sebagai cerminan dari ketidakutuhan atau sikap melawan terhadap nilai-nilai hidup yang ada. Dari kenyataan tersebut di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sikap jujur atau tidak berbuat nipu ngakal, adalah produk dari kesempurnaan dalam memandang nilai hidup yang diwariskan nenek moyang mereka, kemudian dapat juga dimengerti bahwa apa yang dianggap tertinggi, yaitu Petara, juga melarang mereka untuk melakukan perbuatan nipu ngakal. Mereka memandang bahwa Petara sendiri mengajarkan agar selalu berkepribadian jujur terhadap diri sendiri dan orang lain. Secara jelas adat nipu ngakal ini, menurut suku Dayak Banyur dapat diklasifikasikan atara perbuatan-perbuatan berikut ini:
·           Adat nyabung belayak.[43]
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa nipu ngakal juga dimaksudkan pada perbuatan yang mengakibatkan rusaknya hubungan orang lain. Adat nyabung belayak adalah jenis adat yang melarang seorang untuk mengadu domba orang lain atau sesamanya. Nyabung artinya menyebabkan sesuatu hal terjadi (berkonotasi negatif); mengadu domba, sedangkan belayak artinya berkelahi. Jadi nyabung belayak berarti menyebabkan perkelahian. Misalnya, seorang menyampaikan berita (cerita, pesan, pernyataan) dari dan untuk seseorang mengenai diri orang tersebut atau orang lain yang dapat memicu perkelahian karena ketidakbenaran pernyataan yang disampaikan, hal tersebutlah yang dimaksudkan tindakan nyabung belayak. Apabila terjadi peristiwa yang serupa seperti contoh di atas, maka orang tersebut dapat dikenakan sanksi hukum adat.
·           Adat ngamak.[44]
Adat ngamak, artinya hukum adat yang melarang seseorang mengganggu ketenangan orang lain karena tindakan berbohong. Ngamak artinya menggangu, menggangu dalam pengertian bahwa dikarenakan kebohongan atau kesaksian palsu. Mengganggu ketenangan orang lain mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan hidup orang tersebut. Mengganggu berarti tidak sampai mengakibatkan adanya perkelahian atau peristiwa-peristiwa yang lebih besar. Seseorang yang merasa terganggu karena kebohongan dan didukung dengan bukti-bukti yang ada, maka ia dapat menuntut agar orang tersebut dikenakan hukum adat.
·           Adat penyangkak.[45]
Adat penyangkak adalah hukum adat yang melarang seorang memberikan kesaksian palsu dalam bentuk fitnah. Penyangkak artinya menyangka orang lain atau mengatakan sesuatu yang kebenarannya belum dapat dibuktikan. Penyangkak ini dapat juga dimengerti sebagai tindakan tuduhan terhadap orang lain. Apabila seseorang melakukan perbuatan penyangkak, maka ia dapat dikenakan sanksi hukum adat.
§   Saksi hukum adat (dimensi sosial)
Hukum adat nipu ngakal (nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang sifatnya ringan.
-       Apabila terjadi perbuatan nipu ngakal (nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang sifatnya ringan, maka pelaku pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 3 tael pun tepayan.
-       Sanksi hukum adat yang telah dibayar, diberikan pada pihak yang dirugikan.
Hukum adat nipu ngakal (nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang sifatnya berat.
-       Apabila terjadi perbuatan nipu ngakal (nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang sifatnya berat, maka pelaku pelanggaran dapat dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 6 tael pun manuh.
-       Sanksi hukum adat yang telah dibayar, diberikan pada pihak yang dirugikan.


§   Dimensi religius.
Hukum adat nipu ngakal (nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang sifatnya ringan maupun berat.
Apabila terjadi perbuatan nipu ngakal (nyabung belayak, ngamak, penyangkak) yang sifatnya ringan, maka dengan kesadaran religius pelaku pelanggaran tersebut menyerahkan  manuk sikuk mangkok singkap kepada pengurus adat sebagai persembahan kepada Petara, dan sebagai ungkapan penyesalan batin.
·           Adat peramang tunang.[46]
Adat peramang tunang adalah jenis hukum adat nipu ngakal khusus pada tindakan penipuan yang dilakukan oleh  kedua pasang pria dan wanita (salah-satu pihak) yang merencanakan pernikahan. Misalnya, kedua pasang pria dan wanita telah bersepakat untuk menikah dan telah dilangsungkan pertunangan di depan umum, namun kemudian di antara keduanya membatalkan pertunangan tersebut dengan alasan atau tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Peramang artinya batal, tidak jadi, sedangkan tunang adalah pertunangan, tunang. Tindakan tersebut termasuk tindakan penipuan, atau berbohong. Oleh hukum adat, tindakan ini dapat dikenakan sanksi. Peramang tunang dibedakan menjadi dua jenis yaitu, apabila salah satu pihak yang membatalkan pertunangan disertai dengan melontarkan bahasa-bahasa yang kurang sopan kepada, menyangkut pihak yang dibatalkan maka perbuatan tersebut termasuk peramang tunang caci maki. Sedangkan apabila salah satu pihak yang membatalkan pertunangan dengan sopan (tanpa melontarkan bahasa-bahasa yang kurang sopan kepada, menyangkut pihak yang dibatalkan), maka termasuk peramang tunang biasa. Dari segi sanksi, peramang tunang caci maki lebih berat dari pada peramang tunang biasa.
§   Sanksi hukum adat (dimensi sosial)
Peramang tunang caci maki.
Apabila terjadi peramang tunang caci maki dilakukan oleh pihak laki-laki maka dikenakan sanksi hukum adat sebagai berikut:
-       Benda-benda yang digunakan sebagai syarat pertunagan, dalam bahasa Dayak Banyur: pelapak, yang artinya syarat pertunangan berupa benda. Benda-benda tersebut antara lain, kain, (baju, sarung, selendang), perlengkapan rias (bedak, lipstik atau gincu, parfum, cermin, sisir, dan alat rias perempuan lainnya), benda perhiasan (cincin, gelang, kalung), yang telah diberikan oleh pihak laki-laki. Benda-benda tersebut tidak dapat diambil kembali. Dengan kata lain benda-benda tersebut sah menjadi milik pihak perempuan.
-       Laki-laki tersebut juga dikenakan saksi hukum adat dengan membayar 3 tael pun tepayan.
-       Apabila pembatalan pertunangan dari pihak perempuan. maka pelepak yang diberikan pihak laki-laki sebagai syarat pertunangan diambil kembali.
-       Pihak perempuan juga dikenakan hukum adat 3 tael pun tepayan.
Peramang tunang biasa.
-       Apabila terjadi peramang tunang biasa, dilakukan oleh pihak laki-laki maka, pelepak yang telah diberikan sebagai syarat pertunangan tidak dapat diambil kembali, atau sah menjadi milik perempuan.
-       Laki-laki tersebut dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 3 tael mangkal.
-       Apabila dilakukan oleh pihak perempuan maka, pelepak, yang diberikan pihak laki-laki sebagai syarat pertunangan, diambil kembali oleh laki-laki.
-       Pihak perempuan dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 3 tael mangkal.
§  Dimensi religius.
Baik peramang tunang caci maki maupun perampang tunang biasa dilakukan pihak laki-laki ataupun perempuan, maka salah satu yang melakukan perbuatan tersebut dengan kesadaran religius menyerahkan manuk sikuk mangkok singkap kepada pengurus adat dan sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan batin.
7)     Adat munuh.[47]
Adat munuh adalah hukum adat yang melarang seorang menghilangkan nyawa orang lain baik dengan alasan maupun tidak. Munuh artinya membunuh, meyebabkan nyawa orang lain hilang. Menurut suku Dayak Banyur, membunuh adalah perbuatan tidak terpuji yang melawan nilai-nilai hidup. Orang yang menghilangkan nyawa orang lain, baik dengan alasan atau tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan tetap dianggap sebagai seorang pembunuh dan oleh karena itu orang tersebut pantas mendapatkan balasan yang setimpal. Tindakan menghilangkan nyawa orang lain adalah tindakan seorang yang tidak beradab, karena hidup merupakan nilai yang sangat berharga. Menurut suku Dayak Banyur sebenarnya tidak ada balasan yang setimpal terhadap pelaku pembunuhan, karena walaupun pelaku diberi sanksi seberat-beratnya tetap tidak akan dapat menghapus atau menghilangkan kesalahannya. Mesikipun demikian hukum adat tetap berlaku guna memberi efek jera terhadap pelaku. Larangan untuk tidak  membunuh mempunyai makna yang mendalam, bukan sekedar larangan menghilangkan nyawa orang lain. Adat munuh menurut suku Dayak Banyur mencakup juga perbuatan berbicara yang menghendaki orang lain mati. Hal ini terwujud dalam sikap atau lontaran kata-kata ancamam. Seorang yang telah mengancam membunuh orang lain berarti ia telah memimiliki kehendak membunuh. Membunuh diklasifikasan mulai dari keinginan (niat), ancaman, sampai pada tindakan nyata. Oleh karena itu seorang yang telah melontarkan ancaman membunuh, termasuk juga bagian dari tindakan membunuh. Tindakan membunuh sendiri juga dibedakan antara membunuh sampai menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dan membunuh hanya menyebabkan orang tersebut cacat secara fisik. Membunuh menyebabkan orang cacat fisik, diklasifikasikan tindakan membunuh karena dilihat berdasarkan niat orang yang melakukan tindakan tersebut. Niat awal pelaku-lah yang dianggap membunuh, meskipun pada akhirnya tidak sampai memyebabkan kematian.  Selain dari pada itu, suku Dayak Banyur juga percaya bahwa hidup adalah anugerah dari Petara, Petara-lah yang menyebabkan manusia dapat hadir dan berada di dunia ini. Oleh karena itu, manusia tidak mempunyai hak sedikit pun untuk membatasi atau mengakhiri hidup dirinya dan orang lain. Orang yang menghilangkan nyawa orang lain berarti orang yang melawan kehendak dan tidak menghormati Petara sebagai satu-satunya pemberi hidup. Dengan demikian, maka pelaku pembunuhan atau penyebab hilangnya nyawa orang lain akan medapat sanksi berupa kutukan dari Petara. Hukum adat hanya menyelesaikan urusannya di dunia dalam hubungannya dengan sesama, namun kesalahannya akan diperhitungkan oleh Petara. Orang tersebut sungguh-sungguh akan mengalami nasib buruk, hidupnya jauh dari keselamatan, malapetaka akan datang menimpanya. Memang sanksi dari Petara tidak dapat disaksikan secara langsung, namun bukan berarti perbuatan tersebut hanya didiamkan saja. Sepanjang hidupnya akan diliputi kegegelapan dan kegundahan serta kekacauan yang tidak teratasi, ia menjadi buruk di depan sesamanya dan di hadapan Petara. Selain dari pada itu seluruh isi alam semesta pun dianggap tidak berkenan lagi padanya. Usaha dan pekerjaannya tidak lagi mendapat berkat. Apa yang ia buat dengan mengharapkan kerjasama yang baik dari alam, tidak akan terjadi lagi. Lewat cara demikianlah hukuman dari Petara diberikan. Berdasarkan uraian di atas, maka adat munuh dapat dibedakan sebagai berikut:
·           Adat ngancam.[48]
Adat ngancam adalah hukum adat yang melarang seorang melakukan tindakan ancaman. Ancaman tersebut berisi niat untuk melakukan pembunuhan terhadap orang lain. Ngacam artinya mengacam, memberikan ancaman kepada orang lain. Tindakan ngancam juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu ngacam dengan mengunakan benda tajam, sekaligus merusak benda atau barang milik orang yang diancam. Kedua, ngancam hanya dengan kata-kata atau tanpa menggunakan benda tajam ataupun merusak barang orang yang diancam. Kedua tindakan tersebut secara hukum adat mendapat sanksi yang berbeda karena dilihat dari sifatnya.
§  Sanksi hukum adat (dimensi sosial).
Ngancam dengan menggunakan benda tanjam dan merusak benda atau barang hak milik orang yang diancam.
-       Apabila terjadi tindakan pelanggaran di atas, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 6 tael pun manuh.
Ngacam hanya dengan mulut (tanpa menggunakan benda tajam dan tidak merusak barang yang menjadi hak miliki pihak yang terancam).
-       Apabila terjadi tindakan pelanggaran di atas, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 3 tael pun tepayan.
-       Sanksi hukum yang telah dibayar diberikan kepada pihak yang dirugikan.
§    Dimensi religius.
Baik tindakan ngancam dengan menggunakan benda tajam dan merusak barang hak milik yang terancam maupun ngancam hanya dengan mulut, maka dengan kesadaran religius pelaku meyerahkan manuk sikuk mangkok singkap kepada pengurus adat sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
·           Adat pati mati.[49]
Adat pati mati adalah hukum adat yang melarang seorang melakukan tindakan pembunuhan sampai menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. Pati adalah berupa benda keramik. Pati digunakan untuk mengganti rugi atas kematian orang lain, sedangkan mati berarti mati, meninggal dunia, hilangnya nyawa. Adat pati mati dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adat pati mati tidak sengaja tetapi menyebabkan kematian dan adat pati mati sengaja yang menyebabkan kematian. Apabila tindakan tersebut terjadi maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat.

§  Sanksi hukum adat (dimensi sosial).
Pati mati tidak sengaja.
-       Apabila terjadi pelanggaran pati mati tidak sengaja, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 170 real.
Pati mati sengaja.
-       Apabila terjadi pelanggaran pati mati sengaja, maka pelaku dikenakan sanksi dengan membayar 250 real.
-       Sanski hukum adat yang telah dibayar diberikan pada pihak yang dirugikan (orang tua, wali, ahli waris).
-       Biaya penguburan korban yang meninggal ditanggungkan oleh pelaku.
§  Pati
Benda-benda yang digunakan sebagai ganti nyawa:
Selain membayar sanksi hukum adat di atas, pelaku pelanggaran juga diwajibkan meyerahkan pati, benda-benda pati adalah sebagai berikut:

Table 1: Nama-nama  benda (pati) sanksi hukum adat pati mati sengaja maupun tidak sengaja.

No
Nama Benda
Pengganti Organ Tubuh
1
1 Buah Tawak
Suara
2
1 Buah Tajau
Kepala
3
1 Buah Par
Telinga
4
1 Buah Tepayan
Perut
5
1 Buah Manuh
Badan
6
1 Buah Lajur
Kaki-Tangan
7
1 Buah Bantas
Mata
8
1 Buah Tepayan Kuning
Kelamin
9
1 Buah Pinggan patah enam
Mulut
10
5 Buah Pinggan patah empat
Lidah
11
1 Buah Bedil
Paha

·           Adat pati idup.[50]
Adat pati idup adalah hukum adat yang melarang seorang melakukan tindak pembunuhan, meskipun hanya menyebabkan orang tersebut cacat (masih hidup). Idup artinya hidup. Orang yang hendak dibunuh tidak sampai kehilangan nyawanya. Adat pati idup juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu adat pati idup sengaja dan adat pati idup tidak sengaja. Apabila terjadi tindakan tersebut di atas, maka pelaku dikenakan sanksi hukum adat.
§  Sanksi hukum adat (dimensi sosial).  
Adat pati idup sengaja.
-       Apabila seseorang melakukan pelanggaran adat pati idup sengaja maka dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 125 real.
Adat pati idup tidak sengaja.
-       Apabila seseorang melakukan pelanggaran adat pati idup tidak sengaja, maka dikenakan sanksi hukum adat dengan membayar 70 real.
§  Dimensi religius.
Baik adat pati mati sengaja dan tidak sengaja maupun pati idup sengaja dan tidak segaja, pelaku pelanggaran tersebut di atas dengan kesadaran religius meyerahkan babi 3 renti, manuk sikuk mangkok singkap kepada pengurus adat sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan batin yang mendalam.
Keterangan I   : satuan sanksi hukum adat.
1)      Tael adalah istilah yang digunakan untuk memberi denda kepada suatu pelanggaran yang sifatnya ringan. Tael  adalah satuan denda yang paling kecil.
2)      Pun tepayan adalah istilah untuk menyebut jumlah. Sedangkan tepayan  berarti tempayan. Pun tepayan berarti satu tempayan.
3)      Tael mangkal berarti hanya tael tanpa ditambah tempayan. Mangkal berarti hanya atau cuma.
4)      Pun manuh adalah kelipatan dari pun tepayan. Manuh benda keramik yang mirip tempayan, namun berukuran lebih besar. Pun manuh dapat diganti dengan dua buah tempayan.
5)      Manuk sikuk mangkok singkap artinya satu ekor ayam dan sutu buah mangkok. Sikuk artinya satu untuk binatang, sedangkan singkap artinya satu untuk benda seperi mangkok dan piring.
6)      Real adalah istilah yang digunakan untuk memberi denda kepada suatu pelanggaran yang sifatnya berat. Real  adalah satuan denda yang paling besar. Real merupakan kelipatan dari tael. 1 real = 10 tael.
7)      Renti adalah istilah yang digunakan untuk menyebut satuan/ukuran/jumlah banyak/jumlah berat seekor babi. 1 renti = ± 15 kg.
8)      Pati adalah benda keramik berupa tempayan, mangkok, piring dll, binatang, seperti ayam dan babi.
Keterangan II : tabel 1
1)      Tawak:  gong
2)      Tajau: tempat yang terbuat dari kulit kayu, berdiameter ± 2-3 meter, biasanya digunakan untuk menyimpan beras.
3)      Par: tampah yang terbuat dari tembaga.
4)      Tepayan: tempayan, terbuat dari keramik.
5)      Manuh: mirip tempayan namun ukurannya dua kali lebih besar.
6)      Lajur:  kujur, berujung lancip, terbuat dari besi, merupakan benda antik yang digunakan oleh nenek moyang untuk berperang dan berburu.
7)      Bantas: sejenis tajau terbuat dari keramik, dua kali lebih besar dari tajau dan mempunyai tutup.
8)      Tepayan kuning:   tempayan terbuat dari kuningan.
9)      Pinggan patah enam:  piring batu yang berdiameter ± ½. Pada bagian samping berbentuk gelombang atau setengah lipatan yang berjumlah enam.
10)  Pinggan patah empat:  piring batu yang berdiameter ±½. Pada bagian samping berbentuk gelombang atau setengah lipatan yang berjumlah empat.
11)  Bedil: meriam kuno, yang digunakan untuk berperang jaman kerajaan, terbuat dari besi.
Keterangan III: sanksi religius (ritual adat dan penggunaan hewan kurban).
1)      Setiap pelanggaran yang dilakukan, (kecuali bediau keranang), dengan kesadaran relirius pelaku menyerahkan babi, ayam, mangkok kepada pengurus adat sebagai persembahan kepada Petara dan sebagai ungkapan penyesalan batin yang mendalam. Babi dan ayam tersebut akan dukurbankan kepada Petara melalui ritual adat yang dipimpin oleh sesepuh adat setempat.
2)      Mangkok dimaksudkan sebagai tempat untuk menyimpan darah kurban (ayam) yang telah disembelih.
3)      Pada pelanggaran yang hanya menggunakan ayam dan mangkok ritual adat berbeda dengan pelanggaran yang menggunakan babi.
4)      Ritual adat dilakukan di tempat dimana terjadi suatu pelanggaran. Pada umumnya di rumah pelaku.
5)      Khusus untuk pelanggaran zinah dan jenisnya, babi yang disembelih diseret di sekitar halaman serta tangga rumah  pelaku perzinahan dengan maksud darah kurban tersebut menyucikan rumah dan seluruh isi rumahnya. Ritual adat dilakuakan di tepian sungai atau di alam terbuka sebagai simbol penyatuan kembali dengan alam.
6)      Pokok-pokok doa/ritual dengan menggunakan ayam atau disebut dengan buah sampi. Buah sampi artinya pokok-pokok doa. Dalam ritual ini seluruh penduduk kampung duduk bersama dan pemimpin upacara mengucapkan doa-doa berikut ini:
                                             (Ritual 1)
                 Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Enam kematari padam, matari tengelam, matari mati, matari lesi, mulai keadai, te sial, te gatal, te mali, te badi, nyuruh menawak, nyuruh ikak, nyuruh tulah, nyuruh rangkah. Nya am dunan mata ari padam, mata ari tengelam, mata ari matai, mata ari lesi. Anyut ke buntut laut ke pauh jengi, hemaduk ensiring bunyi. Isak kami nisik apa, nisi nema, nisik leman, nisik dayan, kami idup biasa, idup semula. Tuba kayu tuba, ngamak kayu biyu. Udah aku nipah, aku miyah temali tebadie, jalai ku ngumai Petara nyuruh ayu ngintu ngingu. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Tujuh kematari tumuh, isak tumuh ayu, tumuh buru, tumuh semengat, tumuh berkat, tumuh tuah, tumuh limpah, tumuh mudal, tumua real. Klamik kami bisik cinta kami ada, isak kami nyamai idup gerai, nyawa kak makai, umur panyai. Kur semengat, kur semegat, kursemengat.[51]

7)      Arti doa-doa ritual: 1
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam.
(Satu, dua, tiga, empat, lima, enam).
Enam kemata ari padam, matari tengelam, matari mati, matari lesi.
(Enam bersama matahari padam, matahari tenggelam, matahari mati, matahari hilang).
Mulai keadai, te sial,te gatal, te mali, te badi, nyuruh menawak, nyuruh ikak, nyuruh tulah, nyuruh rangkah.
(Apabila ada yang sial, yang gatal, yang tidak halal, yang membuuat celaka, membuat tulah, membuat serakah).
 Nya am dunan matari padam, matari tengelam, matari mati, mata ari lesi.
(Dibawa serta matahari padam, matahari tenggelam, matahari mati, matahari hilang).
 Anyut ke buntut laut ke pauh jengi, hemaduk ensiring bunyi.
(Hanyut ke buntut laut, ke tempat yang jauh, tempat yang tidak mampu didengar lagi).
 Isak kami nisik apa, nisi nema, nisik leman, nisik dayan, kami idup biasa, idup semula.
(Biar kami tidak celaka, tidak binasa, kami hidup biasa seperti semula).
Tuba kayu tuba, ngamak kayu biyu.
(Kayu-kayu menghalang, sial).
 Udah aku nipah, aku miyah temali tebadie, jalai ku ngumai Petara nyuruh ayu ngintu ngingu.
(Sudah dibuang, sudah disingkirkan, yang tidak halal, supaya aku panggil Petara minta pelihara, minta dijaga).
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh.
(Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh).
Tujuh kematari tumuh, isak tumuh ayu, tumuh buru, tumuh semengat, tumuh berkat, tumuh tuah, tumuh limpah, tumuh mudal, tumuh real.
(Tujuh bersma matahari terbit, supaya terbit roh, terbit berkat, terbit tuah yang melimpah, terbit harta kaya raya).
Klamik kami bisik cinta kami ada, isak kami nyamai idup gerai, nyawa kak makai, umur panyai.
(Sandang pangan  dan cinta kami ada, agar kami hidup senang, hidup segar, umur kami panjang).
Kur…. semengat, kur semegat, kursemengat
(O… roh. … O… roh. … O …. Roh ).
Makna doa ritual:
Pokok-pokok doa ritual diatas mengandung makna sebagai berikut[52]:
·      Permohonan kepada Petara agar mengampuni segala kesalahan dan dosa, yang diakibatkan oleh prilaku manusia.
·      Memohon kepada Petara agar memberikan berkat yang melimpah atas hidup mereka dan roh yang bijak sana.
·      Permohonan bagian pertama ditandai dengan menghitung dari satu sampai enam. Angka enam adalah angka yang dianggap membawa kesialan dan mala petaka, maka dengan hitungan angka keenam semua jenis sial dan mala petaka disebutkan. Selanjutnya diteruskan dengan menyebut matahari. Matahari adalah simbol dua unsur kehidupan manusia. Unsur pertama unsur keburukan yang disimbolkan dengan matahari terbenam dan yang kedua  unsur kebaikan yang disimbolkan dengan matahari terbit. Oleh karena itu pada hitungan keenan pemimpin upacara sekaligius menyebutkan kata-kata matahari padam, matahari, tenggelam, matahari mati, matahari hilang. Padam, tenggelam, mati hilang, sebenarnya mempunyai maksud yang sama dan satu, yaitu matahari terbenam. Dengan terbenamnya matahari, maka terbenam pula segala kesialan, dosa, kesalahan yang telah dilakuakan manusia.
·      Di tengah-tengah doa ada kata-kata “ku panggil Petara”.  “Aku” bermakna jamak atau bermakna “kami”. Karena seluruh doa-doa dari penduduk yang berkumpul, telah diwakilkan kepada tetua adat yang memimpin upacara. Pada bagian ini, diucapkan setelah semua bentuk kesialan yang dibuat oleh manusia diandaikan sudah terhapuskan yang disimbolkan dengan sifat-sifat alam tersebut di atas. Kemudian dengan kesucian dan kemurnian hati dan pikiran, menyapa Petara dan mengucapkan permohonan-permohonan berikutnya.
·      Permohonan bagian kedua dengan menghitung dari satu sampai tujuh. Angka tujuh menyimbolkan kesempurnaan. Maka pada hitungan ketujuh disertai dengan menyebut matahari terbit. Kedua-duanya memiliki makna kebaikan. Dengan terbitnya matahari maka terbit pulalah segala berkat dan rahmat dari Petara. Matahari terbit adalah lambang hidup baru, hidup dalam kelimpahan berkat dan rahmat. Matahari terbit adalah tanda cinta dan kesetiaan Petara kepada manusia yang senantiasa memberikan cahaya. Cahaya matahari adalah cahaya dari Petara sendiri yang mampu membuat manusia melihat kebesaran dan kemurahannya.
·      Doa diakhiri dengan menyerukan semengat. Semengat artinya roh. Kata-kata ini diserukan sebanyak tiga kali. Angka tiga juga menyimbolkan kegenapan dan kesempurnaan. Rumusan terakhir ini menutup seluruh isi doa.
·      Setelah pemimpin upacara mengucapkan doa-doa, kemudian pemimpin upacara mengambil parang yang terbuat dari besi dan menggigitnya sambil mengucapkan “kering besi kering semengat”. Kemudian diberikan kepada semua orang yang berkumpul dalam upacara ada tersebut, serta dilakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh pemimpin upacara. Besi menyimbolkan kekuatan dan keperkasaan. Pada saat menggigit besi disimbolkan memasukkan kekuatan dan keperkasan dalam diri seseorang. Kekuatan yang dimaksudkan adalah kekuatan roh, maka disebut “kering besi kering semengat” artinya, kuat besi kuat pula roh. Kekuatan roh dimohonkan agar roh manusia mampu melawan kekuatan hawa nafsu yang dapat menjerumuskan manusia pada  tindakan-tindakan jahat. Sikap dan keberanian manusia untuk menolak tawaran-tawaran kejahatan disimbolkan dengan sebilah parang yang tajam.

8)      Alasan penggunaan ayam sebagai kurban persembahan kepada Petara. Menurut filosofi suku Dayak Banyur, ayam merupakan hewan yang dekat dengan manusia. Ayam dipelihara hampir oleh semua penduduk suku Dayak Banyur. Bahkan ada ayam yang dipelihara dan dijaga sedemikian rupa seperti memperlakukan manusia. Dengan kata lain, ayam mempunyai keistimewaan khusus bagi mereka. Oleh karena itu apa yang diberikan kepada Petara adalah yang terbaik dari manusia.
9)      Pokok-pokok doa/ritual/buah sampi dengan menggunakan hewan kurban babi.
                                                      (Ritual 2)
                 Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Enam kematari padam, matari lesi, matari mati. O Petara, kami munuh babi besai, manuk belangai, ngau kami bekebau, ngau kami betiau, ngau kami betipah, ngau kami biah, ngau kami betepas, ngau kami bekuras, antu te mali, antu te badi. Kami tulak, kami kebau, kami tipah, kami biah. Antu te budu, antu te mawa, antu te tulah, antu te nyuruh takah. Antu te jai nyawa mulut, te jai ati perut, empuang empesut, te nyakit ngibut, te ngetil ngetup. Nyak te kami tungkah, te kami tipah, te kami biah. Kami anyut ke laut, ke pun pauh jengi, sisi langit laki, pemadam matari, penyangkak jarang jari, pemaduk ensiring bunyi. Suruh ancur suruh lebur uleh Nuan Petara. suruh dalam tujuh ke baruh bumi. Isak nadai ngaru kami, nadai ngerintang, nadai ngelalang pemasang pengidup kami. Nyak te kami pinta ngau Nuan Petara.
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Tujuh kematari tumuh. O Petara, tuk kami ngangau, kami ningkau, kami ngumai kami nimpai. Nyuruh mening, nyuruh ningai, nyuruh medak, nyuruh Nuan Datai. Kami munuh babi besai, manuk belangai. Minta intu, minta kingu. Ayu umur kami suruh panyai. Tubuh suruh gerai, peniau suruh nyamai, nyawa kak makai. Duduk ari biak sampai ketuai, beanak, beapai. Ayu guru, gerai nyamai. Kering semengat, kering ari besi, kering ari baja. Ayu tingik ari bukit, tingik ari langit. Kur. Semengat berkat selamat. Nadai sik apa nama, nadai sik leman dayan. Tuk tekami pintak ari Nuan Petara. Kur semengat kami semua anak mensia. Kur semengat.[53]

10)  Arti doa-doa ritual: 2
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam.
(Satu, dua, tiga, empat, lima, enam).
Enam kematari padam, matari lesi, matari mati.
(Enam bersama matahari padam, matahari tenggelam, matahari, hilang, matahari mati )
O Petara, kami munuh babi besai, manuk belangai, ngau kami bekebau, ngau kami betiau, ngau kami betipah, ngau kami biah, ngau kami betepas, ngau kami bekuras, antu te mali, antu te badi.
(O Petara, kami mempersembahkan babi besar, ayam besar, untuk menolak bala)
Kami tulak, kami kebau, kami tipah, kami biah
(Kami tolak, kami, halau, kami tepis, kami tangkis).
Antu te budu, antu te mawa, antu te tulah, antu te nyuruh takah.
(Setan tulah, yang membuat serakah)
 Antu te jai nyawa mulut, te jai ati perut, empuang empesut,te nyakit ngibut, te ngetil ngetup.
(Setan yang buruk lidah, jahat hati dan maksud, yang bisa mendatangkan penyakit, dan celaka).
Nyak te kami tungkah, te kami tipah, te kami biah.
(Setan itu yang kami, tolak, yang kami halau, yang kami tepis, yang kami tangkis).
Kami anyut ke laut, ke pun pauh jengi, sisi langit laki, pemadam matari, penyangkak jarang jari, pemaduk ensiring bunyi.
(Kami hanyutkan ke laut, ke ujung langit laki, tempat terakhir matahari tenggelam, sejauh suara tak terdengar).
Suruh ancur suruh lebur uleh Nuan Petara.
(Kami mohon kepada Petara supaya dihancur dan dileburkan)
Suruh dalam tujuh ke baruh bumi.
(sedalam tujuh kali di bawah bumi). Isak nadai ngaru kami, nadai ngerintang, nadai ngelalang pemasang pengidup kami.
(Biar tidak mengganggu, merintangi dan menghalangi masa depan hidup kami).
Nyak te kami pinta ngau Nuan Petara.
(Itu semua yang kami minta dari Petara).
Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Tujuh kematari tumuh.
(Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh. Tujuh bersama mataharai terbit).
O Petara, tuk kami ngangau, kami ningkau, kami ngumai kami nimpai.
(O Petara, sekarang ini kami undang untuk datang).
Nyuruh mening, nyuruh ningai, nyuruh medak, nyuruh Nuan datai. (Mohon Petara mendengarkan dan melihat serta mohon hadir).
Kami munuh babi besai, manuk belangai.
(Kami mempersembahankan babi dan ayam besar).
Minta intu, minta kingu.
(Mohon Petara memelihara hidup kami).
Ayu umur kami suruh pannyai.
(Agar kami umur panjang).
Tubuh suruh gerai, peniau suruh nyamai, nyawa kak makai.
(Badan kami segar dan sehat).
Duduk ari biak sampai ketuai, beanak, beapai.
(Mulai dari anak-anak sampai yang tua)
 Ayu guru, gerai nyamai.
(Roh bijaksana, raga kami sehat).
Kering semengat, kering ari besi, kering ari baja.
(Kuat roh, kuat dari pada besi, kuat dari pada baja).
 Ayu tingik ari bukit, tingik ari langit.
(Roh kami tinggi melebihi bukit dan melebihi langit).
 Kur. Semengat berkat selamat.
(O.. roh.. kami penuh berkat dan selamat).
Nadai sik apa nama, nadai sik leman dayan.
(Tidak ada masalah apa-apa)
Tuk tekami pintak ari Nuan Petara.
(Semua ini yang kami minta kepada Petara)
Kur semengat kami semua anak mensia. Kur semengat.
(O.. Roh kami semua anak manusia).
Pokok-pokok doa ritual diatas mengandung makna sebagai berikut:[54]
·      Menyampaikan kepada Petara bahwa akan mempersembahkan hewan kurban untuk menebus kesalahan. 
·      Memohon agar Petara berkenan hadir dalam upacara tersebut
·      Memohon kepada Petara agar menghalau semua jenis kejahatan yang dapat menimpa manusia.
·      Memohon kepada Petara agar memberikan pengampunan.
·      Memohon kepada Petara agar memberikan anugerah berkat dan keselamatan kepada manusia.
·      Memohon kepada Petara agar memberikan kebijaksanaan dan kekuatan roh.
·      Ctt: lain-lain mempunyai makna yang sama dengan upacara 1.


g.      Nilai-nilai Hukum Adat
1)      Hukum Adat Sebagai Pedoman Hidup
                  Hukum adat suku Dayak Banyur adalah sebuah hukum yang berdiri atas dasar nilai-nilai budaya mereka. Budaya suku Dayak  Banyur ini secara keseluruhan dimengerti sangat luas dan abstrak. Oleh karena itu hukum adat merupakan salah-satu produk budaya yang dihasilkan oleh keanekaragaman nilai-nilai tersebut. Hukum adat secara spesifik adalah gagasan mengenai tata norma berprilaku dan sebuah konsep indealisme yang berusaha membangun karekteristik individu yang mampu bersosialisasi dengan baik. Norma yaitu aturan-aturan yang perumusannya terinci, jelas dan tegas dan tidak meragukan.[55] Norma-norma inilah yang kemudian diletakkan dalam suatu sistem hukum adat agar memiliki wibawa dan kekuatan untuk mengatur tata cara berprilaku. Sistem norma dan aturan baik yang bersifat ringan maupun berat diaktualisasikan melalui keragaman jenis-jenis hukum adat. Jenis-jenis hukum  adat ini kemudian secara eksplisit masuk dan menjelma dalam jiwa dan pikiran mereka serta membuat kategori-kategori atau pemilahan jenis tindakan. Seluruh gagasan mengenai hukum adat dicita-citakan untuk dapat mewujudkan sebuah sistem yang baku, yang dapat dipegang bersama-sama dalam melaksanakan proses kehidupan sosial.
Oleh karena itu hukum adat menjadi pedoman hidup dihargai dan dianggap bernilai bagi mereka.
                  Sebagai pedoman hidup, hukum adat menjadi suatu gagasan yang mempunyai kekuatan sebagai usaha memberikan batas-batas bagi masyarakat suku Dayak Banyur dalam berpikir dan bertindak. Seluruh gerak hidup mereka didasarkan pada hukum adat yang ada. Selain merupakan manisfestasi dari budaya yang bernilai kompleks, pemahaman hukum adat sebagai pedoman hidup juga didasarkan pada fakta dan peristiwa dari pengalaman perjalanan hidup mereka. Kemampuan mereka memahami hukum adat sebagai tolak ukur berprilaku, didukung pengalaman hidup sehari-hari yang mereka saksikan dan rasakan bersama. Melalui pengalaman hidup,  hukum adat sungguh-sungguh mempunyai arti dan makna bagi mereka. Fenomena-fenomena sosial yang terarah pada peranan hukum adat, memberikan pemahaman dan pengertian baru yang turut menambah kewibawaan hukum adat itu sendiri. Sebagai pedoman hidup, hukum adat terbukti mampu memberikan efek bagi seluruh masyarakat suku Dayak Banyur. Dengan kata lain, pembuktian hukum adat sebagai pedoman hidup  nampak pada peristiwa-peristiwa pelanggaran norma yang telah terjadi. Dengan demikian dukungan terhadap pematuhan hukum adat menjadi semakin besar dan tidak satu pun tindakan-tindakan yang terlewatkan dari hukum adat. Oleh karena itu, hukum adat menjadi satu-satunya hukum yang pertama dan utama dalam menentukan sikap, pikaran dan tingkah laku mereka. Pengharagaan terhadap hukum adat yang sedemikian tinggi itu dipahami oleh seluruh anggota masyarakat suku Dayak Banyur dan dengan sendirinya diteruskan kepada anak cucu mereka dengan nilai dan peranan serta tujuan yang sama pula. Proses ini terus berkelanjutan dari generasi ke generasi dan semakin mantap dengan fakta dan peristiwa perjalanan pengalaman hidup yang cukup panjang.

2)      Hukum Adat, Religius dan Moral
                  Selain merupakan pedoman hidup yang mempunyai sifat jasmani dan lahir berdasarkan keutamaan-keutamaan sosial, hukum adat juga mempunyai keutamaan-keutamaan rohani yang lahir berdasarkan sistem kepercayaan sejak dahulu kala dipegang dan dilestarikan. Nilai hukum adat sebagai aspek rohani memberikan gambaran bahwa masyarakat suku Dayak Banyur tidak hanya hidup berdasarkan kepentingan manusiawi belaka. Perjalanan pengalaman hidup suku mereka diyakini adanya keterlibatan atau campur tangan dari Petara.  Untuk mengerti dan memahami lebih mendalam tentang hubungan hukum adat sebagai aspek yang bernilai religius, tentunya harus megetahui bagaimana pandangan suku Dayak Banyur terhadap ilah tertinggi yang diyakini dan dipercaya adalah Tuhan yang satu dan yang sama menurut keyakinan dan kepercayaan lainnya. Seperti apa yang telah diuraikan di latar belakang dan beberapa poin sebelumnya, suku Dayak Banyur mempunyai pemahaman dan pandangan yang khas mengenai Tuhan. Mereka menyebut tuhan dengan sebutan Petara. Petara berasal dari dua suku kata yaitu Pai dan Tara, Pai artinya Bapak.[56] Sedangkan Tara menunjukkan sifat dari Pai. Sifat tersebut menyangkut kekuasaan dan keagungan yang tiada taranya. Tidak mampu dipahami dan dimengerti oleh manusia. Dalam bahasa suku Dayak Banyur kedua suku kata tersebut digabung menjadi Petara. Menurut suku Dayak Banyur Petara, digambarkan sebagai seorang bapak yang bijaksana dan mempunyai kuasa tertinggi atas manusia dan seluruh alam semesta.[57] Sebutan bapak menunjukan hubungan kedekatan dan keakraban mereka dengan Petara, seorang bapak mampu memberikan rasa aman dan nyaman serta memberikan perlindungan kepada anak-anaknya. Mereka sendiri adalah anak-anak dari Petara. Tempat Petara adalah surga.[58] Dalam bahasa suku Dayak Banyur adalah Sebayan, sebayan adalah alam seberang, tempat orang-orang baik yang telah meninggal dunia. Sebayan inilah yang dimengerti sebagai alam atas, alam yang tinggi, oleh karena itu untuk mencapainya orang harus berkelakuan baik dan taat kepada Petara. Kata tinggi menunjukkan bahwa tempat tersebut adalah tempat agung yang mempunyai makna dan nilai tinggi. Petara itu baik Dialah yang maha baik meskipun manusia itu tidak baik.[59] Kebaikan Petara menyangkut sifatnya. Petara memberikan pengampunan kepada orang yang bersalah dan memberikan berkat serta rahmat kepada semua orang. Kebaikan Petara juga menyangkut sifat kebapakannya, Dia melindungi menjaga dan memelihara manusia sebagai anak-anaknya. Petara tidak ada awal dan tidak ada akhirnya.[60] Dia ada selama-lamanya dan megetahui, melihat serta mengenal manusia dengan seluruh niat dan perbuatannya.
                  Dari uraian di atas, maka dapat dengan mudah bagai mana memahami campur tangan Petara terhadap hukum adat. Hukum adat merupakan satu kesatuan nilai hidup yang mempunyai dimensi religius. Keutamaan-keutamaan dalam bertingkah laku erat kaitannya dengan sikap dan sifat seseorang terhadap Petara. hukum adat menjadi bagian dari unsur yang tidak dapat dijelaskan manusia dengan akal dan pikiran. Hukum adat secara langsung dipahami sebagai keutuhan yang memberikan keseimbangan terhadap dua dimensi itu. Bagaimana seseorang menghargai dan mematuhi hukum adat, merupakan gambaran seseorang yang mengenal dan mengetahui Petara dengan baik. Sebab dalam hukum adat, nilai norma dan tingkah laku manusia ditentukan sedemikian rupa, norma tingkah laku manusia itulah yang menunjukkan dimensi religius ini. Seorang yang mentaati hukum adat berarti dengan sadar ingin memberikan dan mempersembahkan segala hidup dan kebaikannya kepada Petara. Secara langsung tidak ditemukan kapan, dimana dan kepada siapa Petara mengilhamkan hukum adat tersebut, namun bagi suku Dayak Banyur, mereka percaya bahwa Petara-lah yang membuat mereka mematuhi hukum adat. Mereka yakin, melalui kebijaksanaan, dan kearifan nenek moyang Petara ikut campur tangan. Keterbatasan nenek moyang dalam membangun konsep hukum adat didukung dan disempurnakan oleh Petara. Oleh sebab itu setiap pelanggaran yang dilakukan oleh manusia dimohonkan kepada Petara agar diberikan pengampunan. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa manusia telah melanggar hukum-hukum Petara dan yang berhak memperbaiki keselahan tersebut secara total hanyalah Petara. Petara dipandang setuju dan berkenan terhadap hukum adat yang ada. Tidak semerta-merta dilihat bahwa manusialah yang memohon agar Petara setuju, namun sudah dari sejak dahulu kala Petara melalui nenek moyang bekerja sama dengan manusia dan menghendaki agar manusia meneruskan hukum adat tersebut dalam kepercayaan rohani dan jasmani.
                  Selain dari pada itu, sesuai dengan sifat hukum adat yang mempunyai dua dimensi, religius dan sosial (jasmani), maka hukum adat tersebut dengan kewibaan religius mengatur dan menjaga sikap dan tingkah laku manusia. Sikap dan tingkah laku ini berkaitan dengan tata cara norma, sedangkan tata cara norma adalah wujud dari pemeliharaan moral manusia. Hukum adat dalam hal ini mempunyai nilai yang mendasar yang mengandung nilai-nilai moral. Hidup dan prilaku manusia mencerminkan kualitas moral pribadinya. Hukum adat secara jelas dan tegas mengarahkan manusia agar hidup seturut moral yang benar. Oleh karena itu pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum adat secara keseluruhan (dua dimensi), diberikan sanksi moral. Secara mendasar hukum adat mempertegas nilai-nilai moral yang ada. Moral sudah ada dalam hati dan pikiran manusia, hukum adat berperan sebagai penjelas, pemilah, atau yang memberi kreteria-kreteria khusus menyangkut tindakan-tindakan moral. Pelanggaran-pelanggaran moral yang mendasar sudah mempunyai konsep yang negatif dalam hati dan pikiran seseorang. Hukum adat memeberikan pencerahan mengenai apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh manusia tersebut. Oleh sebab itu, hukum adat selalu memiliki makna dan nilai moral. Menurut suku Dayak Banyur apa yang muncul dalam hati dan pikiran mereka mengenai hukum adat merupakan wujud dari pemikiran-pemikiran dan pemahaman mengenai moral. Hukum adat meralarang mereka  untuk melakukan pelanggaran moral sekaligus langsung berkaitan mengenai sanksi hukum terhadap pelanggaran tersebut. Dengan kata lain, sesuai dengan maksud dan tujuan hukum adat, segala bentuk prilaku yang melawan moral mempunyai dampak sanksi hukum adat secara jelas dan terperinci. Demikianlah dapat digambarkan mengenai nilai-nilai hukum adat dipandang secara moral.

B.     Kitab Keluaran dan Sepuluh Firman
1.      Karakteristik Kitab Keluaran
a.      Judul Kitab Keluaran
            Kitab Keluaran merupakan kitab kedua dalam Pentateukh yang melanjutkan kisah dalam Perjanjian Lama. Ada tiga judul yang diberikan untuk meyebut Kitab Keluaran yaitu, pertama, dalam bahasa Ibrani, sesuai dengan kebiasaan kuno yang lazim dipakai di Timur Dekat dipakai kata-kata We’ eleh syemot, yang berarti “Inilah nama”.[61] We’eleh syemot juga biasanya disatukan dengan syemot, yaitu, “nama”. Kedua, dalam hampir semua terjemahan baik dahulu maupun sekarang, terdapat judul yang menekankan suatu peristiwa yang penting sekali yang diriwayatkan di dalamnya, yaitu keluaran umat Israel dari Mesir memakai judul Exodos (judul yang dipakai di Septuaginta Perjanjian Lama, terjemahan ke dalam bahasa Yunani, dibuat pada abad ke-3 SM). Eksodos berarti “keluaran”. Ketiga, Vulgata (terjemahan ke dalam bahasa Latin yang dibuat kira-kira tahun 400 M, adopsi dari bahasa Yunani) dalam terjemahan bahsa Inggris menggunakan istilah Exodus, yang artinya  sama yaitu keluaran.

b.      Pengarang Kitab Keluaran
            Kitab Keluaran sangat erat kaitannya dengan Pentateukh, oleh karena itu untuk membahas mengenai siapa pengarang Kitab Keluaran, selalu meyelidiki keterkaitannya itu dengan Pentateukh secara keseluruhan, sebab semua kitab dalam Pentateukh saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Menurut tradisi Ibrani, Musa-lah yang disebut sebagai pengarang Kitab Keluaran. “Tuhan memperdengarkan suara-Nya kepada Musa, dan menghantar dia masuk ke dalam kegelapan. Berhadapan muka Tuhan memberikan perintah-perintah-Nya kepadanya, yaitu Taurat sumber kehidupan dan pengetahuan, supaya Musa mengajarkan perjajian itu kepada Yakub  dan keputusan-keputusan Tuhan kepada Israel” (Sir 45:5). Data ini juga didukung oleh Perjanjian Baru yang juga merujuk mengenai pengarang Kitab Keluaran tersebut. Yesus mengatakan “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka” (Mrk 1:44). Selain dikatakan oleh Yesus sendiri, hal yang sama mengenai pengarang Kitab Keluaran juga disampaikan oleh para murid pada saat mereka memberi kesaksian tentang Yesus, “Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para nabi, ……….. “ (Yoh 1:45).  Sedangkan dalam Kitab Keluaran sendiri memberikan saksi yang turut mendukung pendapat ini, “Kemudian berfirmanlah Tuhan kepada Musa: Tuliskanlah semuanya ini dalam sebuah kitab sebagai tanda peringatan,……. “ (Kel 17:14). Tradisi ini diterima oleh semua orang sampai abad ke-18 Masehi.[62]
            Namun demikian, data-data di atas mempunyai beberapa kesulitan. Beberapa kitab Perjanjian lama justru bersinggungan dengan pendapat tersebut. Hal ini terbukti dalam riwayat mengenai kematian Musa (Ul 34:1-12). Dalam kutipan-kutipan Ul 34:1:12, dikisahkan mengenai kematian Musa, secara logika hal ini tentu tidak dapat diterima begitu saja, alasannya ialah tidak mungkin Musa menulis tentang kematiannya yang kemudian diketahui merupakan data yang diperoleh lama setelah kematian Musa. Bahkan implikasi ungkapan “Seperti Musa dikenal Tuhan dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi-nabi yang bangkit di antara orang-orang Israel” ialah riwayat yang ditulis cukup lama sesudah zaman Musa itu.[63] Menurut keterangan dari kitab Kejadian, yaitu laporan mengenai raja-raja yang memerintah di tanah Edom bahwa dalam ayatnya ditulis: “Inilah raja-raja yang memerintah di tanah Edom, sebelum ada raja yang memerintah atas orang Israel” (Kej 36:31). Kenyataan kutipan ayat tersebut mengindikasikan bahwa kata-kata itu ditulis sesudah kerajaan Israel didirikan, sekurang-kurangnya dua ratus tahun sesudah Musa. Jadi ayat tersebut mengisyaratkan keraguan mengenai Musa sebagai penulis Pentateukh termasuk di dalamnya kitab Keluaran. Atau sederhananya bahwa kutipan itu ditulis jauh sesudah kematian Musa, sehingga menjadi tidak mungkin apabila Pentateukh, khususnya Keluaran adalah karya Musa. Petunjuk lain yang juga turut mendukung ialah “Setelah mereka sampai ke Goren-Hataad, yang di seberang sungai Yordan, maka mereka mengadakan di situ ratapan yang sangat sedih dan riuh; ………… Itulah sebabnya tempat itu dinamai Abel Mizraim, yang letaknya di seberang sungai Yordan” (Kej 50:10-11). Kata seberang sungai Yordan di sini jelas dimaksudkan sebelah timur sungai Yordan, maka logikanya bahwa pengarang berada di sebelah barat sungai Yordan. Jika Musa penulisnya, pasti Musa tidak menyatakan hal itu karena dia tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah perjanjian.[64] Dalam kitab berikutnya, yaitu Bilangan, juga terdapat data mengenai penyebutan nama tempat oleh pengarang, “Kemudian berangkatlah orang Israel, dan berkemah di dataran Moab, di daerah seberang sungai Yordan dekat Yerikho” (Bil 22:1). Kata-kata tersebut menyebut nama tempat yang merupakan daratan Arab (sebelah timur sungai Yordan), dengan demikian jelas ungkapan tersebut menggambarkan bahwa penulis berada di sebelah barat, tempat yang tidak pernah dikunjungi Musa.  
            Dengan demikian sulit menerima bahwa Musa sendiri yang menulis Pentateukh khususnya Keluaran dengan semua  bahan dan dalam masa yang sama, sebab terdapat banyak perbedaan yang tanpak pada teks-teks paralel dan gaya sastranya yang kontradiksi. Para ahli berpendapat bahwa, kumpulan kitab-kitab dalam Pentateuk berasal dari sumber yang berbeda. Sumber-sumber itu kemudian digabungkan menjadi satu kesatuan yang merupakan rangkaian kisah-kisah yang dihubungkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, jika melihat dari sudut pandang ini, maka penulisnya bukan hanya satu orang dan juga tidak berasal dari waktu dan generasi yang sama.
            Secara garis besar, tradisi-tradisi yang terlibat dalam sastra kitab Keluaran dapat dilihat sebagai berikut. Pertama, disebut Yahwis (Y), yang menulis pada abad X SM, pada saat pemerintahan Daud dan Salomo mencapai puncak kejayaannya.[65] Bahan dari sumber Y merupakan cerita yang hampir sempurna yang dimulai dari penciptaan dunia dalam Kejadian 2:4b-25. Sumber Y mengumpulkan bermacam-macam tradisi dan mempersatukannya ke dalam satu riwayat. Sumber Y secara khas memakai istilah YHWH, mewakili nama Allah. Y mempunyai pembendeharaan kata spesifik serta gaya bahasa yang mengalir. Selain dari pada itu kekhasan dalam menyebut tempat yaitu gunung tempat nama Musa dipanggil dan Tuhan menampakkan diri disebut Gunung Sinai. Kedua, yaitu E. Sumber E banyak merenungkan kekacauan religius dan sinkretisme pada abad IX-VII SM.[66] Sumber E mempunyai sifat-sifat yang berbeda dengan Y, yaitu E memakai istilah Elohim untuk menyebut Allah dan gunung tempat Musa dipanggil yaitu Gunung Horeb. Sumber Y dan E sulit dibedakan sehingga keduanya sering dianggap sumber tunggal, JE. Ketiga, yaitu P. sumber P (priest, imam), yang memberi gambaran pengharapan pada masa pembuangan antara abad VII-VI SM.[67] Sumber P disusun para imam dan dalam riwayat tentang peristiwa-peristiwa banyak disisipkan silsilah serta peraturan. Dalam kitab Keluaran ada catatan singkat tentang penindasan orang Israel di Mesir, kesengsaraan dan pengaduan mereka yang didengar oleh Allah dan tempat-tempat mereka berkemah antara Laut Teberau dan Gunung Sinai. Kemudian dalam perikop pemanggilan Musa , beberapa tulah dan penyeberangan Laut Teberau. Disisipkan pula mengenai peraturan-peraturan mengenai keagamaan, yaitu hari-hari raya serta pesta-pesta hari sabat dan pendirian kemah suci. Sumber P mempunyai cirikhas khusus yaitu, Israel hanya dilihat dari sudut religius, nama “Tuhan” dinyatakan pertama kali dalam pemanggilan Musa, para bapa leluhur mengenal Dia sebagai Allah yang Mahakuasa (‘el syadai, Kel 6:1-2). Tempat dimana Musa dipanggil tidak disebut dalam sumber P, tetapi gunung bernama Sinai ada di dalam riwayat perjalanan.[68] Keempat, yaitu D. Dalam kitab Keluaran sumber D memiliki beberapa catatan menurut gayanya yang khusus. Catatan-catatan ini ditambah kepada riwayat yang sudah ada dalam beberapa tahap, barangkali sebagian dilakukan oleh penyusun kitab Keluaran sendiri. D adalah karya sastra Deotronomis yang ditemukan tahun 621 SM.
            Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara sejarah keselamatan memang kitab Keluaran dianggap hasil karya Musa, hal ini dirujuk oleh beberapa perikop yang menggambarkan bahwa Allah sendirilah yang meminta Musa meneruskan sabda-Nya dalam tulisan. Bangsa Israel juga meyakini Musa sebagai perantara Allah yang berbicara kepada mereka. Perjanjian Baru juga ikut menguatkan apa yang diyakini oleh bangsa Israel dalam Perjanjian Lama. Yesus sendiri kemudian sering menggunakan istilah “perintah Musa”, “apa yang diperintahkan Musa”. Namun para ahli Kitab Suci, melalui ilmu pengetahuan, melihat Kitab Suci dari sudut pandang historis terjadinya sebuah kitab, oleh karena itu ditemukanlah sumber-sumber yang kemuadian menjadi teori dan digunakan demi kepentingan ilmu pengetahuan pula.

c.       Waktu Penulisan
            Waktu penulisan kitab Keluaran memiliki beragam versi. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada data yang pasti mengenai waktu penulisan kitab tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa di antara versi-versi yang berbeda dapat menjadi pengangan untuk menjelaskan kapan kitab Keluran ditulis. Waktu penulisan kitab Keluran oleh para ahli selalu dihubungkan dengan keluarnya Israel dari Mesir, karena dari peristiwa itulah kemudian dapat diperkirakan kapan kitab Keluaran ditulis.
            Ada dua tanggal yang disarankan untuk Keluaran. Pertama, sekitar tahun 1440 SM, diambil dari 1 Raj 6:1 “Dan terjadilah tahun keempat ratus delapan puluh sesudah orang Israel keluar dari tanah Mesir, pada tahun keempat sesudah Salomo menjadi raja atas Israel, dalam bulan Ziw, yakni bulan yang kedua, maka Salomo mulai mendirikan rumah bagi TUHAN”. Tahun keempat pemerintahan raja Salomo berlangsung sekitar tahun 1961, karena itu keluaran terjadi sekitar tahun 1441 SM, dan masuknya orang Israel ke Mesir sekitar tahun 1870 SM.[69] Kedua, sekitar tahun 1290 SM, diambil dari Kel 1:11 “Sebab itu pengawas-pengawas rodi ditempatkan atas mereka dengan kerja paksa: mereka harus mendirikan bagi Firaun kota-kota perbekalan, yakni Pitom dan Ramses”. Ramses didirikan oleh Sethos I tetapi dibagun oleh Ramses II yang naik tahta pada tahun 1304 atau tahun 1290 MS.[70] Batu tungu yang mencatat kemenganan Merenpth atas orang Libya kira-kira tahun 1220 SM, menyebutkan bahwa Israel ditaklukkan bersama-sama dengan bagsa-bangsa lain di Palestina Siria. Dengan demikian Israel berada di Palestina sekitar tahun 1220 SM. Dengan demikian kedua pendapat tersebut dapat menjadi acuan untuk mengetahui kapan kitab Keluaran ditulis.

d.      Tujuan Kitab Keluaran
            Keluaran ditulis untuk memberikan laporan tentang tindakan-tindakan Allah yang bersejarah dan bersifat menebus sehingga Israel dibebaskan dari Mesir, ditetapkan sebagai bangsa pilihan-Nya, dan diberi pernyataan tertulis mengenai perjanjian-Nya dengan mereka. Kitab ini juga ditulis sebagai mata rantai yang teramat penting dalam keseluruhan pernyataan diri Allah yang bertahap-tahap yang mencapai puncaknya di dalam diri Yesus Kristus dan dalam Perjanjian Baru.
            Seperti gambaran umum di atas, tujuan kitab Keluaran tidak dapat dipisahkan dengan tema-tema yang ada dalam kitab ini. Melalui tema-tema tersebut maka ditemukan apa sesungguhnya yang menjadi ide pokok dari bab ke bab. Berdasarkan tema-tema yang ada dalam kitab Keluaran maka tujuan penulisan kitab Keluaran dapat dilihat sebagai berikut:
            Pertama melaporkan tentang berita pembebasan. Kitab Keluaran ingin melaporkan bagaimana campur tangan Allah dalam peristiwa keluarnya bangsa Isrel dari tanah Mesir. Dalam riwayat ini, dikisahkan permulaan Israel menjadi suatu bangsa dimana ditampilkan tokoh utama yaitu Allah yang dengan penuh kuasa dan agung “bertarung” melawan orang-orang Mesir. Allah digambarkan sebagai pembela yang tidak pernah kehabisan cara dalam usaha menuntun bangsa Israel keluar dari Mesir. Melalui orang pilihan-Nya Allah memperlihatkan bahwa tidak ada kekuatan lain yang melebihi kekuatan Allah sendiri, oleh Karena itu bangsa Mesir yang keras  hati ditaklukkan sedemikian rupa, sehingga dengan terpaksa membiarkan seluruh budak pergi dari tanah mereka. Namun demikian kebebasan dari tanah Mesir bukanlah berarti Israel bebas secara penuh. Allah sudah memberikan kebebasan kepada bangsa Israel tetapi selalu ada bahaya mereka jatuh ke dalam bermacam-macam perbudakan baru. Israel kemudian tidak taat kepada Allah dan membuat diri mereka diperbudak oleh dewa-dewi. Selain dari pada itu, di antara bangsa Israel sendiri mereka saling memperbudak satu sama lain, ada tuan-tuan yang menjadikan mereka budak ekonomi, yang tidak memberikan waktu istirahat dari pekerjaan. Kebebasan sudah ada, tetapi harus dijaga.
            Kedua melaporkan tentang pranata-pranata atau hukum. Tujuan kedua ialah memberitakan mengenai bagaimana Allah memberikan hukum-hukum-Nya kepada Bangsa Israel. Hukum-hukum itu menjaga kebebasan yang sudah ada. Puncak dari hukum-hukum yang diberikan Allah adalah pada peristiwa di gunung Sinai, dimana Allah meyatakan diri-Nya dan membuat peraturan-peraturan bagi sesama bangsa Israel dalam sepuluh firman yang disampaikan melalui Musa. Kesepuluh firman berdasarkan atas kasih karunia Tuhan dan setiap firman menjaga satu unsur kebebasan orang Israel.[71]
            Ketiga menyatakan Allah Israel sebagai satu-satunya Allah yang setia dengan janji-janji-Nya. Perjanjian antara Alah dan bangsa Israel merupakan dasar hubungan keduanya. Terdapat kalimat yang berulang kali muncul yaitu “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” Allah memilih dan menyelamatkan Israel dan mereka harus hidup menurut kehendak-Nya. Meskipun Israel kemudian sering mengingkari janji mereka, namun Allah penuh belaskasihan dan sabar serta membaharui janji tersebut.
            Keempat adalah implikasi dari janji setia Allah kepada bangsa Israel, yaitu bahwa Allah tetap hadir di tengah-tengah mereka. Kehadiran Allah ditandai dengan kemah suci. Allah tidak pernah meninggalkan bangsa Israel dalam suka dan duka mereka. Allah berada bersama meraka dengan penuh kasih, oleh karena itu orang Israel tidak dapat mendustai Allah atas perbuatan-perbuatan mereka.
            Dari keempat tujuan di atas, maka dapat dimengerti secara keseluruhan bahwa kitab Keluaran ini ingin meyatakan keistimewaan bangsa Israel di mata Allah. Mulai dari pembebasan dari perbudakan Mesir sampai pada pernyataan kesetiaan Allah kepada mereka. Meskipun Israel selalu meragukan kebenaran Allah dan terjerumus dalam dosa, Allah menetapkan mereka sebagai bangsa pilihanNya.     


2.      Sepuluh Firman dalam Kitab Keluaran 20:1-17
a.      Asal-Usul dan Pengertian Sepuluh Firman
            Alkitab dengan jelas menerangkan bahwa sepuluh firman ini dituliskan di atas dua loh batu dan pada masing-masing sisi loh batu tersebut terdapat tulisan dari isi sepuluh firman tersebut.
            Penggunaan batu sebagai media untuk menuliskan sepuluh firman ini menandakan jika penulis sepuluh firman ini (Allah) memaksudkan agar tulisan tersebut bersifat permanen, sebab jaman itu penulisan di atas tanah liat lebih populer namun lebih cepat rusak jika tanah liat menjadi kering atau terbakar.[72]

            Ditemukan data yang menunjukkan bahwa sepuluh firman itu ditulis oleh Allah sendiri, “Dan TUHAN memberikan kepada Musa, setelah Ia selesai berbicara dengan ia di gunung Sinai, kedua loh hukum Allah, loh batu, yang ditulis oleh jari Allah” (Kel 31:18); “Kedua loh itu ialah pekerjaan Allah dan tulisan itu ialah tulisan Allah, dikutik pada loh-loh itu” (Kel 32:16). Dengan demikian ingin menyatakan bahwa firman tersebut betul-betul mengungkapkan kehendak Allah. Pasangan loh batu yang pertama dipecahkan oleh Musa untuk melambangkan kemurtadan bangsa Israel (Kel 32:19), sedangkan loh yang kedua ditempatkan dalam tabut (Kel 25:16).[73]  Jelas bahwa Allah sendirilah yang menulis firman itu, dan kemudian diberikan kepada Musa untuk diteruskan kepada bangsa Israel. Tempat di mana loh itu diberikan ialah di gunung Sinai.
            Dua loh batu itu berisi sepuluh firman Allah yang pada masing-masing loh berisi firman yang berbeda-beda,”Setelah itu, berpalinglah Musa lalu turun dari gunung dengan kedua loh hukum Allah dalam tangannya, loh-loh yang bertulis pada kedua sisinya; bertulis sebelah menyebelah” (Kel32:15). Dengan kata lain, loh batu itu sifatnya berkelanjutan. Setidaknya ada tiga pandangan populer tentang pembagian posisi perintah-perintah dalam dua loh batu itu.[74]
1)      Loh pertama berisi lima perintah yang secara eksklusif berhubungan dengan bangsa Israel sementara loh kedua berisi lima perintah yang sifatnya universal. Lima perintah pertama berhubungan dengan kasih Allah, hubungan antara Israel dan Allah (Yahweh). Masing-masing perintah melibatkan frase ‘Tuhan Allahmu’ dan masing-masing memiliki motif sebab-akibat. Dukungan pembagian 5 dan 5 ini dinyatakan juga oleh Philo dalam Decalogue 50.
2)      Dua loh batu tersebut masing-masing terbagi atas 4 dan 6 perintah. 4 perintah pertama berhubungan dengan Allah sementara 6 perintah berikutnya berhubungan dengan sesama manusia. Pandangan ini didukung oleh Agustinus dan menjadi pandangan tradisional gereja Katolik dan Lutheran.
3)      Pandangan ketiga mendasari pendapatnya pada penggunaan orang pertama dan ketiga untuk merujuk pada Allah. Dalam Kel. 20:2-6 yang dianggap sebagai isi loh batu pertama, Allah menyebut diri-Nya dalam bentuk orang pertama tunggal (Aku) sedangkan sisa bagian sesudahnya (20:7-17) sebutan untuk Allah dinyatakan dalam bentuk orang ke-3 tunggal (Dia/Nya). Loh batu yang kedua masih dibagi lagi menjadi dua bagian: 7-11 meliputi perintah-perintah yang berhubungan dengan keagamaan sedangkan 12-17 menyangkut masalah-masalah sekuler.
            Jika dilihat lebih lanjut, selain fakta-fakta di atas, berbicara mengenai asal-usul sepuluh firman, tentu saja selalu berkaitan dengan janji penebusan Allah terhadap bangsa Israel. Sepuluh firman adalah puncak perjanjian Allah dengan bangsa Israel, dimana Allah menyatakan diri-Nya adalah Allah satu-satunya yang harus disembah dan tidak ada allah lain. Dalam Kitab Suci, perjanjian menggambarkan hubungan khusus antara Tuhan dengan umat-Nya. Mereka adalah umat-Nya dan Ia adalah Allah mereka. Pembebasan yang Allah berikan pada bangsa Israel mempunyai konsekuensi tersendiri. Mereka yang telah ditebus harus mengikuti apa yang diperintahkan penebusnya. Dari data kitab Keluaran sendiri juga bersaksi bahwa perbutan Allah terhadap Israel haruslah digenapi dalam hukum, “Kamu sendiri telah melihat apa yang telah Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku. Jadi sekarang jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi”. (Kel 19:5). Pernyataan Allah dalam kutipan perikop tersebut ingin memperlihatkan bahwa sebelumnya Allah telah melakukan pekerjaan-pekerjaan yang hebat untuk bangsa Israel. Kutipan tersebut dalam rangka persiapan pemberitaan sepuluh firman oleh Allah. Ada tanggungjawab yang dituntut Allah, yaitu berpegang pada firman dan janji-Nya, maka mereka akan dijadikan bangsa kesayangan Allah sendiri. Jika mereka tetap beriman dan setia kepada Tuhan, mereka harus menaati hukum-Nya yang akan diberikan dalam pasal-pasal berikutnya.[75] Janji itulah yang kemudian disempurnakan dalam sepuluh firman. Kemuadian atas pernyataan Allah itu, yang disampaikan Musa kepada bangsanya, ada kesanggupan dari bangsa Israel untuk melakukan apa yang difrimankan oleh Allah, “Seluruh bangsa itu menjawab bersama-sama: segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan” (Kel 19: 8a). Hal tersebut perlu, guna melihat sebab-sebab sepuluh firman itu diturunkan oleh Allah kepada bangsa Israel. Andai kata bangsa Israel tidak meyatakan kesanggupan, tidak dapat dipastikan apakah Allah melanjutkan rencana-Nya untuk memberitakan sepuluh firman itu. Kemudian dapat dipahami bahwa, dalam rangka berbicara asal-usul munculnya sepuluh firman tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjalanan bangsa Israel hingga menjadi bangsa pilihan Allah yang dibebaskan dari berbagai perbudakan.
            Dari keseluruhan rangkaian sejarah bangsa Israel, sepuluh firman menggenapi apa yang telah dilakukan oleh Allah terhadap mereka. Dalam kesepuluh firman itulah Allah secara lansung menyatakan diri-Nya tanpa melalui perantara siapapun.[76] Musa berperan sebagai suruhan Allah yang memastikan bahwa apa yang diperintahkan Allah dalam rangka penyampaian firman tersebut sungguh-sungguh sesuai dengan situasi yang dikendaki-Nya.
            Selain dari kerangaka penebusan yang menitik beratkan pada historis terjadinya sepuluh firman sebagai kelanjutan sejarah keluarnya bangsa Israel dan sebagai tanda kestiaan Allah, dalam sepuluh firman itu sendiri menterjemahkan banyak hal berkaitan dengan rencana Allah pada bangsa Israel. Sepuluh firman bukan begitu saja merupakan suatu ungkapan sederhana “hukum Allah”. Rencana Allah haruslah dilihat sebagai sebab terjadinya sepuluh firman. Allah tentu saja tidak menjadikan bangsa Israel sebagai budak hukum-Nya, mereka mempunyai kebebasan yang juga dihargai Allah.  Allah menghendaki agar bangsa Israel memberikan respon terhadap firman-Nya dengan bukti nyata dalam keseharian hidup mereka. Inilah rencana tersebut, rencana yang juga merupakan bagian dari pembebasan. Sepuluh firman mengarahkan jalan umat Allah agar di dalam perjalanannya mereka bebas dari kebodohan dan nafsu.[77]
            Istilah “Sepuluh Perintah Allah” (Inggris: Ten Commandments atau (Decalogue) berasal dari bahasa Ibrani (‘aseret haddevarim) yang secara harafiah berarti “sepuluh firman” (Kel. 34:28; Ul. 4:13; 10:4). Sedangkan istilah “Decalogue” berasal dari bahasa Yunani (dekalogos) yang ditemukan dalam Septuaginta (kel. 34:28 dan Ul. 10:4). Istilah Decalogue ini kemudian digunakan dan dipopulerkan pertama kali oleh Clement of Aleksandria.[78] Istilah ini merujuk pada sepuluh perintah yang diberikan dan dituliskan Allah kepada Musa di gunung Sinai/Horeb dalam bentuk dua loh batu. Dengan demikian sepuluh firman Allah itu kemudian berubah menjadi sepuluh perintah Allah, sebab firman ini mempunyai sifat perintah untuk dilakukan dan perintah untuk tidak dilakukan.

b.      Peranan Sepuluh Firman
            Sepuluh Firman Allah bagi orang Israel berperanan sebagai pengungkapan hubungan mereka dengan Allah. Hubungan tersebut berupa tanda kasih setia Allah dan tanda ketaatan bagsa Israel. Untuk mewujudkan ungkapan taat kepada Allah, bangsa Israel dituntut untuk memperhatikan cara-cara hidup bersama. Dalam sepuluh firman Allah, tidak hanya dirumuskan kewajiban manusia terhadap Allah, tetapi juga tuntuntan terhadap sesama manusia, khususnya syarat-syarat kehidupan manusia dalam masyarakat. Dinyatakan bahwa hak-hak manusia itu, serta perlindungannya merupakan kehendak Allah sendiri.[79] Dengan kata lain sepuluh firman Allah bagi bangsa Israel adalah kepenuhan peraturan yang memuat dua dimensi yaitu dimensi religius dan sosial. Pada dasarnya sepuluh firman bukanlah semata-mata peraturan, karena ada pengungkapan nilai yang memang disadari dan lama sudah ada. Artinya adalah bahwa isi sepuluh firman itu menjadi kesadaran yang memang sudah ada sebelum Allah membuatnya menjadi sah. Hanya saja tingkat kesadaran ini belum sepenuhnya meresapi seluruh bagsa Israel, maka kemudian Allah menegaskan dengan seksama dan sederhana dalam sepuluh firman-Nya, agar dengan mudah dipahami dan dimengerti. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, sepuluh firman berperanan sebagai tata aturan kehidupan baik dalam hubungan dengan Allah maupun sesama manusia yang tidak hanya mencari letak kesalahan dan memberi sanksi, namun lebih pada kesadaran bangsa Israel yang menyatakan ketaatan kepada Allah. Karena itu, arti dan maksud asli perlu dipertahankan sebagai pedoman hidup bermasyarakat dan bukan sebagai sepuluh perintah Allah yang semata-mata merupakan keinginan Allah untuk menghukum atas aturan-aturan itu. Artinya bahwa perintah-perintah ini bukanlah sembarang peraturan, melainkan ungkapan moral Israel sebagai umat Allah.

c.       Sasaran Sepuluh Firman
            Sepuluh firman pada masanya tentu saja di peruntukkan bagi bangsa Israel, sebab sepuluh firman merupakan keseluruhan rangkain peristiwa penyelamatan bangsa tersebut. Dengan jelas sekali bangsa Israellah yang diselamatkan Allah, bahkan bangsa yang menindas Israel menjadi musuh Allah. Kejelasan mengenai siapa sasaran sepuluh firman tersebut nampak dalam kata-kata Allah sendiri kepada bangsa Israel. Setiap kali Allah menyatakan diri-Nya baik melalui Musa maupun seluruh bangsa Israel, selalu dipakai kata-kata “kamu”. Dalam rangka persiapan untuk menyampaikan sepuluh firman tersebut Allah dengan tegas mengatakan, “Kamu sendiri telah melihat …….”; “jika kamu sungguh-sungguh berpegang pada firman-Ku …..”; “kamu akan menjadi bagi-Ku …….” (Kel 19:4-6). Kata “kamu” merupakan bentuk kolektif, yaitu seluruh bangsa Israel sendiri. Lain dari pada itu, Allah sendiri sering menggambarkan hubungan dua arah yang nampak dalam penggunaan kata-kata antara “Aku” dan “kamu”. Hal ini memperlihatkan bahwa secara khusus sasaran firman Allah tersebut adalah bangsa Israel, dari Allah secara individu ditujukan untuk mereka (kolektif).
            Dalam kalimat pembukaan sepuluh firman, lebih jelas lagi dinyatakan oleh Allah, “Akulah TUHAN Allahmu yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan”, kalimat ini menandakan bahwa Allah secara sah menyatakan diri-Nya sebagai tokoh pembebas yang mempunyai hak memberikan hukum kepada bangsa israel, yang kemudian mempunyai implikasi pada firman selanjutnya. Kata “engkau”; “kamu” merupakan kata ganti tunggal yang tetap bermakna kolektif, bukan individu tetapi seluruh bagsa Israel. Dengan demikian jelaslah bahwa, sepuluh firman tersebut ditujukan kepada bangsa Israel secara keseluruhan. Bangsa Israellah yang dituntut untuk melaksanakan firman tersebut karena merekalah yang telah dibebaskan Allah dari perbukadakan Mesir.

d.      Maksud dan Tujuan Sepuluh Firman
            Sepuluh firman adalah tata aturan yang bermakna luas, bukan sekedar peraturan biasa, namun peraturan dari Allah. Sepuluh firman merupakan sebuah perjanjian antara Allah dan umat-Nya, oleh  karena itu maksud dan tujuan dari sepuluh firman adalah maksud dan tujuan Allah sendiri. Dengan demikian jika berbicara mengenai maksud dan tujuan sepuluh firman tentu saja melihat apa maksud dan tujuan dari penulisnya sendiri. Tujuan Allah bukanlah untuk membebani mereka dengan hukum-hukum dan aturan yang berat. Allah menghendaki umat-Nya bahagia dan makmur. Oleh karena itu sepuluh firman ini tidak bisa dimengerti sebagai aturan yang menekan bangsa Israel, melainkan jalan menuju kebebasan yang membuat bagsa Israel mengerti akan kasih Allah sesungguhnya.
            Ada beberapa hal yang dapat dirumuskan sebagai tujuan Allah memberikan sepuluh firman ini. Pertama, kebebasan yang memerdekan bangsa Israel. Sepuluh firman ini pertama-tama dilihat dalam rangka pembebasan bangsa Israel, oleh karena itu tentu saja tujuan pertama adalah upaya Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan baru. Kebebasan dari perbudakan Mesir telah dikerjakan Allah dengan tangan-Nya sendiri melalui peristiwa penyeberangan laut Teberau, di mana bangsa Mesir dipukul mati dan ditenggelamkan bersama tentara berkuda di laut tersebut. Namun, bukan berarti bangsa Israel bebas secara penuh, Allah tahu bahwa mereka akan mengalami perbudakan-perbudakan baru. Bisa saja ada penguasa baru di antara mereka sendiri, bahkan mereka memperbudak diri sediri dengan perbuatan-perbuatan dosa. Hal inilah yang dimaksudkan pembebasan lebih lanjut, yaitu pembebasan dari dosa karena perbuatan dosa menyebabkan kematian, maka Allah ingin membebaskan bangsa Israel dari kematian yang diakibatkan oleh dosa mereka sendiri.
            Kedua, sepuluh firman Allah ini bertujuan agar bagsa Israel mengetahui sifat Allah yang sebenarnya, yaitu sifat kekudusan Allah. sepuluh firman Allah banyak menjelaskan kepada bangsa Israel tentang sifat Allah dan mengajarkan kepada mereka bahwa Allah adalah kudus, murni dan baik dan juga bahwa Allah adalah kasih. Perintah-perintah tersebut menghendaki agar bangsa Israel baik sama seperti Dia baik; murni sebagaimana Dia murni dan kudus sebagaimana Dia kudus. Sepuluh firman tersebut mengajarkan bahwa Allah adalah roh dan mereka harus menyembah Allah dalam roh dan kebenaran. Selama tiga hari mereka siap mendengarkan Allah berbicara pada mereka. Orang-orang tidak akan menginjakkan kaki di gunung itu atau bahkan menyentuh batas gunung itu. Allah memperingatkan mereka bahwa jika mereka tidak taat dan mencoba untuk mendaki gunung untuk melihat Dia, mereka akan mati. Bukti kekudusan Allah nampak dalam perintah Allah kepada Musa, “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: pergilah kepada bangsa itu; suruhlah mereka menguduskan diri pada hari dan besok, dan mereka harus mencuci pakaiannya” (Kel 19:10). Allah menghendaki agar mereka menghadap Allah dengan keadaan kudus dan suci, sebab Allah sendiri adalah kudus. Meskipun tuntutan Allah bukan sekedar bersih secara fisik, namun bersih secara batin. Dapat dikatakan bahwa tindakkan membersihkan diri secara fisik merupakan simbol pembersihan batin.
            Ketiga, sepuluh firman Allah ini bertujuan agar bangsa Israel memiliki beberapa pedoaman hidup, pedoman yang akan menuntun mereka untuk setia kepada Allah. Pedoman ini menyangkut seluruh gerak hidup mereka, baik dalam hubungan dengan Tuhan maupun sesama. Pedoman hidup ini adalah peraturan moral mengenai bagaimana mereka harus bertingkah laku terhadap sesama mereka, maka Allah dengan teliti dan rinci menyebutkan firman-firman ini. Dengan sepuluh firman ini mereka kemudian mempunyai sistem yang kuat dan wibawa karena yang memberikannya adalah Allah yang kuat dan wibawa, oleh karena itu mereka menghormati dan menghargai sebagaimana Allah menghendakinya. Allah melalui sepuluh firman ini menyadarkan mereka bahwa sebelumnya mereka adalah bangsa tertindas yang hilang kemerdekaan dan kebebasan. Kesadaran bahwa mereka pernah menjadi orang asing dan budak di Mesir, menjadi penggerak untuk menegakkan keadilan dan meghormati hak-hak sesamanya.[80] Inilah yang akan mereka perbuat melalui pedoaman hidup tersebut, menegakkan keadilan dan menghormati hak-hak sesama juga merangkum seluruh perbuatan moral, adil berarti tidak memperlakukan orang lain sebagai obyek penindasan dan menghargai hak-hak sesama berarti menginginkan relasi yang baik dengan sesama, tidak mengusik ketenangan dan kenyamanan orang lain, termasuk juga diri sendiri, sebab perbuatan tersebut mempunyai implikasi ke dalam. Dengan demikian mereka bisa membuat pola kehidupan mereka menurut teladan Allah.
            Keempat, supaya bangsa Israel bisa menyadari bahwa Allah dan hukum-hukumnya adalah kekal. Hukum Allah yang mereka terima tidak akan pernah berkesudahan. Mereka akan selalu dituntun oleh hukum itu. Tujuan ini juga berkaitan dengan sifat Allah yang kekal. Sepuluh firman ini ingin memperlihatkan bahwa Allah tidak akan pernah berlalu dari mereka, firman-firman ini akan terus hidup dan terserap dalam hati dan nurani mereka. Sepuluh firman Allah mempunyai nilai abadi yang terbungkus dalam perjanjian.[81] Ketika mereka ingin melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah, maka hati mereka akan teringat dengan janji Allah terhadap mereka. Inilah kekalan hukum itu, bahwa sepuluh firman tersebut selalu hidup dalam diri bangsa Israel.
            Kelima, supaya bangsa Israel mengetahui bahwa Allah mengasihi mereka. Inilah puncak dari semua tujuan firman Allah tersebut. Keempat tujuan di atas tidak dapat dilepaskan dengan kasih Allah yang besar kepada bangsa Israel. Membebaskan, memberi pedoaman hidup, menunjukkan sifat kekudusan dan menyatakan hukum yang kekal selalu berhubungan dengan kasih Allah. Karena kasih yang besar dari Allah maka hal-hal tersebut diperlihatkan Allah kepada mereka. Dengan demikian dalam perjalanan waktu bagsa Israel dapat melihat kasih Allah yang begitu besar kepada mereka, meskipun dalam sejarah bangsa mereka, tidak jarang mereka mengecewakan Allah dengan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah. Melalui irama perjalanan sejarah jatuh bangun tersebutlah bangsa Israel sungguh-sungguh mengerti kasih Allah yang besar kepada mereka, karena Allah selalu memberikan pengampunan dan kesempatan kepada mereka.


e.       Tokoh dalam Sepuluh Firman
            Tokoh sentral dalam sepuluh firman adalah Allah sendiri. Allah-lah yang mempunyai inisiatif untuk menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakan dan memberikan mereka kebebasan sejati, “Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engakau keluar dari Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel 20:2). Kalimat pembukaan ini mempunyai maksud yang mendalam. Allah menyatakan diri-Nya sebagai tokoh pembebas sekaligus dalam rangka sepuluh firman. Bangsa Israel juga meyakini Allah sebagai pelopor utama sepuluh firman tersebut. Jika pembebasan itu dikerjakan oleh Allah dan sepuluh firman itu bermaksud meneruskan pembebasan, maka dengan jelas dimengerti oleh bangsa Israel bahwa pelaku utama speuluh firman adalah Allah sendiri yang bermaksud membebaskan mereka secara total.
            Allah yang membebaskan Israel dari Mesir itu, memanggil dan mengutus Musa sebagai perantara yang dipercaya-Nya untuk menyampaikan semua firman-Nya kepada bangsa Israel. Musa mempunyai peranan yang sangat penting dalam sejarah kesalamatan bangasa Israel. Musa tidak hanya sebagai perantara yang bertugas namun juga ikut mengalami perjalanan bangsa tersebut. Artinya bahwa, Musa tidak sekedar menerima dan menyampaikan firman Allah kepada bangsa Israel, namun sekaligus ia terlibat dengan seluruh jiwa dan raganya. Dapat dipahami jika Musa mengalami apa yang dialami manusia biasa. Dalam menunaikan tugas panggilan itu ia sungguh lelah bahkan melibatkan seluruh emosinya. Keterlibatan Musa semacam ini perlu untuk memperlihatkan bahwa ia merupakan tokoh yang cukup penting dalam sepuluh firman itu. Untuk dapat mengerti apa peran Musa dalam sepuluh firman ini tidak dapat dilihat hanya dalam konteks sepuluh firman saja, namun secara keseluruhan mulai dengan peristiwa perutusannya oleh Allah (Kel 2:1-23;-4:1-17) Sama halnya dengan bagaimana Allah mulai mempersiapkan dan merencanakan kebebasan bangsa Israel.
            Menurut data Kitab Suci Musa meninggal dunia pada umur 120 tahun. Ada tiga masa yang sama lamanya menyangkut kehidupan Musa. Masa tersebut masing-masing 40 tahun. Namun tidak dapat dikatakan bahwa 40 tahun itu menunjukkan jangka waktu yang tepat. Angka 40 termasuk angka favorit dalam Kitab Suci dan 40 tahun  adalah masa kehidupan satu keturunan, sebuah angka yang melambangkan suatu tahap penting. Selama 40 tahun Musa tinggal di Mesir, selama 40 tahun tersebut Musa dididik dalam kebiasan dan hikmat Mesir. Selama 40 tahun berikutnya ia tinggal di padang gurun seorang diri. Dan 40 tahun berikutnya, merupakan 40 tahun terakhir dalam hidupnya, Musa mengembara di padang gurun bersama-sama dengan bangsa Israel yang telah bebas dari perbudakan Mesir. Musa bukan hanya seorang yang memperjuangkan keadilan, tetapi juga seorang yang “menemukan” Allah. Bangsa Israel sendiri semula tidak mempunyai gambaran yang jelas mengenai Allah mereka. Mereka hanya ingat bahwa nenek moyang mereka menyembah Allah. Namun dengan perantaraan Musa Allah menyatakan diri-Nya kepada mereka, oleh karena itu pengalaman mereka bersama Allah dimediasi oleh Musa.
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Allah yang menjadi tokoh sentral sepuluh firman tersebut percaya kepada Musa sebagai perantara yang akan menyampaikan firman-Nya kepada bangsa Israel. Alasan Allah memakai Musa sebagai perantara semata hak Allah dan tidak ada yang dapat mengerti hal itu. Allah dengan bebas menggunakan kuasa-Nya sendiri. Allah justru memilih orang yang secara manusiawi tidak mempunyai kemampuan dan keahlian dalam memimpin, namun karena kehendak Allah semua dapat dijadikan.

f.       Jenis dan Sanksi Sepuluh Firman
            Sebelum melihat sepuluh firman satu demi satu, akan lebih baik  kiranya melihat karakter kesepuluh firman itu sendiri. Namun tidak bermaksud untuk menggolongkan pada karakter yang sama, karena tetap menggunakan susunan yang ada dalam Kitab Suci.
            Albrecht Alt membedakan dua jenis hukum di dunia Timur Dekat kuno, yaitu hukum kasuistik (dengan syarat serta mendefinisikan jenis kasus tertentu) dan apodiktif (tanpa syarat dan bersifat imperatif). Hukum kasuistik secara sederhana didefinisikan sebagai hukum “ jika ... maka ...“ (Kel. 21:18-19; Im. 25:25). Sedangkan hukum apodiktif lebih bersifat langsung mendefinisikan apa yang benar dan salah. Contoh bentuk apodiktif adalah formula “siapa .... pastilah ...” (Kel. 21:12, 15,17), “terkutuklah”  (Ul 27:15-26), ‘janganlah ....“ (Kel 23:1-3, 6-9; Im 18:7-18).[82]

            Dengan pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum-hukum dalam kitab Keluaran termasuk sepuluh firman mempunyai dua jenis seperti yang telah diuraikan di atas. Jika dilihat dari jenis kalimat yang digunakan dalam sepuluh firman, ada dua jenis yaitu jenis perintah dan jenis larangan. Namun jika dilihat dari maknanya maka kalimat-kalimat tersebut sebenarnya berupa nada perintah, karena larangan (“jangan”) juga adalah perintah, yaitu perintah untuk tidak melakukan.
1)      “Lalu Allah mengucapkan segala firman ini: Akulah TUHAN Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel 20:1-2). Sebelum menyampaikan ke sepuluh Firman, Allah memperkenalkan diri terlebih dahulu dengan nama Yahwe dan menyebut diri sebagai Allah mereka, artinya Allah yang mengikat diri kepada Israel umat-Nya melalui sebuah perjanjian. Mereka diingatkan akan tindakan penyelamatan yang telah dilakukan-Nya bagi mereka. “Akulah TUHAN, Allahmu” merupakan ungkapan yang sering dipakai pada akhir peraturan-peraturan dalam hukum kesucian.[83] “Yang membawa engkau”, kata “engkau” merupakan kata ganti dalam bentuk tunggal. Dengan demikian, Allah berfirman kepada seluruh umat Israel secara kolektif sebagai bangsa sekaligus kepada setiap individu. “Jangan ada padamu allah lain di hadapanku” (Kel 20: 3). “Di hadapan-Ku”. Secara harafiah dapat dipahami “di depan muka-Ku”, dapat juga diterjemahkan “di samping-Ku” atau yang memberikan perlawanan dengan menyembah allah lain. ungkapan ini menunjukkan sifat Allah yang tidak terbatas ruang dan waktu, di mana saja mereka mengadakan allah-allah lain maka Allah selalu melihat dan mengetahui. “Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit, di atas atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi” (Kel 20:4). Patung, “pasel” (Ibrani), kata ini diterjemahkan sebagai “patung pahatan”[84] namun pasti juga ditujukan untuk semua jenis patung tidak terkecuali jenis, bentuk dan bahan asalnya. “Yang menyerupai apapun”. Berarti semua jenis patung dengan segala macam bentuk dan modelnya, baik menyerupai benda hidup, manusia, binatang, tumbuhan maupun benda-benda mati lainnya. “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalas kesalahan kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku” (Kel 20:5). “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya” adalah ungkapan larangan untuk melakukan penyembahan, upacara kultis. “Beribadah” adalah semua bentuk pengamalan terhadap allah-allah lain yang disebutkan pada ayat 4. “Kepadanya”, akhiran kata-kata ini (yang terdapat dua kali dalam ayat ini) adalah dalam bentuk jamak dan menunjuk kepada “allah lain” dalam ayat 3 yang juga dalam bentuk jamak.[85] “Cemburu”, kata cemburu tidak dipakai dalam makna negatif. Kata “cemburu” ingin menunjukkan bahwa Allah mempunyai perasaan yang sangat dalam, atau mempunyai semangat yang tinggi. Di satu pihak Allah penyayang dan pengasih dan di pihak lain Dia tidak membiarkan atau membebaskan orang yang bersalah dari hukuman. “Yang membalaskan kesalahan bapa ……… “, kalimat ini mewakili kebiasaan bangsa Israel pada waktu itu maupun sekarang. Orang Israel dalam satu rumah tangga biasanya sering terdiri dari tiga atau empat generasi yang tinggal bersama-sama. Kalimat ini memperlihatkan bahwa kesalahan satu orang merupakan kesalan yang bersifat sosial yang mempunyai dampak bagi generasi-genari berikutnya. “tetapi Aku menunjukkan kasih setia  kepada beribu-ribu orang, yaitu merka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku” (Kel 20:6). Ini merupakan bentuk sebab akibat. Ganjaran bagi orang yang berpegang pada perintah-Nya ialah kasih setia dan ganjaran bagi yang tidak berpegang pada perintah-Nya adalah hukuman, yang terdapat pada ayat 5. Kalimat ini juga menunjukkan bahwa kasih setia Allah itu sungguh besar, oleh sebab itu tidak ada alasan untuk tidak berpegang pada firman-Nya, atau dengan kata lain, tidak ada alasan bagi Allah untuk menghukum, jika mengikuti firman-Nya. Dari ayat 1-6 sesungguhnya berisi satu perintah atau larangan yaitu  “jangan menyembah berhala”, yang diawali pernyataan diri Allah sebagai Allah yang satu yang membawa bangsa Israel keluar dari Mesir, ayat 1-2. Inti tema yang disampaikan pada perintah ini ada dalam ayat 3 yaitu mengenai larangan menduakan Allah. Perintah pada ayat sebelumnya dikembangkan pada ayat 4-6, yang merupakan penjelasan sebab akibat dari perbuatan menduakan Allah. Allah tidak akan mengizinkan diberikan kepada siapapun juga apa yang menjadi hak-Nya yang pantas berkenaan dengan penghormatan dan ketaatan.[86] Allah mengantisipasi kebiasaan bangsa Israel yang penuh dengan pemujaan. Menurut kepercayaan para polities, ada beberapa allah yang kehendaknya bertentangan, dan mereka harus berusaha melayaninya dengan cara yang menyenangkan bagi mereka semua. Mungkin saja ada allah yang dianggap berkuasa di antara allah-allah itu yang tidak mendapat perhatian dan membinasakan mereka. Maksud membalaskan kesalahan bapa pada anak-anaknya mengandung keterkecualian, yaitu apabila dosa itu dilakukan terus menerus serta membawa akibat-akibat sosial jasmani tertentu. Mereka yang dibalaskan demikian adalah mereka yang dengan kesadaran “membeci” Allah. Namun pada ayat-ayat berikutnya, Allah justru membalikan fakta kekejaman-Nya dengan menunjukkan perasaan kasih sayang kepada beribu-ribu orang. Artinya kebaikan Allah mengatasi kemurkaan-Nya terhadap orang yang bersalah. Secara eksplisit memang tidak ada dijelaskan mengenai jenis sanksi yang diberikan apa bila perintah pertama ini dilanggar, namun sudah jelas bahwa Allah tidak membebaskan begitu saja terhadap pelanggaran tersebut. Pada ayat 5 diberikan gambaran secara umum bahwa pabila pelanggaran terjadi maka hukuman pasti akan diberikan bahkan hukuman tersebut bersifat sosial (keturunan ketiga dan keempat). Rencana Allah untuk mebinasakan bangsa Israel dilaporkan dalam bab-bab selanjutnya, yaitu di mana bangsa Israel membuat anak lembu tuangan. (Kel 32:10). Namun lagi-lagi karena belaskasihan-Nya yang besar maka bangsa itu dimaafkan, yang ditunjukkan dengan penyesalan Allah. Namun sanksi itu direalisasikan oleh Musa atas firman Allah sendiri, di mana kira-kira tewas tiga ribu orang dari bangsa itu, (Kel 32:28-29). Dilanjutkan dengan keterangan bab-bab berikutnya yaitu tentang hukuman mati untuk menyembah berhala (bdk Ul 17:2-7), rupanya hukuman tersebut juga didasarkan pada saksi yang melihat. Atas keterangan dua atau tiga saksi maka pelaku dihukum mati, namun apabila hanya berdasarkan keterangan satu saksi saja maka pelaku dibebaskan. Penjelasan ini menjukkan adanya nilai-nilai keadilan, orang tidak dapat dihukum apabila tanpa bukti yang kuat. Jelaslah bahwa pelanggaran tersebut tidak dibebaskan begitu saja oleh Allah, dan ini sebagai bukti ketetapan hukum Allah tersebut. Pelanggaran memang tidak harus nyata dilakukan, perintah ini lebih menyoroti hati manusia. Sikap membeci tidak harus ditunjukkan, membenci dapat saja disembunyikan dalam hati, namun sikap tersebutlah yang akan mendapatkan hukuman.
2)      “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan” (Kel 20:7). “Nama Tuhan dengan sembarangan” artinya menggunakan nama Tuhan dengan kejahatan, kenakalan, tujuan remeh atau kepentingan diri sendiri. Firman ini melarang orang Israel menggunakan Tuhan untuk tujuan yang tidak sesuai dengan sifat atau maksud-Nya. Secara detail dapat dilihat demikian. Dalam lingkungan budaya Israel, nama mempunyai arti yang mendalam, nama mewakili hakekat dan sifat khas pribadi yang mempunyai nama. Nama diberikan melalui situasi khusus (bdk Kej 25:25-26).  Mengetahui nama dapat berarti kuasa atas pribadi, maka nama dirahasiakan (bdk Kej 32:30). Nama Yahwe (Kel 3:14), dari kata kerja Ibrani “hjh” dan dengan demikian dijelaskan dengan isi penuh Allah yang ada kuasa tidak dapat dikuasai, menyertai umat-Nya.[87] Larangan menggunakan nama Allah dapat ditafsirkan dalam berbagai arti menurut situasi dan kondisi tertentu. Sebagai praktek magis berarti larangan mengenai menyembah dewa-dewi lain, sumpah palsu, sumpah dengan menggunakan nama Allah, berkaitan dengan larangan bersaksi palsu. Gagasan pokok dari larangan ini sebenarnya ialah berkaitan dengan menguduskan nama Allah. Nama Allah harus dihormati dan digunakan sesuai dengan hakekat dan sifat Allah sendiri (bdk Im 9:12). “Memandang bersalah” berarti tidak membiarkan tidak terhukum.[88] Berdasarkan arti ini, jelas bahwa ada hukuman bagi yang tidak mematuhi firman ini, namun tidak ada data pasti mengenai sanksi tersebut. Penjelasan iksthiar mengenai firman ini adalah bahwa, nama Tuhan dinyatakan agar orang dapat memuji Dia dan berseru dalam doa yang benar, sesuai maksud Allah sendiri. Selain dari pada itu, firman ini juga mengandung makna kekudusan Tuhan yang bertindak dengan penuh kuasa melepaskan bangsa Israel dari perbudakan. Tindakan berdusta atau sumpah palsu dengan menggunakan nama Allah dinyatakan bersalah karena memakai nama Allah untuk tujuan jahat, bahkan demi keuntungannya sendiri. Sanksi dari perbuatan pelanggaran firman ini tidak dijelaskan. Tidak ada rincian yang dapat menjadi bukti apa saja bentuk hukuman firman ini. Namun yang jelas, sesuai dengan pengertian kalimat “memandang bersalah”, bahwa Allah tidak membiarkan begitu saja orang yang menggunakan nama-Nya dengan sembarangan. Dapat saja dimengerti kemudian bahwa terhadap pelanggaran firman ini pasti akan mendapat hukuman.

3)      “Ingatlah dan kuduskanlah hari sabat” (Kel 20:8). “Ingatlah” dalam bahasa Ibrani “Zakor”. Kata “ingatlah” bukan merupakan perintah baru, perintah ini berasal dari Kej 2:1-3. Dalam firman ini kata tersebut diulang kembali. Dapat saja kemudian diartikan bahwa perintah tersebut telah dilupakan oleh bangsa Israel sewaktu mereka di Mesir. Tujuan dari “mengingat” ialah merayakan hari sabat yang hendaknya diteruskan turun-temurun.”Kuduskanlah”, menganggap hari tersebut sebagai hari khusus yang dikuduskan atau disucikan. Menguduskan berarti menyisihkan, menyendirikan dari lingkungan profan dengan menghubungkannya dengan Tuhan. “Hari sabat” berasal dari kata kerja Ibrani “sabat” yang berarti berhenti, beristirahat. Namun tidak diketahui dari mana asal usul mengenai hari istirahat ini. Ada kemungkinan sabat merupakan kebiasaan kuno sebelum zaman Musa. “Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anak-anakmu laki-laki, atau anak-anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang  di tempat kediamanmu” (Kel 20:9-10). Hari sabat juga megandung makna pembebasan, yaitu pembebasan bangsa Israel. Pembebasan bekerja yang dibagi menurut golongan, anak-anak laki-laki maupun perempuan, budak laki-laki maupun perempuan, orang asing yang ada di tempat kediaman bahkan hewan ternak.  “Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari sabat dan menguduskannya” (Kel 20:11). Kalimat ini menjelaskan kembali mengenai peristiwa penciptaan, kemudian dijelaskan sebab hari tersebut harus beristirahat yang dikaitkan dengan hari beristirahatnya Tuhan dari karya penciptaan. Gagasan teologis mengenai hari sabat ini ialah pengudusan hari Tuhan. Pada hari tersebut bangsa Israel dituntut untuk menyediakan waktu bagi Tuhan dengan doa dan pujian. Sanksi mengenai pelanggaran firman ini terdapat dalam bab-bab selanjutnya. Siapapun yang tidak menghormati hari sabat maka pasti akan dihukum mati (Kel 31: 14). Makna firman ini sebenarnya mengingatkan bangsa Israel akan perjalanan sejarah mereka. Dahulu bangsa Israel juga mengalami perbudakan di tanah Mesir, mereka sudah mengalami menderitanya hidup diperbudak, oleh karena itu firman ini membebaskan bukan hanya tuan rumah melainkan juga semua anak-anak, budak dan hamba, orang asing bahkan hewan ternak yang ada. Selain dari pada itu dijelaskan pula bahwa Tuhan juga beristirahat, maka beristirahat pada hari sabat berarti mengikuti teladan Tuhan sendiri.
4)      “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel 20:12). Kalimat pada firman ini mengacu pada sasaran tertentu. “Hormatilah ayah dan ibumu” berarti untuk anak atau pemuda. Firman ini mengajarkan sikap hormat terhadap orang tua. Dilanjutkan dengan kalimat motivasi “supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan”, kalimat ini merupakan alasan mengapa harus menghormati orang tua. Besar kemungkinan orang tua yang dimaksudkan bukan hanya ayah atau ibu kandung, melainkan semua orang tua yang pada dasarnya haruslah dihormati. Orang tua termasuk nenek, kakek atau bebuyutan, termasuk juga mereka yang berasal dari kaum lemah. Menghormati berarti sekaligus melindungi mereka secara sosial. Ada kemungkinan orang-orang tua kurang dianggap karena tidak lagi aktif atau berperan dalam kehidupan sosial orang Israel, maka firman ini bermaksud menjaga hak-hak orang yang lanjut usia dan tidak berdaya lagi. Dengan demikian hubungan dalam keluarga serta hubungan antar generasi dijaga dan tetap baik. Jika firman ini ditaati, bukan hanya keluarga tetapi masyarakat juga akan menjadi lebih aman dan stabil. Sanksi terhadap pelanggaran ini tidak dijelaskan dalam ayat tersebut, tetapi apabia firman ini mengandung makna perlindungan terhadap kaum lemah dan orang yang tak berdaya maka implikasinya dapat dilihat sebagai tindakan yang tidak menghargai hak orang lain terutama kaum lemah dan para lanjut usia. Hal ini dinyatakan dalam bab selanjutnya, “Siapa yang memukul ayahnya atau ibunya, pastilah ia dihukum mati”; siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya, ia pasti dihukum mati” (Kel 21:15, 17). Inilah hukuman bagi tindakan melawan firman ini. “memukul” menunjuk pada orang yang memukul orang tuanya, bukan membunuh, sedangkan “mengutuki” mengandung makna bahwa kata tersebut mempunyai kuasa dan dapat menyebabkan kerugian, orang tua tidak bisa diperlakukan remeh atau tidak penting. Inti dari firman ini yaitu, Allah bermaksud agar kehidupan berkomunitas bagsa Israel berlangsung dengan baik, karena dengan sikap hormat terhadap orang lain, hubungan antar sesama individu dalam komunitas sosial tetap terjaga, dan lebih dari pada itu ialah terutama sikap hormat terhadap apa yang difirmankan Tuhan. Firman ini merupakan firman pertama yang langsung berkaitan dengan sesama manusia. Jika dilihat dari firman pertama, yaitu perintah agar menghormati dan mengakui Allah sebagai Allah yang satu dan berkuasa, maka firman keempat atau pertama mengenai hubungan sesama manusia yang dibuka dengan perintah hormat kepada orang tua, terlihat kesinambungan bahwa selalu dimulai dari yang tertinggi. Terkait dengan hukum ini adalah tugas orang tua untuk mengasihi anak-anak mereka dan membina mereka untuk takut akan Allah serta mengajarkan jalan-jalan-Nya kepada mereka.
5)      “Jangan membunuh” (Kel 20:13). Ada beberapa kata untuk “membunuh” dalam bahasa Ibrani. Kata ini mempunyai kekecualian, yaitu tidak digunakan untuk membunuh musuh dalam perang. Kata “membunuh” dalam firman ini menunjuk kepada semua bentuk pembunuhan yang mengganggu atau merugikan orang lain baik individu maupun dalam kelompok yang lebih besar. Dapat juga dimengerti sebagai tindakan kecelakaan yang disebabkan karena kelalaian dan kurang berhati-hati. Dalam firman ini sama sekali tidak dijelaskan mengenai akibat jika dilanggar, namun dapat dibandingkan dengan bab dan ayat berikutnya yang begitu merinci perbuatan membunuh sedemikian rupa. Perbuatan membunuh dan akibatnya diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu membunuh dengan sengaja dan membunuh dengan tidak segaja. Membunuh dengan sengaja dijelaskan sebagai berikut “Siapa yang memukul seseorang, sehingga mati, pasti ia dihukum mati” (Kel 21:12), “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri” (Kej 9:6). Tindakan dalam ayat tersebut adalah tindakan pembunuhan dengan disengaja, maka hukumannya adalah mati yang sebenarnya sudah dijelaskan dalam kisah kejadian mengenai perjanjian Allah dengan Nuh. Dalam kitab Kejadian dijelaskan mengenai sebab membunuh itu dilarang, yaitu dikaitkan dengan hakekat manusia sebagai citra Allah. Sedangkan membunuh dengan tidak sengaja dijelaskan ayat berikutnya dalam kitab Keluaran, “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku menunjukkan sesuatu tempat, kemana ia dapat lari” (Kel 21:13). Kalimat dalam ayat ini secara harafiah dapat diartikan bahwa “Allah membiarkan dia (korban) jatuh dalam tangannya“, yaitu pembunuhan itu terjadi sebagai akibat kecelakaan bukan sebagai hasil kesalahan pembunuh. “Tempat ke mana ia dapat lari” (bdk Ul 4:41-43; 19: 1-10 Bil 35:9-34), mengenai kota perlindungan bagi orang-orang yang membunuh dengan tidak sengaja. Namun besar kemungkinan bahwa mereka berlindung di mezbah setempat, menunggu hingga keputusan dibuat. Penjelasan selanjutnya lebih terperinci mengenai hak budak yang dipukuli hingga mati dan apabila masih hidup (bdk Kel 21:20). Dengan demikian jelas bahwa tindakan membunuh tidak diseragamkan menjadi satu jenis saja, hal ini menunjukkan ada pertimbangan akan rasa keadilan. Dapat juga dimengerti bahwa perbuatan kesalahan yang dilakukan dengan tidak sengaja mendapat perlindungan Tuhan, sedangkan yang dilakukan dengan sengaja atau dengan kesadaran menolak untuk taat pada firman Allah, maka hukumannya adalah mati. Firman ini juga berdasarkan keyakinan bahwa nyawa seorang dimiliki oleh Allah sehingga harus dijaga dan dihormati. Tidak ada yang berhak mencabut nyawa orang lain selain dari Allah sendiri yang telah menganugerahkan hidup kepada manusia.
6)      “Jangan berzinah” (Kel 21:14). Kemurnian status perkawinan adalah dasar lain kehidupan sosial dan haruslah dipertahankan. Dalam budaya Israel status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki karena itu ia dituntut setia kepada suaminya. Berzinah dalam budaya Israel dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Jika seorang laki-laki berhubungan seks dengan istri orang lain, maka ia telah melanggar hak suami perempuan itu. Namun apabila seorang perempuan berhubungan seks dengan suami orang lain maka ia melanggar hak suaminya sendiri. Jelaslah bahwa kemudian kedudukan laki-laki ternyata lebih tinggi dari perempuan. Laki-laki dapat dikatakan berzinah apabila melanggar perkawinan laki-laki yang lain, sedangkan perempuan berzinah melanggar perkawinannya sendiri. Firman ini bukan mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan yang belum kawin atau bertungan.[89] Hukuman terhadap perbuatan zinah tergantung dari jenis perzinahan yang dilakukan. Hal ini dijelaskan dalam kitab Imamat, (bdk Im 20:10; Ul 22:22).  Jenis-jenis zinah dapat dibedakan sebagai berikut. Seorang laki-laki berzinah dengan isteri orang lain keduanya dihukum mati (bdk Im 20:10). Seorang yang kedapatan tidur dengan perempuan yang bersuami haruslah keduanya dibunuh mati (Ul 22:22). Firman ini juga didasarkan pada kisah penciptaan. Semua ciptaan Allah yang ada di dunia ini dan dengan seorang manusia yaitu Adam dirasakan tidak cukup, Adam harus mempunyai teman yang sepadan dengannya, maka kemudian diciptakan perempuan. Inilah maksud dari firman  ini, bahwa pada hakekatnya Allah menghendaki manusia bersatu untuk saling melengkapi bukan untuk saling menodai. Tujuan dari firman ini adalah melindungi status perkawinan serta perempuan yang dianggap kelas bawah.
7)      “Jangan mencuri” (Kel 20:15). Larangan jangan mencuri terdapat dua macam, yaitu “mencuri” yang dalam Alkitab sering juga obyeknya adalah manusia, maka diterjemahkan dengan kata “menculik” dan “diculik, dicuri”. Mencuri berarti merugikan orang lain atas hak miliknya. Firman ini ditujukan untuk melindungi kemerdekaan orang, sebab orang yang merdeka tidak lagi dianggap sebagai orang yang remeh, yang dapat dirampas haknya dengan semena-mena. “Jangan mencuri”, merupakan ungkapan jelas akan keadilan bagi bangsa nomaden dan penggembala ternak seperti Israel. Firman ini mengandaikan adanya sistem kepemilikan dikalangan bagsa Israel. Barangkali mereka sudah mempunyai hak milik yang dapat di sahkan sebagai milik pribadi. Akibat-akibat firman ini sangat jelas, hak milik berarti sesuatu yang sudah menjadi milik seseorang, maka apabila dilanggar tentu saja mempunyai akibat tersendiri. Akibat-akibat pelanggaran firman ini terdapat dalam penjelasan bab-bab berikutnya. “Siapa yang menculik seorang manusia, baik ia telah menjualnya, baik orang itu masih terdapat padanya, ia pasti dihukum mati” (Kel 21:16). “Menculik” mencuri manusia yang adalah hak milik orang lain. “baik ia telah menjualnya”, yaitu kepada orang asing (bdk Ul 24:7). “Baik orang itu masih terdapat padanya”, yaitu maupun orang yang diculik itu belum dijual atau masih ada pada si penculik. Hukuman bagi pelaku pelanggaran firman dengan jenis menculik seperti ini adalah mati. “Apabila seorang mencuri seekor lembu atau seekor domba dan membantainya atau menjualnya, maka ia harus membayar gantinya, yakni lima ekor lembu ganti lembu itu dan empat ekor domba ganti domba itu” (Kel 22:1). Ada perbedaan tingkatan nilai, yaitu menculik manusia hukumannya mati, namun pada binatang maka diganti rugi. Kemudian ada penjelasan berikutnya pada ayat 2-4, jika seorang pencuri ditangkap basah dan dipukuli orang sampai mati, maka yang memukul tidak berhutang darah, apabila pembunuhan itu setelah matahari terbit, berarti siang hari dimana sudah ada cahaya matahari, maka pembunuhnya berhutang darah. Apabila benda atau barang yang dicuri masih ada pada orang yang mencuri dan masih hidup maka pencuri tersebut membayar kerugian dua kali lipat. Ayat-ayat berikutnya merupakan peraturan tentang jaminan harta sesamanya. Inti pokok gagasan firman ini ialah melindungi hak orang lain. Mencuri adalah tindakan merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut mendapat ganjaran. Namun dapat dibedakan bahwa mencuri, menculik manusia hukumannya lebih besar dari pada mencuri binatang atau benda lainnya. Berdasarkan gagasan ini nampak bahwa Allah lebih mementingkan nyawa manusia dari pada harta benda yang ada di dunia ini.
8)      “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu” (Kel 20:16). Firman ini melarang saksi dusta khususnya dalam suatu pengadilan perkara dan pada penistaan watak seseorang. “Sesamamu”, secara harafiah berarti “tetanggamu” atau “sesamamu Israel”. Firman ini menunjuk semua orang, termasuk orang asing yang ada kontak atau hubungan sehari-hari dengan mereka. Satu hukum saja akan berlaku untuk semua orang (bdk Kel 12:49), oleh karena itu firman ini tidak terbatas pada hubungan sesama orang Israel saja. Hukum-hukum firman ini diberikan dalam kitab Ulangan 19:16-21. Dalam ayat 16-21 dijelaskan mengenai bagaimana proses pengadilan suatu perkara berlangsung dan bagaimana hakim-hakim hendaknya memeriksa kedua orang yang mempunyai perkara. Hal ini telah dibuka pada ayat 15 yaitu, bahwa proses pengadilan apabila memutuskan suatu perkara harus berdasarkan keterangan dua atau tiga saksi. Intinya bahwa apabila tidak ditemukan bukti dan diketahui saksi yang meberikan keterangan telah berdusta, maka orang yang bersaksi dusta harus diberlakukan seperti maksud dan alasannya bersaksi dusta (bdk Ul 19:19). Barangkali maksud dari orang yang bersaksi dusta adalah mencelakan nyawa seorang yang tertuduh, maka maksud itulah yang dibalaskan padanya, karena seseorang yang tertuduh terbukti bersalah pasti akan dihukum, bahkan dihukum mati. Dengan demikian saksi dusta dapat mengancam nyawa seorang yang tertuduh, sebab dengan saksi palsu ia dibinasakan. Firman ini tentunya menuntut kejujuran dari bangsa Israel, oleh karena itu firman ini tidak hanya dilihat sebatas peraturan namun lebih menyoroti hati dan pikiran manusia. Kejujuran susah untuk diketahui karena hal itu ada dalam hati masing-masing manusia, namun Allah sudah mengantisipasi hal ini, bukan karena Ia tidak tahu melainkan untuk menjaga hak-hak bangsa Israel yang lemah dan selalu diberlakukan dengan tidak adil.  
9)      “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu” (Kel 20:17). “Mengingini”. Kata ini tidak hanya menunjuk kepada motivasi batin, tetapi juga pada perbutan, yaitu usaha untuk memperoleh. Mengingini rumah sesamanya berarti berusaha mempunyai motivasi batin dan berusaha memperolehnya. Dapat juga dimengerti sebagai motivasi atau berusaha memperoleh apa yang ada di dalam rumah atau sesuatu dari yang dimiliki rumah tersebut (bdk Kel 34:24). Firman ini sebetulnya mempunyai tujuan yang hampir mirip dengan firman tentang larangan mencuri. Prisnsip umumnya adalah perlindungan hak-hak orang lain seperti larangan jangan mencuri. Oleh karena itu penjelasan mengenai hukum-hukum atau sanksi dari pelanggaran firman ini juga dapat dilihat sebagai hukum atau sanksi tindak pencurian.
“Mengingini isterinya atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya, atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu”. Kalimat ini merupakan definisi dari “rumah”. Atau dengan kata lain menjelaskan maksud dari “mengingini rumah”. “Isiteri” bagi orang Israel adalah kepunyaan atau milik, maka isteri juga termasuk kepunyaan dari pemilik rumah. Implikasi dari kata-kata “mengingini isterinya” adalah merupakan dasar dari perbuatan zinah seperti pada firman sebelumnya, maka hukum-hukum atau sanksi juga didasarkan pada hukum-hukum berzinah, meskipun pada dasarnya kata mengingini menunjukkan bahwa hal tersebut belum terjadi, tetapi pasti mengarah pada suatu tindakan. Dengan demikian kata “mengingini isterinya” pada firman ini mengantisipasi pada perbuatan. “Atau hambanya laki-laki ……. atau apapun yang dipunyai sesamamu”, merupakan rincian mengenai jenis benda atau barang yang dimiliki oleh si pemilik rumah. Lebih jelas lagi dengan kata-kata “atau apapun yang dipunyai sesamamu”, kata-kata tersebut memperjelas kalimat-kalimat sebelumnya, sekaligus bersifat umum sekali. Lebih jelas karena rincian benda yang disebutkan sebelumnya hanyalah contoh yang mempunyai makna bahwa semua barang atau benda termasuk yang telah disebutkan. Menjadi bersifat umum karena mengandung makna bahwa firman ini tidak terbatas hanya pada orang Israel saja, sebab semua apa yang dipunyainya, termasuk orang asing yang tinggal atau menjadi budaknya.
Jika mengikuti teori mengenai susunan dan pembagian sepuluh firman, yaitu pada teori yang kedua pada penjelasan di bagian asal-usul sepuluh firman hal 88, maka firman pada ayat 17 ini terdiri atas dua firman yaitu “jangan mengingini rumah sesamamu” dan “jangan mengingini istri sesamamu”.

g.      Nilai-nilai Sepuluh Firman
1)      Sepuluh Firman Sebagai Pedoman Hidup
Bagi bangsa Israel sepuluh firman tersebut merupakan pedoman hidup bagi mereka, karena dalam sepuluh firman itu terkandung pranata-pranata yang mengatur kestabilan dan keberlangsungan hidup. Israel kemudian mentaati hukum tersebut juga demi terciptanya sistem kehidupan yang baik. Melalui sepuluh firman tersebut bangsa Israel kemudian mampu menghargai hak-hak orang lain (sesamanya). Mereka sadar bahwa hak-hak sesamanya manusia harus dilindungi. Mereka mengajarkan sepuluh firman ini kepada anak cucu mereka dengan maksud suapaya mempunyai hikmat yang sama dengan mereka. Pandangan hidup mereka terarah pada sepuluh firman, tingkah laku dan perbuatan mereka selalu dilihat dalam kaitannya dengan sepuluh  firman tersebut.
Sebagai pedoman hidup, sepuluh firman mengajarkan berbagai macam peraturan yang sangat praktis sehingga mudah untuk dipahami. Segala macam tindakan manusia ada di dalamnya. Tidak heran bahwa Israel sungguh-sungguh mempunyai sistem yang kuat yang mereka pegang bersama. Pola dan gaya bahkan budaya hidup mereka diselaraskan dengan sepuluh firman tersebut, maka kemudian cerminan mereka sebagai individu dan bangsa adalah hasil dari penyerapan hukum yang mereka terima. Dengan demikian sepuluh firman ini jelaslah bukan hanya wahyu yang yang abstrak. Sepuluh firman ini menyentuh segala persolan manusiawi. Penerapannya dengan jelas dirincikan secara praktis, bahkan lengkap dengan hukum-hukumnya apabila dilanggar. Jika mereka berbicara sepuluh firman mereka tidak dibatasi dengan pengetahuan yang samar, hal ini didasari bahwa firman itu adalah fakta yang dapat mereka lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Firman-firman tersebut terbukti dan dari bukti-bukti yang ada mereka belajar untuk menerapkan dan menghayati.

2)      Sepuluh Firman, Relegius dan Moral
Sesuai dengan namanya, yaitu sepuluh firman, berarti wahyu dari Allah. Sepuluh firman tidak semata-mata merupakan peraturan manusiawi, Israel yakin bahwa Allah-lah yang mempunyai prakarsa tersebut. Allah sendiri yang merencanakan hukum-hukum terbut dalam hidup mereka. Oleh karena itu segala hukum itu merupakan sabda Allah dan mempunyai kewibawaan dari Allah. Pemberian hukum tersebut bukan menunjukkan bahwa Allah berkuasa atas mereka dan yang berhak memerintah mereka bukan juga memaksa Israel untuk berlaku menurut peraturan yang diberikan kepada mereka itu. Artinya bahwa, firman-firman tersebut juga mengandaikan kesadaran dan keterbukaan terhadap apa yang diwahyukan Alah. Tidak bersifat paksa karena Allah memberikan kebebasan kepada manusia, maka kesadaranlah yang utama. Sadar bahwa peraturan itu bukan sebatas peraturan melainkan perwujudan dari cinta kasih Allah, begitu pula pelaksanaannya. Allah menuntut respon yang keluar dari hati nurani, respon yang menunjukkan bahwa peraturan itu berasal dari niat untuk mengasihi mereka. Inilah nilai religius itu, bahwa ketaatan mereka terhadap sepuluh firman merupakan wujud dari ketaatan mereka kepada Allah sendiri. Tidak ada satupun tokoh-tokoh atau tuan mereka yang memaksakan mereka untuk melakukan sepuluh firman tersebut, hanya Allahlah yang memotivasi mereka untuk menuruti firman-firman tersebut. Artinya, apabila ada tokoh yang dipercaya itu hanyalah kepanjangan tangan Allah sendiri dan ketaatan mereka bukan ketaatan kepada tokoh-tokoh itu tetapi semata-mata kepada Allah.
Sebagai firman dari Allah tentunya tidak lepas dari tuntutan mereka sebagai manusia yang mempunyai moral, oleh karena itu firman-firman itu dapat disebut sebagai peraturan yang bermakna moral bagi hidup Israel. Apa yang ada dalam firman-firman tersebut sesungguhnya rumusan-rumusan moral hidup. Mengajarkan mereka bagaimana cara bertingkah laku dan bertutur kata. Firman itu kaya dengan nilai-nilai hidup yang harus dijaga. Perbuatan-perbuatan yang dilarang adalah perbuatan-perbuatan yang melanggar susila sebagai manusia bermoral. Oleh karena itu mentaati firman-firman ini jga merupakan ceriminan kualitas moral seseorang. Hukum-hukum dalam firman ini hanyalah akibat dari pelanggaran, namun lebih dari pada itu, keutamaan morallah yang penting. Bangsa Israel tidak melakukan pelanggaran sepuluh firman juga merupakan akibat dari konsep moral yang mereka miliki. Sesungguhnya konsep molar itu sudah ada sebelum firman itu diberikan, artinya bahwa perbuatan-perbuatan asusila sudah merupakan dimensi moral yang sudah ada jauh sebelum firman. Firman itu kembali menegaskan dan mengingatkan serta memperjelas bagaimana prakteknya dan apa akibatnya jika tidak ditaati. Inilah konsep sepuluh firman sebagai moral hidup. Firman menegaskan dan memberikan kenyataan bahwa memang perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain mempunyai sebab akibatnya masing-masing. Dengan demikian, kebiasaan praktek hidup bagsa Israel yang tidak teratur dan penuh dengan dosa dibimbing dan dituntun oleh firman tersebut.